"Iman Dharma/nakita "
"Coba, deh, kalian pergi berdua tanpa anak-anak. Selama ini pernah,enggak, kalian pergi berdua saja?" Saran seperti itu biasanya diajukan kala kita dilanda rasa jenuh dalam perkawinan. Entah oleh orang tua, kerabat, sahabat, maupun ahli perkawinan.
Bulan madu, menurut Dra. Psi. Dini Sugestia, merupakan rangkaian ritual yang biasanya dilakukan pasangan yang baru memulai satu kehidupan baru. "Pada saat itu, pasangan memerlukan suatu komunikasi tertentu untuk menjalin emosi, membuat komitmen, dan sebagainya," terang psikolog dari Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga (LKBHuWK) ini.
Kendati begitu, bukan berarti bulan madu tak lagi menjadi "milik" pasangan yang sudah lama menikah. Bahkan, yang sudah puluhan tahun menikah pun, masih bisa berbulan madu lagi. Tapi kapan persisnya bulan madu kedua ini diperlukan? "Semuanya sangat tergantung kondisi dalam keluarga itu sendiri," jawab Dini cepat.
TAK HARUS ADA MASALAH
Seperti dituturkan Dini, ada pasangan yang melakukan bulan madu kedua setelah anak melewati masa balita. Tapi ada pula pasangan yang kendati anaknya masih balita, sudah dilanda kejenuhan. "Mereka merasa sangat sulit untuk bertemu atau merasa jauh satu dari yang lain," tutur Dini. Nah, saat itulah bulan madu kedua diperlukan.
Selain itu, keputusan untuk berbulan madu kedua juga bisa datang dari pihak ketiga. "Mungkin tanpa disadari pasangan, orang di sekitar melihat ada ketidakharmonisan yang mereka alami. Biasanya orang lantas akan menganjurkan mereka pergi berbulan madu kedua untuk memperbarui dan membuat suasana baru dalam kehidupan rumah tangga mereka," papar Dini.
Tapi umumnya, kata Dini, kesadaran akan kebutuhan bulan madu kedua muncul pada saat pasangan mendatangi lembaga konsultasi keluarga. "Biasanya jika di lingkup keluarga tak mampu lagi mengatasi permasalahan yang dihadapi pasangan atau tak bisa menemukan solusi, mereka baru datang berkonsultasi. Nah, di sinilah mereka mulai sadar, ternyata mereka membutuhkan bulan madu kedua," tuturnya.
Meski begitu tak berarti bulan madu kedua hanya melulu didominasi pasangan yang bermasalah. Karena bukan tak mungkin, terang Dini, "Pasangan yang sebetulnya tak punya masalah dalam kehidupan rumah tangganya, juga berbulan madu kedua." Misalnya ketika anak-anak sudah beranjak dewasa. "Pasangan sadar bahwa mereka membutuhkan suasana baru," lanjutnya.
SUASANA BARU
Tujuan utama bulan madu kedua, menurut Dini, untuk menjalin komunikasi yang selama ini terhambat, memperbarui kondisi yang sifatnya sudah rutin dan menjenuhkan. "Juga agar emosi atau jiwa pasangan bisa kembali menyatu," katanya.
Selain itu, bulan madu kedua juga dilakukan untuk membuat suasana baru demi terciptanya kehidupan selanjutnya yang lebih segar. "Dalam sebuah rumah tangga, pasti, kan, terjadi dinamika," kata Dini. Misalnya masa setelah kelahiran anak atau setelah anak melewati usia balita dan remaja. "Nah, pada saat itu sangat mungkin muncul kehidupan yang rutin atau monoton yang membuat jenuh pasangan," tukasnya.
Dalam kondisi demikian, komunikasi antara pasangan pun mulai terhambat. Masing-masing sudah sibuk dengan kesibukannya sendiri-sendiri, sehingga akhirnya merasa jauh satu sama lain. "Mungkin saja selama ini kedua pasangan berjalan sendiri-sendiri akibat tak adanya komunikasi. Yang satu jalan ke mana, yang lain jalan ke mana. Nah, pada saat inilah dibutuhkan bulan madu kedua," tutur lulusan Fakultas Psikologi UI ini.
