"Ceritanya Yang Kemarin Lagi, Ya, Pa"

By nova.id, Rabu, 5 Januari 2011 | 17:00 WIB
Ceritanya Yang Kemarin Lagi Ya Pa (nova.id)

Mungkin saat ini Anda tengah mengalaminya; si kecil minta didongengkan/dibacakan cerita yang sama setiap menjelang tidur. Wajar, kok, Bu-Pak. Yang perlu diwaspadai, bila kebiasaannya itu lantaran ia suka pada tokohnya yang berkarakter agresif.

Boleh jadi si kecil minta dibacakan cerita/didongengkan yang itu-itu lagi lantaran ia masih tertarik dengan cerita tersebut. Bisa juga karena ia merasa perlu tahu lebih banyak atau lebih dalam lagi mengenai cerita itu. Misal, "Kenapa, ya, buaya, kok, mau diboongin oleh kancil?" atau, "Kok, kancil ngeboong, sih, sama buaya. Kan, kata Mama ngeboong itu enggak boleh." Nah, dengan adanya pertanyaan tersebut, tentu rasa ingin tahu lebih jauh mengenai cerita itu masih besar sehingga cerita itu masih sangat menarik buatnya.

Bila demikian, jangan harap si kecil akan bosan atau jenuh dengan cerita itu sekalipun Anda sudah kehilangan minat sama sekali untuk menceritakannya kembali. Mau tak mau, Anda harus melakukannya, ya, Bu-Pak. Apalagi, seperti dikatakan Dr. Lucia RM Royanto. MSi., nggak masalah, kok, anak minta didongengkan atau dibacakan cerita yang sama setiap waktu, "karena tak ada satu pun dongeng atau cerita anak-anak yang menyesatkan," jelas psikolog dari Fakultas Psikologi UI ini.

Dalam bahasa lain, keinginan anak yang demikian nyaris tak ada dampak negatifnya tapi justru banyak manfaatnya bagi perkembangan anak. Selain tentunya juga membuat anak senang dan gembira karena keinginannya terkabul.

MELATIH KETELITIAN

Nah, salah satu manfaatnya ialah melatih daya imajinasi anak. "Bukankah di usia ini ia tengah mengalami proses belajar pada daya imajinasinya?" ujar Lusi, sapaan akrabnya. Misal, "Gimana, ya, kancil bisa nyebrang sungai yang besar sambil melewati buaya?", atau "Gimana, ya, cara kancil mencuri ketimun Pak Tani? Kan, kancil enggak punya tangan."

Selain itu, anak pun secara tak sadar tengah melatih ketelitian serta pendalaman pada sesuatu hal yang ia tangkap melalui pancaindranya. Coba, deh, perhatikan secara saksama kala Anda tengah membacakan cerita. Ia pasti akan menyimaknya dengan serius dan tak jarang memotongnya untuk bertanya mengenai sesuatu hal dari cerita itu. Bila ada kesalahan atau ada yang terlewat maupun terbolak-balik susunan ceritanya, pasti ia akan "protes", "Kemarin katanya si kancil ngeboong dulu sama buaya baru mencuri.", misal. "Nah, itu, kan, melatih ketelitian dan daya nalar anak tentang sesuatu hal," tukas Lusi.

Manfaat lain, melatih anak dalam penguasaan materi atau sesuatu hal secara mendalam. Bukankah dengan mendengar dongeng/cerita yang sama setiap waktu, lama-kelamaan ia akan menguasainya dan paham betul dari A-Z mengenai cerita itu? Apalagi jika Anda mau menjelaskan maksud ceritanya, "maka akan memperkaya wawasan anak juga, lho," imbuh Lusi.

Kebiasaan ini juga bisa menumbuhkan minat anak terhadap bahasa, yaitu belajar membaca dan menulis. Misal, sewaktu dibacakan cerita, ia bertanya, "Yang mana, sih, tulisan kancil, Bu?" Nah, Anda wajib menjawabnya serta menunjukkan kata itu. Kemudian, pada halaman berikutnya, minta si kecil untuk menunjukkan kata itu. Dengan demikian, "secara tak langsung Anda telah mengajarkannya mengenal huruf latin dan belajar membaca."

Yang tak kalah penting dengan anak mendengarkan dongeng/cerita yang itu-itu lagi, maka nilai-nilai yang terdapat dalam dongeng/cerita itu akan semakin tertanam pada dirinya. Tentu diharapkan nilai-nilai itu akan tertanam sampai ia dewasa dan diaplikasikan dalam hidupnya sehari-hari. Misal, ia akan selalu berkata jujur dan tak mau mengambil milik orang lain sebagaimana yang dilakukan sang kancil kepada sang buaya dan si petani; atau, ia akan selalu sayang, hormat, dan patuh pada ibunya karena kerap teringat pada cerita Malin Kundang. "Nah, ini, kan, juga salah satu manfaat yang bisa dipetik." Dalam bahasa lain, bila ada nilai-nilai tertentu yang ingin kita tanamkan pada anak, maka lewat dongeng/cerita yang diulang-ulang terus akan semakin tertanam dalam diri anak hingga ia dewasa.

