Apa saja problema yang dihadapi istri berkarier? Benarkah ibu bekerja menyebabkan anak jadi terlantar? Bagaimana menyiasatinya?
Banyak alasan yang menyebabkan seorang istri memutuskan bekerja. Salah satunya karena ingin membantu ekonomi keluarga. "Mungkin istri merasa keluarganya perlu memperoleh income dari kedua belah pihak, sehingga ia ambil bagian dalam segi ekonomi keluarga," tutur Dra. Catherine D.M. Limansubroto, MSc. Bisa juga istri bekerja karena tuntutan keadaan semisal suami kena PHK. "Kebetulan ia pun memiliki kesempatan untuk bekerja," ujar psikolog ini.
Keinginan untuk mengaktualisasikan diri juga menjadi alasan lain seorang istri memutuskan bekerja. "Mungkin karena pendidikannya yang cukup tinggi, sehingga ia ingin mengabdikan ilmunya," kata Chaterine. Tapi tak jarang pula keinginan bekerja muncul karena istri melihat di lingkungannya, semua wanitanya bekerja. "Mungkin karena ibu dan kakak-kakaknya yang wanita bekerja semua, sehingga ia merasa aneh jika tak bekerja. Jadi ia bekerja karena memang ia merasa harus bekerja," jelasnya.
Yang jelas, apapun alasannya, dengan seorang istri bekerja pastilah akan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi tertentu. Apalagi bila istri harus bekerja full time. Misal, waktu istri belum bekerja, rumah selalu rapi dan bersih. Tapi setelah istri bekerja, ia tak sempat lagi melakukannya. Karena sepulang kerja, badannya sudah lelah dan ia lebih memilih langsung memegang anak daripada membersihkan rumah.
Contoh lain, biasanya setiap pagi istri selalu menyiapkan sarapan untuk suaminya yang hendak berangkat kerja. Setelah istri juga bekerja, kebiasaan itu perlahan-lahan menghilang lantaran tuntutan pekerjaan yang mengharuskan istri tiba di kantor lebih awal. Atau, biasanya istri yang memasak setiap hari untuk keluarga, tapi sekarang ia hanya bisa melakukannya di saat libur atau weekend saja.
Nah, perubahan-perubahan ini, bila sebelumnya tak diantisipasi oleh istri maupun keluarganya, tentu akan menimbulkan persoalan. Sering timbul konflik batin dalam diri istri. Di satu sisi ia merasa dituntut untuk tetap punya waktu bagi keluarganya, di sisi lain ada pekerjaan yang juga menuntut perhatiannya.
BERBAGI PERAN
Menurut Chaterine, tantangan pertama yang dihadapi istri bekerja adalah bagaimana menyesuaikan dengan keluarga. "Tak jarang istri terlalu asyik bekerja sampai kekurangan waktu untuk keluarganya. Bila ini terjadi, bicarakanlah dengan suami. Suami juga perlu tahu, bagaimanapun konsentrasi istri jadi terbagi. Dengan adanya komunikasi yang baik, pasti akan ada jalan keluar," tuturnya.
Dalam hal ini, lanjut Chaterine, kuncinya adalah kesepakatan pembagian peran. "Memang, pria dan wanita diciptakan untuk berbeda, tapi tak berarti mereka lantas menjalani fungsinya masing-masing secara kaku," katanya. Misal, dalam pengasuhan anak. "Kan, tidak harus selalu ibu yang mengantarkan anaknya ke dokter atau mengambilkan rapor anak. Malah bagus jika sekali-sekali ayah yang mengambil rapor anak. Jadi ia juga bisa tahu langsung dari guru tentang perkembangan anak, tak hanya dari mulut istrinya. Anak juga perlu dekat, lo, dengan ayahnya," tuturnya.
Chaterine melihat, tak sedikit suami yang begitu toleran sehingga mereka mau menggantikan peran istrinya sebagai ibu kala sang istri harus pergi ke luar kota untuk urusan dinas. "Mereka mau, kok, membantu anak mengerjakan PR, misalnya. Dengan begitu, selain membantu istri, anak juga akan merasa ayahnya punya perhatian. Ini jelas bisa membantu kedekatan antara ayah dan anak," terangnya.
Begitupun soal perhatian istri terhadap suami, yang tentunya akan berkurang secara kuantitas setelah bekerja. Karena tak mungkin istri harus selalu melayani suami sebagaimana dulu sebelum ia bekerja. "Nah, suami juga perlu mengurangi tuntutannya. Istri dapat menanyakan, perhatian seperti apa yang diinginkan oleh suaminya. Kalau semua persoalan dikomunikasikan, pasti akan ada jalan keluarnya," tutur Chaterine.
Yang penting, lanjutnya, suami dan istri mau bersikap saling menghargai. "Suami mengerti kesibukan istri dan mengambil alih tugas istri, sehingga tak semuanya istri yang mengerjakan. Sebaliknya, istri pun harus menghargai bantuan suami. Kalau bisa prinsipnya win-win, sehingga tak ada pihak yang merasa dikalahkan," terangnya.