Dengan berbulan madu lagi, tutur Dini, pasangan bisa saling berbicara. Misalnya si istri mengatakan, "Saya sebetulnya pingin begini-begini, tapi selama ini kamu sudah lupa bahwa saya ingin begini-begini." "Umumnya, pasangan memang lupa, tak peka lagi pada kebutuhan pasangannya. Apalagi kalau pernikahan sudah berusia 10 sampai 15 tahun," papar Dini.
Padahal, lanjut Dini, "Mungkin saja istri masih ingin dipuji, misalnya, sementara sang suami berpikir, pujian hanya dibutuhkan saat pacaran saja." Jadi, kendati sudah jadi ibu-ibu pun, keinginan itu masih sangat dibutuhkan. Saat istri pakai baju baru, misalnya, suami cuek saja dan sedikit pun tak memuji atau berkomentar. Akibatnya, terang Dini, "Kebutuhan-kebutuhan emosi tak diperoleh di rumah."
TANPA ANAK
Saat berbulan madu kedua, anjur Dini, sebaiknya pasangan hanya berdua saja. Tak usah mengajak orang lain semisal anak-anak. Banyak pasangan yang bilang, "Kami sering, kok, pergi berdua, tapi sama anak-anak." Nah, kalau yang ini, bukan bulan madu namanya. "Boro-boro punya waktu untuk berdua. Yang ada malah sibuk ngurusin anak," cetus Dini.
Kendati membawa babysitterpun, perhatian si ibu tetap saja lebih besar ke anak. Sebaliknya, kalau anak ditinggal, pikiran si ibu juga tetap ke anak. Jadi, bagaimana, dong?
Dini mengakui, umumnya pada masa anak berusia balita, merupakan suatu masa yang sangat melelahkan. Khususnya bagi si ibu. "Di masa ini, hampir tak terpikirkan oleh si ibu untuk berbulan madu lagi. Kecuali jika kondisi rumah tangga memang sudah parah. Misalnya, suami selingkuh dan susah diajak bicara," tuturnya.
Karena itu, anjur Dini, pasangan sebaiknya mencari seseorang yang dipercaya untuk menggantikan merawat anak atau bayi selama mereka berbulan madu kedua. Dengan demikian, katanya, "Si ibu jadi bisa lebih tenang dan bisa menikmati bulan madunya."
Tapi Dini tak menganjurkan berbulan madu kedua kala si ibu masih menyusui. Meskipun rumah tangga pasangan tengah menghadapi masalah. "Lebih baik cari cara lain untuk mendapatkan solusi. Bicarakan dulu dengan keluarga atau berkonsultasi dengan ahli, misalnya," saran Dini. Menurutnya, waktu yang ideal untuk berbulan madu, minimal setelah anak lepas dari ASI.
Dini pun melihat perlunya membicarakan soal bulan madu kedua ini kepada anak. Tentu jika si anak sudah dapat diajak bicara semisal anak usia Sekolah Dasar. Katakan, "Mama dan Papa ada perlu ke luar kota dan kami enggak mau diganggu."
Menurut Dini, anak kecil bisa melihat, apa yang tengah terjadi pada orang tuanya. "Anak SD pun tahu kalau orang tuanya tengah ribut. Meski sudah berusaha menutup-nutupi, umumnya orang yang sedang emosi nggak bisa berpura-pura. Si anak pasti akan tanya, 'Kenapa, kok, Mama sekarang enggak ramah.' Jadi, apa salahnya kita katakan," tuturnya. Sementara untuk anak remaja, bisa dijelaskan secara detil apa adanya.
DIREMBUK
Soal pilihan tempat berbulan madu, Dini menyarankan, sebaiknya dirembuk berdua. Apalagi jika suami termasuk tipe orang yang bisa berkompromi, "Tentu akan lebih mudah dikompromikan mau ke mana bulan madunya." Tapi bila tipe suami decision maker, saran Dini, "Ya, ikuti sajalah kemauannya. Karena, toh, tujuan utama bulan madu bukan untuk bersenang-senang."
Lagipula, sambung Dini, setiap tempat baru pasti akan menciptakan suasana baru. Pasangan juga tak harus pergi ke luar kota. Bisa saja di hotel di dalam kota, misalnya. "Yang penting, suasananya lain dan masalah yang dihadapai pasangan bisa terselesaikan," kata konsultan bagian rekrutmen pegawai sebuah biro konsultasi ini.
