Santai saja, Bu-Pak. Pacaran gaya mereka bukan dalam arti sebenarnya, kok. Tapi, tak berati boleh dibiarkan, lo. Si kecil tetap harus diberikan penjelasan.
"Ma, tadi di 'sekolah' Dino pacaran sama Sita," lapor si kecil kala Anda menjemputnya pulang "sekolah". Bila si kecil dan kedua temannya itu adalah murid-murid SMP atau SMA, mungkin Anda tak akan terkejut mendengarnya. Tapi ini, anak TK, kok, sudah ngomong pacaran segala? Bahkan, ada yang sampai "bercita-cita" mau kawin segala, "Nanti aku mau kawin dengan Noni aja, ya, Pa?" Nah, lo?
Tapi, tak perlu panik, apalagi sampai marah dan bahkan melarangnya untuk mengungkapkan hal tersebut. Soalnya, apa yang ia pikirkan mengenai kata pacaran, suka, kawin ataupun cinta, belum tentu sama seperti yang dipikirkan oleh orang dewasa. Bagi seorang anak, terang dra. Henny Eunike Wirawan, M.Hum, kalau ia suka sama temannya atau kerap bermain bersama, bisa saja dikatakan sebagai pacaran.
"Tapi hanya sebatas karena si teman itu orangnya baik, misalnya, atau menyenangkan. Cuma itu, kok, yang ada dalam pikirannya." Jangan lupa, anak usia prasekolah, proses berpikirnya masih praoperasional. Jadi, ia tak bisa menghubungkan terlalu jauh. Dalam pikirannya, karena si teman baik, maka aku suka berteman dengannya, main sama dia, pulang "sekolah" bareng dia. Belum sampai cinta seperti orang dewasa karena alam pikirannya memang belum sampai ke sana. Selain, hormon seksualnya juga belum berkembang.
DULU SD KINI TK
Sebenarnya, tutur Henny, anak kecil ngomong soal cinta-cintaan, pacaran, dan kawin, bukan terjadi sekarang saja. "Sejak dulu pun sudah sering terjadi anak kecil bersikap 'genit' dan mulai 'pacar-pacaran'." Hanya bedanya, kalau dulu mulainya saat duduk di bangku SD, maka kini di tingkat TK pun sudah mulai mengalami masa tersebut. Penyebabnya, terang Henny, karena manusia adalah makhluk seksual. "Harus disadari, kebutuhan untuk dekat atau attachment untuk mendapatkan keintiman dibutuhkan oleh semua orang sejak ia kecil." Terlebih lagi, di usia TK pun identitas gender sudah diketahui bahwa saya perempuan dan ia lelaki; saya punya bentuk badan seperti ini, modelnya begini, dan ia punya bentuk badan yang lain lagi.
Makanya, sering tercetus, kan, perkataan, "Kamu lelaki, maka kamu enggak boleh main sama kami, anak perempuan. Anak lelaki mainnya beda." Disamping itu, dulu masih jarang anak yang masuk TK, kebanyakan langsung masuk SD. Makanya dulu, adegan perjodohan atau pacaran baru dilakukan kala SD. "Kalau sekarang, kan, anak-anak memasuki sekolah lebih cepat. Bukan hanya TK, bahkan ada yang sejak play group segala. Dengan demikian, pengenalan terhadap lawan jenis juga lebih cepat." Jadi, tandas Pembantu Dekan I Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta, ini, enggak heran jika adegan perjodohan antara mereka pun berlangsung lebih cepat pula.
MENIRU LINGKUNGAN
Tentunya, anak juga belajar dari lingkungan. Jangan lupa, proses perkembangan anak usia ini masih laten learning; anak hanya menangkap atau menyerap apa yang tampak dari luar. Jadi, ada aspek peniruan. "Mungkin di rumahnya ia pernah melihat orang dewasa memberi contoh demikian padanya. Bisa saja, kan, kakaknya atau tantenya berpasang-pasangan seperti itu atau orang tuanya kerap meledek si kakak atau si tante dengan kata-kata pacaran tersebut," tutur Henny. Sehingga, pemahaman tentang makna pacaran sudah ada dalam konteks alam pikirannya, walaupun makna pacaran gaya dia belum sampai pada taraf seperti halnya yang dipikirkan orang dewasa.
Orang tua, ujar Henny, harus sadar bahwa dirinya akan selalu dicontoh anak. Jadi, berilah contoh yang baik. Apalagi yang namanya anak, bagaimana pun akan selalu berkeinginan jadi orang dewasa. Bagi si anak, orang dewasa punya akses yang luas; bisa berbuat apa saja. Sementara akses dirinya sangat terbatas; mau bermain ke seberang jalan saja mesti diantar, mau melakukan apa saja kadang enggak boleh. Itulah mengapa, anak selalu ingin jadi orang tua. Lihat saja permainan boneka mereka; ada yang berperan jadi ayah, ibu, bahkan dokter, misalnya.
Jadi, kalau ingin tahu akar permasalahannya mengapa si kecil sampai mengenal kata-kata asmara, saran Henny, orang tua sebaiknya introspeksi diri. "Dari mana ia menangkap konsep kata-kata tersebut? Apakah keluarganya kerap membicarakan hal-hal demikian? Apakah ia kerap mendengar atau melihat hal-hal pacaran seperti itu?" Enggak mungkin, kan, kata-kata itu ada dengan sendirinya tanpa stimulus dari luar? Lihat saja sekarang, jangankan kata pacaran, kosa kata tawuran saja, anak TK sudah tahu dan memahaminya. Karena tawuran terjadi dan berlangsung terus di sekitar anak.
Coba, deh, ingat-ingat lagi dan perhatikan, apakah orang-orang di rumah sering melontarkan kata-kata asmara? Kalau tidak, mungkin si kecil mendapatkan kata-kata tersebut dari lingkungan bermainnya. Atau, bukan tak mungkin ia mendapatkannya dari TV. Apalagi jika Bapak-Ibu membolehkan ia menonton TV dengan bebas tanpa ada bimbingan dan kontrol. Tak heran bila ia mendapatkan stimulus sebelum waktunya. Bukankah di TV dengan mudah bisa ditemukan adegan pacaran, ciuman, dan sebagainya, yang sebenarnya belum layak ia tonton? Akhirnya, ia pun belajar dari tontonan tersebut. "Itulah gunanya orang tua menyaring tontonan TV bagi anak dan mendampinginya selama menonton," bilang Henny.