MENGHARGAI SUAMI
Tantangan lain yang dihadapi istri bekerja ialah kala karier mereka lebih baik daripada suami. Tak jarang hal ini bisa menjadi pemicu konflik di antara suami istri, karena suami tak mau mengakui dan menghargai prestasi yang dicapai istrinya. "Sebenarnya suami tak perlu minder," ujar Chaterine seraya melanjutkan, "Karena bisa saja dalam hal lain suami memiliki kelebihan dibanding istrinya. Misal, ia lebih bijaksana dan tak gampang emosi, sementara istri sebaliknya."
Di sisi lain, istri pun jangan sampai meremehkan suami. "Istri harus tetap menghargai suami meskipun ia mempunyai jabatan yang lebih tinggi," tukas Chaterine. Penghargaan itu bisa diwujudkan dalam banyak hal. Misal, meminta pendapat suami kala istri hendak membuat keputusan-keputusan penting. "Bahkan bila perlu, istri minta suami untuk memutuskan hal-hal tertentu. Dengan begitu, suami akan merasa punya andil," lanjutnya.
Yang tak kalah penting adalah penghargaan istri di hadapan kawan atau teman sejawat. "Suami perlu dihargai di depan mereka. Seperti wanita, pria pun akan tersinggung dan marah kalau dihina dan tak dihargai," kata Chaterine
SOAL UANG
Dalam hal keuangan, Chaterine minta istri tak memojokkan suami dan menyalahkan suami karena ia mempunyai penghasilan lebih rendah. Istri juga mau melibatkan suami saat hendak menggunakan uang untuk membeli barang-barang rumah tangga, misalnya. "Jangan mentang-mentang itu uangnya, lantas keputusannya jadi sepihak," tukasnya.
Harap diingat, kata Chaterine, masalah keuangan sangat sensitif dalam perkawinan. Apalagi jika penghasilan istri lebih tinggi daripada suami. Hal ini lantaran budaya kita masih menuntut pria mempunyai penghasilan lebih tinggi daripada istrinya. Nah, ketika yang terjadi sebaliknya, tak heran bila pria enggak bisa menerimanya.
Belum lagi jika tak ada keterbukaan dan kejujuran di antara suami-istri. "Suami tentu akan bertanya-tanya, 'Kalau kamu punya uang, aku enggak boleh tahu. Tapi uangku, kamu tahu semua.' Ini, kan, enggak fair," kata Chaterine. Akibatnya, muncullah kecurigaan-kecurigaan yang akhirnya diikuti dengan pertengkaran. "Sayang, kan, kalau hanya karena uang lantas timbul konflik," tukasnya.
Karena itu, lanjut Chaterine, alangkah baiknya bila suami-istri saling mengetahui jumlah penghasilan yang diperoleh pasangannya. Lalu dibicarakan bersama untuk keperluan apa saja uang itu akan digunakan. Misal, sebagian penghasilan istri digunakan untuk mencicil tagihan-tagihan seperti tagihan rumah dan cicilan kendaraan, sementara untuk kebutuhan sehari-hari menggunakan penghasilan suami.
Begitupun soal tabungan, besarnya biaya pengeluaran setiap bulan, dan hal-hal apa saja yang harus diantisipasi untuk bulan-bulan mendatang. Bahkan, penggunaan uang untuk keperluan pribadi sekalipun tetap harus diketahui kedua pihak. "Bila kita tahu bahwa uang itu adalah uang kita bersama, maka kita bisa merencanakan segala hal dengan enak. Kita pun menggunakannya jadi enak," kata Chaterine.
PERASAAN BERSALAH
Selain masalah-masalah di atas, yang juga kerap dialami para istri bekerja ialah perasaan bersalah terhadap anak. Perasaan ini terutama menghinggapi para ibu bekerja yang memiliki anak balita.
Sebagaimana diketahui, usia balita merupakan masa penting dalam kehidupan seorang anak. Mereka akan berkembang lebih baik bila mendapatkan banyak belaian, cinta, kasih sayang, perawatan dan perhatian sepanjang hari dari ibunya.
Kendati demikian, para ahli berpendapat, si kecil akan tumbuh dan berkembang sama baiknya bila ia dirawat dan diasuh oleh seseorang yang perhatian dan kasih sayangnya tak jauh berbeda dengan ibunya.
Penelitian pun menunjukkan, tak ada perbedaan berarti antara anak dari ibu bekerja dengan anak dari ibu tak bekerja. Meski dari penelitian itu dikatakan, dalam beberapa hal anak yang ibunya bekerja cenderung lebih mandiri dan tak tergantung pada si ibu, tapi, toh, tak berarti anak yang ibunya tak bekerja lantas menjadi tak mandiri.