Dini mengingatkan, jangan sampai masalah pemilihan tempat justru menciptakan ketegangan baru. Jika pasangan saling ngotot soal tempat, katanya, "Seolah-olah yang dipentingkan justru jalan-jalannya. Bukan mau mencari suasana baru dan mengefektifkan komunikasi di antara mereka." Dengan kata lain, pasangan harus menyadari, apa fungsi kepergian mereka berbulan madu kedua tadi. "Yang utama adalah apa yang bisa mereka lakukan di sana," lanjutnya.
Soal waktu, sebaiknya juga dirembuk bersama. Dini melihat, persoalan tempat dan waktu biasanya akan dihadapi oleh pasangan yang sama-sama berkarier. Karena itu Dini menawarkan, "Sesekali weekend ke hotel ada baiknya bagi pasangan yang sama-sama sibuk, yang enggak punya waktu untuk sharing berbagai masalah." Ia juga mengingatkan, "Jika setiap hari sibuk bekerja sementara Sabtu dan Minggu dihabiskan untuk anak-anak, bisa-bisa pasangan akan saling terjauhkan."
Satu hal lagi, saran Dini, ""Kalau perlu, dandanan diperbaiki. Khususnya bagi istri. Banyak, kan, perempuan beranggapan, di rumah tak perlu dandan. Nah, boleh, kan, sekali ini ia berdandan untuk suami. Dengan pergi berdua dan berdandan, suami tentu akan melihat sesuatu yang lain," tuturnya.
SERING-SERING
Soal efektif atau tidaknya bulan madu kedua, menurut Dini, sangat tergantung pada niatan masing-masing. Misalnya saja, ada pasangan yang menyatakan, merasa sangat tersinggung dengan sikap pasangannya yang berselingkuh. Tapi setelah berbulan madu kedua, tetap saja ia belum bisa melepaskan bayangan WIL-nya atau sebaliknya.
Perlu diingat pula, tak selalu sepulang dari berbulan madu lantas hubungan suami-istri yang tadinya renggang, segera bisa kembali normal. Tapi minimal, tutur Dini, "Pasangan mendapat pemahaman baru yang positif tentangan pasangannya. Karena mungkin saja selama ini pasangan punya pikiran negatif terhadap teman hidupnya."
Nah, usai berbulan madu kedua, tutur Dini lebih lanjut, "Suami atau istri diharapkan jadi tahu keinginan dan kebutuhan pasangannya, sehingga bisa berempati terhadap pasangannya. Itu lebih baik daripada suami atau istri tak pernah tahu kondisi pasangannya, bukan?"
Dari sinilah nanti akan timbul keinginan untuk memperbaiki diri dan saling membina pengertian baru. Dengan kata lain, dari bulan madu kedua ini akan diperoleh keterikatan atau suasana baru. Baik bagi pasangan yang berbulan madu karena ada masalah maupun yang tak ada masalah alias cuma karena jenuh semata.
Lantaran itu Dini melihat tak ada batasan berapa kali pasangan harus berbulan madu kedua. Selama bulan madu bisa menciptakan suasana baru, ikatan yang makin baik dengan pasangan, komunikasi bisa semakin baik, dan kehidupan rumah tangga bisa lebih lancar, maka, "Tak ada salahnya untuk selalu berbulan madu," tukas Dini.
Meski begitu, Dini memberi catatan, "Sejauh itu enggak boros dan tak membuat keluarga malah jadi terbengkalai, lo." Contohnya, anak sedang menghadapi ujian dan membutuhkan orang tua sebagai pendamping, "Ya, sebaiknya jangan berbulan madu dulu." Yang jelas, tekan Dini, makin sering pasangan membuat suasana baru seperti itu, maka rumah tangga akan makin terlepas dari situasi yang menjemukan.
Dalam banyak kasus, seperti dituturkan Dini, sering ditemukan suami menyeleweng tanpa alasan yang jelas. "Ternyata sang suami cuma jenuh karena nggak ada suasana baru di rumah. Istri dan suasana rumah begitu-begitu aja." Nah, jika pada saat itu muncul perempuan lain yang bisa membuat suasana baru bagi sang suami, "Akibatnya bisa runyam!" Jadi, kapan Anda berdua melakukan bulan madu kedua?
Hasto Prianggoro