"Wah, Kok, Diagnosisnya Beda, Sih?

By nova.id, Kamis, 7 April 2011 | 17:06 WIB
Wah Kok Diagnosisnya Beda Sih (nova.id)

Untuk mencapai ketepatan hasil diagnosis, biasanya memang diperlukan pemeriksaan lengkap selain jam terbang dokter yang bersangkutan. Bila pemeriksaannya tidak lengkap, radang paru bisa saja dibilang TBC atau sebaliknya. Nah, ketika memeriksakan diri ke dokter lain yang melakukan pemeriksaan lengkap, mungkin saja hasil diagnosisnya jadi berbeda. Demikian pula penyakit lain seperti kanker, jantung dan tifus.

Pasien atau orang tua pasien, pada dasarnya tidak dibenarkan membuka dan membaca sendiri hasil laboratorium, baik berupa hasil tes darah, sperma, kencing maupun rontgen. Yang berhak membacanya hanyalah dokter terkait, karena dialah yang "mengirim" pasien itu menjalani pemeriksaan lab.

Kalau pasien atau keluarganya tidak bisa memahami hasil yang tertera secara benar, ditakutkan malah terjadi salah persepsi. Selanjutnya, bukan tidak mungkin pasien atau keluarga pasien jadi tidak sepaham dengan apa yang dikatakan dokter, dan ini bisa menyulitkan proses penyembuhan.

Hasil laboratorium pun sebenarnya tidak bisa dijadikan patokan tunggal dalam penegakan diagnosis. Harus dikomparasi lagi dengan hasil pemeriksaan fisik dan anamnesis. Jadi, mungkin saja hasil pemeriksaan lab bertolak belakang dengan gejala yang diperlihatkan pasien. Bila hal ini terjadi, dokter yang sudah memiliki jam terbang cukup biasanya akan mengambil langkah-langkah berdasarkan pengalaman sebelumnya. Dengan begitu, kesalahan persepsi pasien, baik terhadap hasil laboratorium maupun terhadap dokter yang menanganinya bisa diminimalisir.

TAK PERLU KELEWAT KHAWATIR

Muljono menyarankan agar pasien yang pernah atau suatu saat mengalami diagnosis berbeda, tak perlu merasa kelewat khawatir. "Umumnya dokter tidak memberikan obat yang terkuat di awal terapi, melainkan obat yang relatif ringan dalam jumlah kecil."

Alasannya, selain dokter masih belum bisa menentukan penyakit pasiennya secara pasti, juga merupakan langkah antisipasi bila penyakit itu tidak sesuai dugaan. Dengan demikian, bila memang obat itu meleset, dampaknya tidak akan membahayakan pasien.

Obat yang terbilang relatif ringan biasanya diberikan untuk 3 hari. Nah, bila setelah itu penyakit tidak kunjung membaik, apalagi sama sekali tak memperlihatkan perubahan, "Segeralah berkonsultasi kembali ke dokter yang bersangkutan. Pada tahap ini biasanya dokter sudah memiliki gambaran lebih kuat mengenai penyakit yang diderita pasien. Salah satunya kerena obat yang sudah diberikan ternyata tidak mempan," anjur Muljono.

Langkah berikut, dokter akan mengganti obat yang diberikan atau setidaknya ditingkatkan dosisnya. Tak perlu takut terjadi lagi kesalahan diagnosis karena biasanya dokter yang bersangkutan sudah lebih yakin. Toh, kalaupun belum, ia akan meminta pasiennya menjalani rangkaian tes laboratorium. Barulah berdasarkan hasil laboratorium tadi akan dipertimbangkan obat yang tepat.

Bila pasien diminta untuk kembali kontrol, biasanya dokter ingin memastikan apakah obat yang diberikan olehnya bekerja dengan baik atau tidak. Sementara pada kasus penyakit menahun seperti jantung, biasanya obat berfungsi sebagai penjaga kestabilan kondisi tubuh atau mencegah serangan penyakit tersebut.

JANGAN BERBURUK SANGKA

Itulah mengapa Muljono menyarankan agar ketika sudah berobat ke seorang dokter, pasien harus menjalani sarannya secara tuntas. Jangan pindah dokter sebelum penyakitnya benar-benar tertangani. Apalagi jika obat yang diresepkan olehnya belum habis. Kalau tidak, dokter berikutnya akan memberikan obat berbeda. Inilah yang menyebabkan pengobatan terhadap suatu penyakit jadi tidak sempurna. "Dengan kata lain pasien dianjurkan untuk tidak cepat berprasangka buruk terhadap dokter yang menangani," kata Muljono.

Kendati begitu, bila tidak puas, pasien tetap punya hak untuk mengganti dokternya! Kapan sebaiknya ini dilakukan? "Jika kontrol atau konsultasi yang dijalani tidak kunjung membuahkan hasil atau tak ada indikasi perbaikan sama sekali," tandasnya.

Di kalangan kedokteran sendiri berlaku kode etik yang menjadi penengah saat terjadi perbedaan diagnosis. "Intinya, sesama dokter tidak boleh saling menyalahkan, meski bukan juga berarti mereka boleh saling melindungi." Makanya kalau pasien mempertanyakan perbedaan diagnosis tersebut, dokter biasanya akan menjelaskan secara bijak. Kalau sampai si dokter mengungkapkan kelemahan dokter lain yang merupakan teman sejawatnya, berarti dia menyalahi kode etik kedokteran.  

Irfan