JANGAN MENYINGKAT CERITA

Itulah mengapa, Lusi menekankan, jangan sekali-kali Anda menolak kala si kecil minta didongengkan/dibacakan cerita yang itu-itu lagi. Toh, Anda bisa mengubah suasana atau metoda mendongengnya agar enggak bosan. Misal, dengan memberikan penjelasan tentang si tokoh. "Bisa juga dengan mengajak anak melakukan tanya-jawab seputar cerita tersebut." Misal, "Apa akal si kancil sewaktu menyeberangi sungai besar?"

Anda pun dapat meminta anak untuk mendongengkan/menceritakan kembali apa-apa yang telah Anda sampaikan kepadanya beberapa waktu lalu, tentu dengan gaya dan bahasa anak. "Jadi, anak juga enggak pasif, hanya mendengarkan saja." Manfaatnya juga ada, lho, Bu-Pak, yaitu mengembangkan kognisi anak. Bukankah dengan ia menceritakan kembali cerita/dongeng tersebut berarti ia telah memahami isi ceritanya? "Nah, ini, kan, ada kaitannya dengan kemampuan kognisi anak."

Hal lain yang tak boleh Anda lakukan ialah menyingkat isi cerita/dongeng tersebut. Kecuali jika tujuannya untuk menguji ketelitian atau daya nalar anak, maka sah-sah saja. "Bila ia protes, bisa dipastikan ia benar-benar memperhatikan dengan teliti apa-apa yang telah Anda sampaikan kepadanya. Atau, mungkin juga daya ingat dan tingkat ketelitiannya sangat tinggi." Tapi kalau anak tak sadar atau tak tahu ada beberapa bagian ceria yang telah Anda singkat/potong, bisa jadi selama ini ia tak terlalu memahami apa yang telah Anda sampaikan. Misal, cara atau teknik mendongengnya tak dimengerti anak.

Hal lain yang tak boleh Anda lakukan ialah menyingkat isi cerita/dongeng tersebut. Kecuali jika tujuannya untuk menguji ketelitian atau daya nalar anak, maka sah-sah saja. "Bila ia protes, bisa dipastikan ia benar-benar memperhatikan dengan teliti apa-apa yang telah Anda sampaikan kepadanya. Atau, mungkin juga daya ingat dan tingkat ketelitiannya sangat tinggi." Tapi kalau anak tak sadar atau tak tahu ada beberapa bagian ceria yang telah Anda singkat/potong, bisa jadi selama ini ia tak terlalu memahami apa yang telah Anda sampaikan. Misal, cara atau teknik mendongengnya tak dimengerti anak.

ORANG TUA MENJADI FILTER

Kendati manfaatnya banyak, Anda juga perlu hati-hati. Pasalnya, bukan tak mungkin si kecil minta didongengkan atau dibacakan cerita yang itu-itu lagi sebagai pemuas keinginannya semata. Menurut Lusi, hal ini bisa terjadi karena anak sangat menyukai cerita atau tokoh yang ada dalam cerita/dongeng tersebut.

Yang perlu diwaspadai jika anak menyukai tokoh yang memiliki karakter agresif seperti suka memukul atau berkelahi. Jangan lupa, anak usia ini sangat suka meniru segala sesuatu yang dilihat maupun didengar, terlebih bila hal itu dilakukan oleh tokoh idolanya. Coba, deh, Ibu-Bapak bayangkan bila si kecil sukanya sama tokoh yang suka memukul. Bisa-bisa ia akan mempraktekkannya pada teman, adik, kakak, atau malah Ibu-Bapak sendiri. "Bila hal ini berlangsung terus, bukan tak mungkin ia nanti akan menjadi orang yang agresif pula."

Itulah mengapa, tekan Lusi, orang tua harus menjadi filter utama bagi cerita/dongeng untuk anak. "Hendaklah Anda pelajari dulu isi cerita yang akan disampaikan. Bila ada alur cerita yang agresif atau belum waktunya diketahui anak, lebih baik tak usah diceritakan tapi gantilah dengan cerita lain yang Anda buat sendiri sebelum anak mengetahuinya." Tapi tentu akan lebih baik bila Anda dapat memilih cerita yang mempunyai nilai, tak sedikitpun menceritakan tentang hal-hal atau perilaku agresif.

