Kasih Sayang Eyang Tak Selalu, Jelek, Kok

By nova.id, Senin, 8 Maret 2010 | 17:01 WIB
Kasih Sayang Eyang Tak Selalu Jelek Kok (nova.id)

Kalau bicara soal cucu, kakek dan nenek nyaris selalu punya citra negatif. Mereka dianggap "merusak" disiplin yang ditanamkan orangtua. Padahal, tak selalu begitu, lo.

"Cuma segitu saja, kok, ndak boleh. Kasihan, dong, ini ndak boleh itu ndak boleh," begitu biasanya ungkapan para kakek-nenek kala orangtua sedang menerapkan aturan pada si buyung. Alhasil, tak jarang orangtua si anak dibuat jengkel oleh "campur tangan" sang eyang pada para cucunya. Para eyang pun kerap dituding sebagai "perusak" disiplin yang ditanamkan orangtua pada anak-anaknya. Tapi betulkah citra kakek dan nenek seburuk itu?

"Banyak juga, kok, positifnya. Pemanjaan berlebihan para kakek-nenek terhadap cucunya, tak semuanya negatif," kata psikolog Ieda Poernomo Sigit Sidi.

Bahkan menurut Ieda, di Jakarta, di mana pasangan suami-istri kebanyakan bekerja, "Justru kakek-nenek bisa menjadi alternatif. Mereka bisa jadi pelabuhan, penyeimbang dari kekosongan yang dihadapi anak karena orangtuanya sibuk." Kasih sayang para eyang, jelas Ieda, juga bisa menjadi alat penetralisir jika kebetulan orangtua si anak bersikap amat keras dalam menerapkan disiplin.

Di sini, kakek dan nenek bisa menjadi penyeimbang yang menyejukkan. Dengan kata lain, anak punya peluang lain. "Capek, kan, terus-menerus ditekan, harus disiplin. Itulah mengapa saya katakan, pada saat-saat tertentu sikap kakek-nenek ini ada positifnya juga. Sebab, anak, kan, perlu keseimbangan. Kalau ia ditekan terus dengan kewajiban, maka hidupnya penuh beban."

Tentu saja, kakek-nenek harus bisa memilah kelonggaran yang diberikan. Yaitu, hanya pada sesuatu yang tidak prinsip. Misalnya, si buyung sesekali ingin tidur di depan teve. "Kalau itu bukan sesuatu yang prinsip, boleh-boleh saja diberi kelonggaran." Tentu saja sang nenek harus tetap mengingatkan, "Kamu tahu, kan, maksud ibumu melarang tidur di depan teve? Karena kamu, kan, punya kamar sendiri." Dengan demikin, peraturan dari orangtua tidak gugur.

ALTERNATIF

Kedekatan antara kakek-nenek dengan cucu, lanjut Ieda, sebetulnya bisa digunakan untuk memberi masukan ke orangtuanya bila si kecil tak berani mengungkapkan keinginan-keinginannya pada ayah dan ibunya. Kedekatan ini bisa berlangsung hingga si cucu dewasa. Terutama jika kakek-nenek bisa menjadi curahan hati si cucu. "Tapi kalau anak dekat dengan orantuanya, ia tak terlalu memerlukan eyangnya untuk tempat curahan hati. Lain jika ia tak dekat dengan orangtunya. Nah, di sini kakek-nenek bisa menjadi alternatif lain. Itulah segi positifnya."

Hal positif lain, kasih sayang dari kakek-nenek, bisa melatih si kecil akan arti kasih sayang. Untuk bisa menyayangi anak harus merasa disayangi dulu. "Ia perlu dilatih, barulah bisa membalas memberikan kasih sayang. Nah, kakek-nenek adalah orang yang pas. Bahkan bisa memberikan secara berlimpah."

Menurut Ieda Poernomo, campur tangan kakek-nenek yang dianggap negatif adalah bila mereka langsung membela si cucu sambil mendiskreditkan orangtua di depan si anak. Misalnya, "Kenapa, sih, enggak boleh? Kamu dulu lebih bandel dari itu!"

