Entah kala berbelanja di pasar swalayan maupun tradisional, manfaatnya besar sekali, lo, buat perkembangan si kecil. Tapi syaratnya, tak boleh merasa direpotkan atau malah terbebani dengan keberadaan si kecil, ya, Bu-Pak.
Anak usia ini masih dalam tahap bereksplorasi tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan indranya, dalam rangka mengenal "dunia" lebih luas lagi. Jadi, ia sangat terbuka terhadap semua informasi sederhana. "Ia pasti akan tertarik pada benda 'aneh' tutur Yohana Ratrin Hestyanti, Psi.
Itulah mengapa, anjurnya, dalam keseharian hidup kita, anak perlu dikenalkan pada sebanyak mungkin benda agar pengenalannya menjadi luas dan beragam pengetahuannya. Salah satunya, dengan mengajak ia berbelanja. "Manfaatkan kesempatan belanja untuk membuka cakrawala anak." Bukankah tak semua kesempatan menawarkan aneka pengetahuan dan tak setiap hari di rumah tersedia segala macam buah yang bisa kita kenalkan, misal? Sementara di pasar, ada banyak sekali benda berbeda dan beragam bentuk, warna, aroma, rasa, serta kegunaannya.
Toh, untuk mengenalkan anak pada "dunia", kita tak selalu harus membelinya, kan? Lain hal kalau memang uangnya ada, akan lebih baik membelinya, yang tak pernah dilihatnya dan spontan bertanya, 'Ini apa, Ma?'. Nah, kita bisa menerangkannya dari berbagai aspek; bentuk, warna, rasa, dan sebagainya,sehingga pengenalan anak terhadap suatu objek jadi semakin utuh atau lengkap," lanjut Jo, sapaan akrab dosen pada Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta, ini. Misal, ia baru pertama kali melihat salak. Nah, dengan kita membelinya, ia bisa mencoba sendiri bagaimana rasanya salak tersebut, bukan hanya tahu dari penjelasan kita saja.
Soal pilihan tempat belanja, menurut Jo, sebaiknya anak dikenalkan pada hal-hal berbeda sekaligus saling melengkapi, yakni pasar swalayan dan tradisional. Dengan begitu, ia akan memperoleh pengalaman tersendiri kala bersenggolan dan bersesakan atau melihat ibunya tawar-menawar di pasar tradisional. Ia pun jadi tahu bahwa dunia sekitarnya tak selalu bersih dan lega, tak selalu nyaman ber-AC, sekaligus mengenalkannya pada budaya non-instant. "Untuk lebih memperkaya, sesekali berbelanja di warung atau gerobak dorong. Dari variasi sayur atau dagangan yang ditawarkan, orang tua bisa menambah wawasan anak."
3 MANFAAT BESAR
Pendeknya, dengan melihat langsung situasi atau benda nyata, proses belajar anak jadi lebih cepat, cermat, dan detail. Disamping, kemampuan mengingat dan menghayati juga lebih besar. Setidaknya, ujar Jo, ada 3 manfaat besar yang bisa diperoleh anak dengan kita mengajaknya berbelanja. Pertama, ia bisa mendapatkan banyak stimulasi tentang berbagai hal yang ada di dunia. "Setidaknya dikenalkan pada berbagai macam bentuk, warna, aneka jenis buah dan sayuran, serta berbagai pengetahuan lain." Pengenalan ini akan menjadi perangsangan bagi perkembangan anak; baik kognitif, kepekaan, maupun hal-hal yang memancing keingintahuan anak untuk mengetahui dunia sekitarnya.
Kedua, ia juga dilatih bersosialisasi. Bukankah dengan ikut ke pasar, ia akan bertemu banyak orang lain sehingga tak terbatas pada orang-orang di rumah saja? "Ia pun mulai tahu bahwa di pasar ada banyak orang dengan kegiatannya masing-masing; ada penjual buah, sayur, bumbu, daging, atau mainan, dan juga ada pembeli." Saat tawar-menawar dengan tukang buah atau tukang becak, misal, ia pun dikenalkan pada berbagai interaksi dengan orang lain. "Nah, lewat pengenalan-pengenalan ini, anak tahu tentang dunia sekitarnya lebih banyak, hingga pengetahuannya jadi luas."
Ketiga, proses attachment. "Ketika ia diajak orang tuanya pergi ke pasar, ia merasa dilibatkan dalam 'permasalahan-permasalahan' orang dewasa. Ia merasa tak ditinggal atau diabaikan begitu saja, hingga menguatkan kedekatannya dengan orang tua." Belum lagi kalau ia digendong, berarti, kan, ada usaha dari orang tua untuk menjaga/melindunginya agar ia tak kena kotoran atau becekan yang kerap mewarnai pasar tradisional. Begitu juga ketika ia dipeluk lebih erat saat orang berdesakan. "Sentuhan-sentuhan semacam ini sangat berarti buat anak, lo. Ia akan merekam bahwa ibunya betul-betul melindungi dan membuatnya nyaman."