Jikapun si kecil sudah terlanjur menyukai cerita/dongeng yang bertokoh agresif, karena tahu dari teman atau film, misal, menurut Lusi, yang harus Anda lakukan adalah mengurangi porsi cerita itu dan menggantinya dengan cerita lain yang lebih baik. Caranya, ajak ia berdiskusi atau berkomunikasi. Misal, "Dek, sekarang Ibu punya cerita baru, lho. Teman-teman Adek pasti, deh, belum pernah mendengarnya. Kalau Adek mau ngedengerinnya sekarang, nanti Adek jadi orang yang pertama tahu dan Adek bisa ceritain lagi besok sama mereka."

Bila ia tetap ngotot tak mau mendengarkan cerita/dongeng yang baru, jelaskan dengan sikap arif dan bijaksana mengenai cerita atau tipikal tokoh yang ia idolakan. Misal, "Dek, maksudnya Gho-ku berbuat demikian pada Bigolo karena Bigolo akan menghancurkan dunia tempat kita tinggal."; atau, Anda bercerita seolah-olah si tokoh berbicara langsung dengan anak, "Tapi Adek enggak boleh memukul orang lain, ya. Kalo Adek memukul, nanti Gho-ku enggak mau datang lagi dan cerita lagi, lho."

TITIK KLIMAKS

Umumnya, tutur Lusi, kebiasaan ini akan hilang sendiri. Maksudnya, kendati anak menyukai satu dongeng/cerita tertentu, namun pada suatu saat akan mencapai titik klimaksnya. "Nah, kalau saatnya sudah tiba, pasti ia tak mau lagi diceritakan hal yang sama." Biasanya, titik klimaks terjadi setelah anak paham atau puas dengan cerita itu sehingga ia pun jadi jenuh.

Tapi, titik klimaks pada setiap anak berbeda-beda, lho; ada yang cepat, ada pula yang lambat. Bila si kecil termasuk yang lambat, apa boleh buat, bersabar saja, ya, Bu-Pak. Selain itu, "ada juga anak yang tak punya titik klimaks pada cerita atau dongeng tertentu karena ia sangat mengidolakan cerita atau dongeng itu." Bisa juga karena ia hanya mau memuaskan keinginannya semata. "Jadi, anak akan merasa puas atau senang jika didongengkan mengenai cerita yang ia inginkan."

Menghadapi anak yang demikian, saran Lusi, sebelum Anda mendongeng/membacakan sesuatu cerita untuknya, buatlah jadwal. Misal, hari ke-1 sampai ke-3 mendongeng yang disukai anak; hari ke-4 sampai ke-5, Anda dan anak melakukan tanya-jawab seputar dongeng/cerita tersebut; hari ke-6 dan ke-7, minta anak untuk menceritakan kembali dongeng tersebut menurut versinya. "Dari jadwal itu, Anda bisa memperoleh data mengenai penguasaan anak terhadap dongeng atau cerita tersebut."

Selanjutnya, bila ia sudah menguasai dongeng/cerita itu, mulailah mendongeng/bercerita tema lain. Tentu pengalihannya enggak mendadak, ya, Bu-Pak.

"Diskusikan dulu dengan anak sambil merayunya agar ia mau menerima cerita yang baru." Misal, "Wah, Adek hebat, nih, sudah tahu semua cerita Kancil dan Buaya. Sampai hapal lagi. Nah, gimana kalau sekarang Adek dengerin cerita Malin Kundang. Ceritanya juga bagus, lo."

Sebaliknya, jika ia belum menguasai cerita/dongeng terdahulu, hendaknya Anda mengevaluasi cara atau teknik Anda sewaktu menyampaikan dongeng/cerita itu. "Ceritakan kembali dongeng itu dengan cara dan teknik yang berbeda-beda, satu sampai tiga hari." Yang harus diperhatikan, jangan sampai anak tertidur sewaktu didongengkan. "Jadinya malah enggak efektif. Cerita yang Anda sampaikan tak semuanya dapat tertangkap oleh anak dengan baik, sehingga apa yang Anda sampaikan akan sia-sia." Menurut Lusi, lama mendongeng yang pas adalah 10-15 menit.

BUAT PERJANJIAN

Tapi jangan kecewa, lho, Bu-Pak, bila si kecil menolak diceritakan dongeng yang baru. Jangan pula dimarahi atau diancam semisal, "Pokoknya, Bunda enggak mau lagi bacain cerita kalau Adek enggak mau dibacain dongeng yang baru."

Soalnya, terang Lusi, perilaku demikian tak ada faedahnya, malahan menyebabkan anak jadi minder, "karena sewaktu diancam, timbul perasaan bersalah dalam dirinya atau ia merasa apa yang dilakukannya pasti enggak baik dan selalu salah." Kalau sudah begitu, bisa-bisa perasaan minder ini akan terbawa terus sampai dewasa.