BEDA KEPENTINGAN

Mengapa sikap kakek-nenek kepada cucu berbeda dengan orangtuanya? Ini terjadi karena adanya perbedaan kepentingan. Sebagai orangtua, ayah dan ibu berkepentingan terhadap masa depan anaknya. Sedangkan kakek-nenek, kepentingan untuk menjadikan si cucu sebagai pribadi mandiri, tetap ada meski secara tak langsung. Pada para eyang, terdapat lebih banyak unsur kelegaan karena telah mengantar putra-putrinya hingga dewasa, menikah, dan memberinya cucu. "Bagi mereka, cucu ibarat simbol keberhasilannya mendidik anak. Itulah sebabnya kehadiran cucu dianggap lebih banyak sebagai kebanggaan dan kegembiraan sehingga kasih sayang pada si cucu amat besar bahkan cenderung berlebihan."

Kasih sayang yang kelewatan itulah yang kerap menimbulkan konflik. Dan konflik akan semakin terbuka bila antara kakek-nenek dan anak/menantu terdapat ketidakcocokan. Biasanya, yang muncul ke permukaan adalah siapa yang menang dalam percaturan tersebut. Apakah aturan ayah-ibu atau kakek-nenek? "Jadi, bukan bagaimana yang bagus untuk anak, tapi aturan siapa yang akan dipakai."

Konflik antara orangtua dengan kakek-nenek akan mudah dilihat anak. Akibatnya, si kecil jadi pintar bersandiwara. Ia jadi tahu, bagaimana harus bersikap di depan orangtuanya dan jika berhadapan dengan eyangnya. Alhasil, anak akan menjadi orang yang "pandai memanfaatkan situasi".

MENGHINDARI KONFLIK

Jadi, bagaimana agar konflik tak muncul? "Orangtua si anak harus bicara dengan kakek-nenek. Jelaskan, apa yang boleh dan tak boleh dilakukan anak. Kakek atau nenek boleh memberi saran berdasar pengalaman saat mereka dulu jadi orangtua. Dengan demikian, pola pendidikan bagi si anak mengacu pada apa yang terbaik untuk si kecil dan bukan soal aturan siapa yang dipakai," kata Ieda lebih lanjut.

Bisa saja aturan orangtua berbeda dengan kakek-nenek. Jika ini yang dihadapi, sebagai orangtua, kita bisa menjelaskan pada kakek-nenek, bahwa kita tahu, mereka bersikap seperti itu karena sayang cucu. Namun mengingat zaman sudah berubah, tentu anak perlu persiapan lebih agar ia bisa menghadapinya. "Dengan kata lain, kakek-nenek diajak melihat ke depan. Bahwa situasi sekarang dan nanti berbeda dengan saat mereka dulu jadi orangtua."

Soalnya, kakek-nenek, kan, cenderung menjadikan diri mereka sebagai acuan. Sering, kan, kita dengar mereka berujar, "Ah, waktu kamu kecil juga begitu." Padahal, bisa saja permasalahannya sama, tapi karena zaman yang dihadapi si anak akan berbeda, maka strategi pemecahannya juga harus berbeda.

PERTAHANAN SENDIRI

Jika pihak kakek dan nenek bersikeras menganggap cara mereka yang terbaik, jangan keburu pusing. "Ambil cara lain, yaitu dengan cara memberdayakan anak. Kepentingan kita, kan, dengan anak, jadi anaklah yang harus lebih diberdayakan." Bagaimana caranya? Jika Anda tahu si kecil diizinkan duduk di atas meja oleh eyangnya (sementara di rumah, itu merupakan hal terlarang), katakan padanya, "Tadi Mama lihat Adik duduk di atas meja. Kamu tahu kenapa? Soalnya Adik, kan, masih kecil. Jadi, Eyang taruh kamu di atas meja supaya bisa melihat kamu. Tapi Adik tahu, kan, kalau mau duduk, bukan di meja, tapi di kursi."

Dengan mengungkapkan kenyataan, anak pun akan memahami perbedaan mengapa di rumah neneknya ia diperbolehkan duduk di atas meja. Yang jelas, memberdayakan anak akan membuat anak membentuk sendiri pertahanannya dan dia yang bicara langsung pada kakek-neneknya bila ada hal-hal yang tidak sesuai. Misalnya, "Jangan es krim, ah, Nek, nanti batuk. Makan es krimnya nanti saja kalau batuknya sudah sembuh."