Baik ibu bekerja maupun tidak, menurut Chaterine, masing-masing memiliki tantangan sendiri. "Ibu yang tak bekerja tapi jenuh di rumah, juga tak akan membuat anak bahagia. Sebaliknya, ibu yang bekerja tapi enggak memperhatikan anak sepulang kantor, juga tak akan membuat anak bahagia. Jadi, dua-duanya punya konsekuensi," terangnya.
Yang penting diperhatikan oleh para ibu bekerja, Chaterine mengingatkan, kedekatan terhadap anak tak hanya ditentukan dari segi kuantitas. "Kualitas juga menentukan, lo. Jadi, kalau ibunya sibuk bekerja, ya, sebaiknya kualitasnyalah yang ditingkatkan supaya seimbang," anjur dosen pada Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya ini.
Caranya tentu macam-macam. Misal, dengan menelepon anak. Apalagi jika si kecil sudah bisa berbicara. Ia tentu akan senang. "Jadikanlah hubungan telepon sebagai kebiasaan rutin yang penting," anjur psikolog Dr. A. Joseph Burstlen dalam bukunya yang dialih bahasa, Petunjuk Lengkap Mendidik Anak.
Menyediakan waktu khusus bagi anak juga penting. Misal, pergi ke toko buku berdua saja dengan anak kala weekend. Atau, membacakan buku cerita menjelang tidur ketika suatu hari ibu pulang kerja lebih sore. Pendeknya, manfaatkan sebaik mungkin waktu ibu sedang tak bekerja untuk melakukan aktivitas bersama anak maupun hanya sekadar untuk berbincang-bincang dengan anak.
Yang harus diingat, jangan sampai ibu bekerja menunjukkan perasaan bersalahnya secara nyata. Misalnya dengan memenuhi segala permintaan anak. Akibatnya, anak menjadi manja. Segala keinginan atau perintahnya harus dituruti. Kalau tidak, si anak bisa-bisa akan ngambek. Ini tentu tak baik untuk perkembangannya.
HARUS ADA PRIORITAS
Tak dapat diingkari, faktor anak seringkali membuat seorang ibu bekerja mengalami konflik batin. Misalnya saat anak sakit sementara di kantor ada rapat penting. Apalagi jika suaminya tak bisa dimintai bantuan.
Karena itu, Chaterine menganjurkan, sebelum seorang ibu memutuskan untuk bekerja atau kembali bekerja, harus dipikirkan tentang siapa yang akan mengasuh anak-anaknya kelak bila ia bekerja. Apalagi jika selama ini si ibulah yang mengasuhnya sepanjang hari.
"Anak yang biasanya selalu didampingi ibunya, akan terkejut ketika mendapati sang ibu tak lagi mendampinginya karena bekerja," tutur Chaterine. Misal, biasanya sepulang "sekolah", ibu selalu ada di rumah atau makanan selalu disediakan oleh ibu. Tapi setelah ibu bekerja, yang menemani dan menyediakan makanan adalah pembantu. "Buat anak, itu perubahan yang mengejutkan!" tandasnya.
Saran Chaterine, anak sebaiknya dilibatkan dalam hal pengambilan keputusan apakah ibu harus bekerja. Kendati usianya masih balita, si kecil bisa, kok, diajak bicara. "Paling tidak, anak diberi tahu dan diberi gambaran kalau ibu bekerja itu seperti apa. Jadi anak enggak terheran-heran saat mengalami perubahan," terangnya.
Kemudian dalam memilih pekerjaan, menurut Chaterine, sebaiknya pekerjaan yang masih memungkinkan sang ibu untuk punya waktu bagi keluarga. "Meski pilihannya enggak banyak, tapi tetap ada pilihan untuk itu. Sebetulnya banyak peluang, kok. Cuma kadang-kadang kita enggak tahu atau belum mendapatkan informasi," tuturnya.
Selanjutnya yang perlu dilakukan ialah meminta pertimbangan suami. "Bagaimanapun, keputusan istri untuk bekerja harus disetujui suami!" tegas Chaterine. Tanpa dukungan suami, akan sulit bagi seorang istri bekerja untuk memperoleh pengertian dari suaminya. Apalagi untuk meminta suami mau berbagi peran dalam mengasuh anak, misalnya.
Kendati segalanya telah dipertimbangkan dan disepakati, Chaterine mengingatkan, harus tetap ada yang diprioritaskan. "Bagaimanapun setiap wanita harus punya prioritas dalam hidupnya. Kalau prioritasnya adalah anak dan keluarga sementara pekerjaan nomor dua, maka enggak perlu bingung ketika anak sakit, misalnya. Jelas ia harus lebih mementingkan anak dengan konsekuensi meninggalkan pekerjaan," terangnya.
Bagaimana jika dampaknya si ibu malah kehilangan pekerjaan? Apa boleh buat. Setiap pilihan selalu ada risikonya, bukan?
Hasto Prianggoro/nakita