"Ceritanya Yang Kemarin Lagi, Ya, Pa"

By nova.id, Rabu, 5 Januari 2011 | 17:00 WIB
Ceritanya Yang Kemarin Lagi Ya Pa (nova.id)

Anda pun dapat meminta anak untuk mendongengkan/menceritakan kembali apa-apa yang telah Anda sampaikan kepadanya beberapa waktu lalu, tentu dengan gaya dan bahasa anak. "Jadi, anak juga enggak pasif, hanya mendengarkan saja." Manfaatnya juga ada, lho, Bu-Pak, yaitu mengembangkan kognisi anak. Bukankah dengan ia menceritakan kembali cerita/dongeng tersebut berarti ia telah memahami isi ceritanya? "Nah, ini, kan, ada kaitannya dengan kemampuan kognisi anak."

Hal lain yang tak boleh Anda lakukan ialah menyingkat isi cerita/dongeng tersebut. Kecuali jika tujuannya untuk menguji ketelitian atau daya nalar anak, maka sah-sah saja. "Bila ia protes, bisa dipastikan ia benar-benar memperhatikan dengan teliti apa-apa yang telah Anda sampaikan kepadanya. Atau, mungkin juga daya ingat dan tingkat ketelitiannya sangat tinggi." Tapi kalau anak tak sadar atau tak tahu ada beberapa bagian ceria yang telah Anda singkat/potong, bisa jadi selama ini ia tak terlalu memahami apa yang telah Anda sampaikan. Misal, cara atau teknik mendongengnya tak dimengerti anak.

Hal lain yang tak boleh Anda lakukan ialah menyingkat isi cerita/dongeng tersebut. Kecuali jika tujuannya untuk menguji ketelitian atau daya nalar anak, maka sah-sah saja. "Bila ia protes, bisa dipastikan ia benar-benar memperhatikan dengan teliti apa-apa yang telah Anda sampaikan kepadanya. Atau, mungkin juga daya ingat dan tingkat ketelitiannya sangat tinggi." Tapi kalau anak tak sadar atau tak tahu ada beberapa bagian ceria yang telah Anda singkat/potong, bisa jadi selama ini ia tak terlalu memahami apa yang telah Anda sampaikan. Misal, cara atau teknik mendongengnya tak dimengerti anak.

ORANG TUA MENJADI FILTER

Kendati manfaatnya banyak, Anda juga perlu hati-hati. Pasalnya, bukan tak mungkin si kecil minta didongengkan atau dibacakan cerita yang itu-itu lagi sebagai pemuas keinginannya semata. Menurut Lusi, hal ini bisa terjadi karena anak sangat menyukai cerita atau tokoh yang ada dalam cerita/dongeng tersebut.

Yang perlu diwaspadai jika anak menyukai tokoh yang memiliki karakter agresif seperti suka memukul atau berkelahi. Jangan lupa, anak usia ini sangat suka meniru segala sesuatu yang dilihat maupun didengar, terlebih bila hal itu dilakukan oleh tokoh idolanya. Coba, deh, Ibu-Bapak bayangkan bila si kecil sukanya sama tokoh yang suka memukul. Bisa-bisa ia akan mempraktekkannya pada teman, adik, kakak, atau malah Ibu-Bapak sendiri. "Bila hal ini berlangsung terus, bukan tak mungkin ia nanti akan menjadi orang yang agresif pula."

Itulah mengapa, tekan Lusi, orang tua harus menjadi filter utama bagi cerita/dongeng untuk anak. "Hendaklah Anda pelajari dulu isi cerita yang akan disampaikan. Bila ada alur cerita yang agresif atau belum waktunya diketahui anak, lebih baik tak usah diceritakan tapi gantilah dengan cerita lain yang Anda buat sendiri sebelum anak mengetahuinya." Tapi tentu akan lebih baik bila Anda dapat memilih cerita yang mempunyai nilai, tak sedikitpun menceritakan tentang hal-hal atau perilaku agresif.

Jikapun si kecil sudah terlanjur menyukai cerita/dongeng yang bertokoh agresif, karena tahu dari teman atau film, misal, menurut Lusi, yang harus Anda lakukan adalah mengurangi porsi cerita itu dan menggantinya dengan cerita lain yang lebih baik. Caranya, ajak ia berdiskusi atau berkomunikasi. Misal, "Dek, sekarang Ibu punya cerita baru, lho. Teman-teman Adek pasti, deh, belum pernah mendengarnya. Kalau Adek mau ngedengerinnya sekarang, nanti Adek jadi orang yang pertama tahu dan Adek bisa ceritain lagi besok sama mereka."

Bila ia tetap ngotot tak mau mendengarkan cerita/dongeng yang baru, jelaskan dengan sikap arif dan bijaksana mengenai cerita atau tipikal tokoh yang ia idolakan. Misal, "Dek, maksudnya Gho-ku berbuat demikian pada Bigolo karena Bigolo akan menghancurkan dunia tempat kita tinggal."; atau, Anda bercerita seolah-olah si tokoh berbicara langsung dengan anak, "Tapi Adek enggak boleh memukul orang lain, ya. Kalo Adek memukul, nanti Gho-ku enggak mau datang lagi dan cerita lagi, lho."

TITIK KLIMAKS

Umumnya, tutur Lusi, kebiasaan ini akan hilang sendiri. Maksudnya, kendati anak menyukai satu dongeng/cerita tertentu, namun pada suatu saat akan mencapai titik klimaksnya. "Nah, kalau saatnya sudah tiba, pasti ia tak mau lagi diceritakan hal yang sama." Biasanya, titik klimaks terjadi setelah anak paham atau puas dengan cerita itu sehingga ia pun jadi jenuh.

Tapi, titik klimaks pada setiap anak berbeda-beda, lho; ada yang cepat, ada pula yang lambat. Bila si kecil termasuk yang lambat, apa boleh buat, bersabar saja, ya, Bu-Pak. Selain itu, "ada juga anak yang tak punya titik klimaks pada cerita atau dongeng tertentu karena ia sangat mengidolakan cerita atau dongeng itu." Bisa juga karena ia hanya mau memuaskan keinginannya semata. "Jadi, anak akan merasa puas atau senang jika didongengkan mengenai cerita yang ia inginkan."