Lebih lanjut Ieda menjelaskan, justru perbedaan-perbedaan aturan antara orangtua dan kakek-nenek, perlu dikenal anak. "Perbedaan ini akan memperluas wawasannya. Bukankah saat besar nanti, dalam kehidupannya ia akan menemui perbedaan-perbedaan? Nah, dari sinilah anak berlatih."

AJARAN KI HAJAR DEWANTORO

Idealnya, kata Ieda Poernomo Sigit Sidi, peran kakek-nenek adalah yang sesuai dengan ajaran Ki Hajar Dewantoro. Yaitu, pada saat anaknya masih balita, ia memberi contoh pada anaknya (Ing ngarso sun tulodo). Kala si anak dewasa, ia berjalan sejajar dengan anak (Ing madya bangun karso) dan ketika si anak dewasa dan sudah menikah, ia menarik diri ke belakang (Tut wuri handayani). Orangtua si cuculah yang menjadi inti sementara kakek-nenek mengawasi saja.

Kakek-neneklah yang bertugas mengingatkan jika cara mendidik anaknya agak terlalu keras. Misalnya, jika disiplin yang diterapkan terlalu ketat sehingga menjadi beban bagi si kecil yang belum lagi berusia 5 tahun. "Jadi, tugas eyang adalah mengingatkan anaknya, bukan mendikte. Begitu juga kalau cucunya nakal, kakek-nenek bisa membantu menegur si cucu."

Bisa jadi malah kakek-nenek ini menjadi pengamat yang berpengalaman. Misalnya, "Kamu kalau mendidik seperti itu, bisa jadi anakmu akan menjadi seperti si anu." Atau "Saya dulu juga waktu punya anak pertama penuh cita-cita sepertimu. Tapi kalau bisa membalik sejarah, mau, deh, saya tidak berbuat begitu."

Pengalaman yang dimiliki kakek-nenek juga bisa dimanfaatkan sebagai tempat berguru. "Tapi harus lihat-lihat. Kalau pandangannya kaku dan ia terpaku pada kejayaan masa lalu, ya, agak susah untuk dibuat berguru karena jadi tidak realistis."

Yang paling ideal adalah jika kakek dan nenek sadar, situasi yang dihadapi si cucu sudah sangat berlainan. Jelaskan, misalnya, mengapa Anda "memaksa" si kecil ikut les ini dan itu. "Ibu, kan, tahu, sekarang ini saja masuk perguruan tinggi susah sekali. Kalau ia tak dipersiapkan sejak sekarang, dengan les ini-itu, bagaimana ia bisa masuk perguruan tinggi nantinya? Persaingannya ketat sekali." Jadi, kakek dan nenek disosialisasikan dengan situasi sekarang, juga ke abad yang akan dihadapi si cucu.

SEBAGAI PENGAWAS

Melakukan sosialisasi seperti disebut di atas menjadi amat penting lagi jika fungsi kakek-nenek bukan sekadar pengawas melainkan sebagai pengasuh langsung. Misalnya, karena orangtuanya sibuk bekerja, si kecil dititipkan ke kakek-neneknya. "Berarti mereka harus belajar lagi situasi sekarang. Sebab, mereka tidak lagi sekadar sebagai penasihat, tapi pelaksana karena ia terjun langsung."

Namun menurut Ieda, kakek-nenek sebaiknya jangan dijadikan pelaksana. "Sebab ia sudah tua, sudah lelah kalau harus mengurusi cucunya. Masak ia harus ikut mengganti popok, menyuapi si cucu ke sana-kemari. Kan, kasihan. Beri, dong, mereka kesempatan untuk menikmati masa tuanya. Masak tugasnya enggak putus-putus. Habis mengurus anak, ke cucu."

Kalau pun kakek-nenek diminta mengasuh cucu karena orangtuanya bekerja, seyogyanya si anak dititipkan bersama babby sitter-nya. Jadi, kakek-nenek cukup sebagai pengawas saja. "Nah, itu yang namanya kita menghargai atau menghormati orangtua."

Indah Mulatsih/nakita