Selain itu, ketika ia diminta menyerahkan uang pada tukang sayur atau tukang becak, ia merasa diberi kesempatan dan kepercayaan hingga ia merasa "diorangkan" yang memberinya kebanggaan tersendiri. Apalagi bila si penerima juga memberinya pujian, "Aduh pintarnya. Terima kasih ya, Dik." Hal ini akan membuatnya merasa diberi peran dan diakui, yang akan meningkatkan rasa percaya dirinya. Nah, perasaan-perasaan positif ini sangat dibutuhkan bagi perkembangan mentalnya.
KONDISI IDEAL
Hanya saja, Jo mengingatkan, aktivitas belanja baru bermanfaat kalau orang tua memberi perlakuan yang tepat terhadap anak, yakni bukan merasa terpaksa karena tak ada pembantu di rumah. Kalau tidak, "suasana belanja biasanya malah tak mengandung unsur edukatif buat anak, karena ibu biasanya akan marah-marah lantaran harus bergegas atau merasa repot dan terbebani harus menggandeng maupun menggendong anak." Itulah mengapa, dalam mengajak anak belanja, orang tua harus mendasarkan diri pada pertimbangan adanya kesempatan untuk mengenalkan anak kepada dunia yang lebih luas. Jadi, muatannya adalah pengasuhan yang lebih baik pada anak, ya, Bu-Pak.
Bila orang tua merasa terpaksa atau terburu-buru, saran Jo, lebih baik anak ditinggal saja di rumah kalau memang memungkinkan. "Apalagi bila ada kegiatan lain yang lebih menyenangkan dan membuat anak lebih nyaman." Soalnya, suasana hati ibu maupun anak harus sama-sama oke atau tak uring-uringan agar suasana tak jadi rusak. "Begitu pula bila anak dalam kondisi tak sehat atau enggak fit dan sedang rewel," lebih baik ditinggal saja, deh, di rumah. Nanti sakitnya malah jadi kepanjangan, lo. Jadi, Bapak-Ibu, juga harus cermat dan tepat menilai, apakah si kecil siap atau tidak diajak belanja, ya.
Mengenai frekuensi, menurut Jo, sangat relatif dan tergantung kebutuhan. Jadi, enggak harus selalu kala orang tua memang sedang ada kebutuhan belanja, ya, Bu-Pak. Toh, pengalaman belanja di pasar swalayan maupun tradisional bisa dikaitkan juga dengan refreshing sebagai sesuatu yang fun buat anak. Tentu saja sepanjang kondisinya memungkinkan, "minimal ada waktu panjang semisal di akhir pekan." Harus diingat juga agar tak terlalu lama hingga meletihkan karena cuma akan membuatnya jadi bosan, rewel, dan tak tertarik lagi pada apapun juga yang dilihatnya. Untuk mengantisipasinya, saran Jo, berbagi tugaslah dengan pasangan, selain membawakan mainan atau makanan kesukaannya.
Julie
BILA SI KECIL "NODONG" MINTA MAINAN
Sering, kan, si kecil bersikap begitu kala diajak berbelanja? Sebenarnya, tutur Jo, hal ini terkait dengan pembiasaan orang tua terhadap anak sejak awal. "Bila selama ini setiap kali anak menangis atau minta apa-apa selalu diberikan dan sama sekali tak ada usaha orang tua untuk mengontrol bahwa tak semua keinginan anak harus dipenuhi, maka anak akan terbiasa memaksakan keinginannya saat itu juga." Sama halnya bila setiap kali ia menangis lalu dicarikan penggantinya semata-mata agar jangan menangis, ia pun cenderung memanfaatkan tangisannya untuk menuntut dan terus menuntut.
Tak demikian halnya bila anak terbiasa dilatih untuk mengetahui bahwa tak semua keinginannya harus dan bisa dipenuhi. Ia akan mudah menerima kenyataan ketika dijelaskan dengan sederhana, "Sekarang Mama bawa uangnya hanya cukup untuk membeli kebutuhan keluarga kita. Jadi, nggak cukup kalau harus beli mainan juga. Adek, kan, sebetulnya juga sudah punya banyak mainan di rumah. Gimana kalau kita belinya nanti pas ulang tahun Adek?"
Alangkah baiknya bila orang tua juga menanggapi ketertarikan anak terhadap sesuatu benda/mainan dengan pengenalan lebih jauh tentang benda/mainan itu. Misal, "Oh, ini namanya robot tapi bisa diubah-ubah jadi mobil dan kotak pinsil." Tapi jangan ditambah dengan tawaran, "Kamu mau?", ya, Bu-Pak, bila kondisi keuangan memang tak memungkinkan. Soalnya, konsekuensi dari menawarkan memang harus membelikan jika anak mengiyakannya. Jadi, bersikap realistis sajalah. Jangan kelewat mengiming-imingi bila tak bisa memenuhi.