Memang, aku Lusi, ada segi negatifnya juga bila anak hanya mendengarkan dongeng/cerita yang itu-itu saja, yaitu pengetahuan dan wawasannya jadi tak bertambah luas. Nah, agar dampak negatif ini dapat terhindar dan anak pun mau mendengarkan cerita/dongeng yang baru, sarannya, buatlah perjanjian dengan anak. Misal, "Sekarang Bunda akan ceritain dongeng yang Adek mau. Nah, besok giliran Adek mendengarkan dongeng baru. Bunda punya cerita tentang boneka kayu yang hidungnya panjang, yang oleh peri cantik dibikin hidup jadi manusia. Bagus, lho, ceritanya."

Dari pengalaman, Lusi yakin, bila cara tersebut dilakukan dengan bijak, anak pasti akan dapat menerimanya. Jadi, tergantung pintar-pintarnya Ibu-Bapak membujuk dan merayu si kecil, ya.

Julie / Gazali Solahuddin  

MINTA DIPUTARKAN LAGU YANG SAMA

Seperti halnya minta didongengkan/diceritakan yang itu-itu lagi, kebiasaan ini juga bisa disebabkan berbagai hal. Diantaranya, anak belum hapal lagu tersebut atau belum puas mendengarkannya.

Menurut Lusi, lagu sangat baik untuk perkembangan anak karena ia bisa belajar mengenai nada, kata-kata, dan sebagainya. Jadi, "sebagaimana pengulangan dongeng/cerita, sewaktu mendengarkan lagu pun, ia tengah berusaha meningkatkan pemahamannya akan arti lagu tersebut." Bukankah sewaktu kecil kita juga hanya mengikuti saja lagu, misal, Bintang Kecil, tanpa mengetahui arti atau maksud dari lagu tersebut?

Itulah mengapa, Lusi juga tak menganjurkan Anda melarang anak mendengarkan lagu yang itu-itu lagi. Apalagi, lewat lagu, anak juga bisa belajar kata-kata yang benar. Misal, pada awalnya anak menyebut "pelangi-pelangi" dalam lagu Pelangi dengan "pelangit-pelangit". Tapi setelah lagu tersebut sering didengarnya, maka ia pun sadar, "Oh, bukannya pelangit-pelangit, tapi pelangi-pelangi."

Sekalipun manfaatnya banyak, namun Ibu-Bapak tak boleh membiarkan si kecil dengan kebiasaannya itu. Selain pengetahuan dan wawasannya enggak bertambah lantaran ia cuma tahu lagu itu saja, "kemungkinan ekspresinya juga tak akan terlatih secara baik." Misal, ia hanya suka lagu Pelangi, maka ia hanya mampu mengekspresikan lagu tersebut.

Jadi, selain ia diberi kesempatan mendengarkan lagu yang itu-itu saja, ia pun harus diberi kesempatan untuk mendengarkan lagu-lagu lain. Caranya, tak beda dengan memperkenalkannya pada dongeng/cerita baru. Yang penting diperhatikan, pilihlah lagu-lagu yang edukatif. Apalagi lagu-lagu anak sekarang yang kerap ditayangkan di TV maupun radio, menurut Lusi, kurang variatif dan cenderung monoton. "Kebanyakan arahnya cenderung komersial dan hanya mode pada saat itu, sementara segi edukatifnya dikesampingkan."

Sebaiknya, lanjut Lusi, anak lebih sering diperkenalkan dengan lagu-lagu anak klasik semisal karya A.T. Mahmud. Selain bersifat edukatif, juga mudah dicerna dan dipahami oleh anak, serta sangat baik untuk mengasah emosi anak.

CERITAKAN PENGALAMAN ANDA SEWAKTU KECIL

Bapak-Ibu pastilah punya pengalaman pribadi yang menarik sewaktu kecil. Misal, mandi di sungai setiap pagi bersama teman-teman. "Ini akan sangat membantu anak dalam memperkaya wawasan dan imajinasinya, lho," ujar Lusi. Bukankah dengan sering mendengarkan cerita itu, anak akan mencoba membayangkan sungai yang selalu dijadikan tempat mandi oleh ayah/ibunya, "Wah, pasti sungainya sangat bersih dan jernih airnya. Pemandangannya juga indah sekali, banyak pohonnya, banyak bunga-bunganya, banyak burung bernyanyi, dan udara sekitarnya pun pasti sangat sejuk." Secara tak langsung, lanjut Lusi, Anda telah menanamkan pada anak akan kecintaan terhadap lingkungan. "Anak pun akan menginginkan suasana demikian karena selama ini hal tersebut belum pernah ia alami, apalagi bagi anak-anak yang mukim di perkotaan."