Sementara kalau anak minta makan di luar, menurut Jo, boleh saja sekali-sekali. Tapi kalau setiap kali diajak belanja terus minta makan di luar, tentu sudah nggak sehat lagi, apapun alasannya. Ingat, lo, kendali ada di tangan orang tua. Jadi, kalau Anda mau membiasakan, maka Anda sudah harus memperhitungkan risikonya, ya, Bu-Pak.
BIARKAN SI KECIL MENCOBA NAIK ESKALATOR
Tapi jangan dipaksa, ya, Bu-Pak. Apalagi jika ia takut. Sebaliknya, bila ia yakin tak mau kalah dengan kemampuan kakaknya, misal, "pastikan proses pelatihan itu ada dalam pengawasan orang tua sampai orang tua merasa yakin ia sudah bisa dilepas sendiri," anjur Jo. Jika ia tetap nekad melakukannya sendiri sementara Anda belum yakin, "Anda berhak 'memarahi'nya asalkan disertai penjelasan." Misal, "Adek belum bisa sendiri dan harus latihan dulu." Ingat, lo, anak usia ini belum menyadari bahaya akibat kenekatannya. Jadi, Anda harus tegas namun jangan sampai membuatnya "memelihara" ketakutan secara berlebihan. Selain itu, jangan lupa memberinya tantangan agar bisa melakukannya pada kesempatan lain, ya, Bu-Pak.
HATI-HATI, SI KECIL BISA TERPISAH ATAU TERSESAT
Tanggung jawab kita atas keamanan dan keselamatan anak sangat penting saat mengajaknya berbelanja. "Perhatian orang tua tak boleh lepas dari anak, sekalipun sibuk melihat-lihat atau memegang belanjaan atau benda yang ditawarkan," kata Jo. Di pasar tradisional yang los dan gangnya biasanya becek serta dipadati orang belanja, lebih baik si kecil digendong dan didekap erat.
Soalnya, pengalaman terpisah atau tersesat bagi siapa pun sungguh tak mengenakkan. Ironisnya, banyak anak menolak digandeng karena tanpa sadar, si ibu atau bapak mencengkeram begitu keras dan menyakitkan sebagai cerminan dari ketakutan dan kekhawatiran akan "hilang"nya anak. Nah, agar si kecil tak menolak digandeng, jelaskan padanya, "Nak, ini di pasar, orangnya banyak sekali. Kalau kamu lepas dari pegangan Bunda, kamu bisa hilang. Jadi, kamu harus deket-deket Bunda, ya."
Namun, ingat Jo, jangan sampaikan pesan tersebut dengan sangat serius sehingga menimbulkan kesan mencekam. Juga, jangan ucapkan dengan nada mengancam semisal, "Awas, nanti jangan hilang!", karena hanya akan menimbulkan ketakutan berlebih pada anak.
Ajarkan pula pada anak untuk meminta bantuan, misal, "Kalau Adek sampai terpisah atau sulit mencari Mama, minta tolong saja sama Tante Kasir atau Om Satpam, ya." Tentu sebelumnya ia sudah dibekali data dirinya dan keluarganya semisal namanya dan nama orang tuanya.
Satu hal yang perlu "dicatat", jangan sekali-sekali meniru "pemandangan" di luar negeri yang mencencang anak dengan tali khusus kala berbelanja. "Di sini, kan, itu enggak etis. Belum lagi dampaknya buat anak. Dalam benaknya pasti akan muncul pertanyaan, 'Kenapa aku dibeginikan sementara anak-anak lain enggak?' Tentu ia akan protes." Kalaupun ia bukan tergolong "tukang protes", pertanyaan semacam itu tetap akan jadi ganjalan. Terlebih lagi kala ia jadi tontonan hingga merasa dirinya aneh, pastilah akan membuatnya malu dan tak nyaman. Kasihan sekali, kan?
MANFAATKAN KERETA BELANJA
Bila Anda enggan menggendong si kecil saat ia mengeluh capek dan ingin sekali naik kereta belanja, menurut Jo, tak jadi masalah. Toh, tak ada pelarangan, meski dari aspek ergonomi (kenyamanan), jelas tak cocok karena memang bukan diperuntukkan membawa anak, tapi belanjaan. "Jangan pula melarangnya hanya karena Anda menganggap kereta itu kotor bekas belanjaan orang lain, karena yang penting, baik makanan yang masuk maupun tangan yang menyentuh makanan harus dalam keadaan bersih." Justru kalau Anda kelewat resik, dikhawatirkan ambang toleransi anak akan rendah sehingga malah gampang kena penyakit.