Pacaran? Beri Pendidikan Seks

By nova.id, Sabtu, 27 November 2010 | 17:01 WIB
Pacaran Beri Pendidikan Seks (nova.id)

Santai saja, Bu-Pak. Pacaran gaya mereka bukan dalam arti sebenarnya, kok. Tapi, tak berati boleh dibiarkan, lo. Si kecil tetap harus diberikan penjelasan.

"Ma, tadi di 'sekolah' Dino pacaran sama Sita," lapor si kecil kala Anda menjemputnya pulang "sekolah". Bila si kecil dan kedua temannya itu adalah murid-murid SMP atau SMA, mungkin Anda tak akan terkejut mendengarnya. Tapi ini, anak TK, kok, sudah ngomong pacaran segala? Bahkan, ada yang sampai "bercita-cita" mau kawin segala, "Nanti aku mau kawin dengan Noni aja, ya, Pa?" Nah, lo?

Tapi, tak perlu panik, apalagi sampai marah dan bahkan melarangnya untuk mengungkapkan hal tersebut. Soalnya, apa yang ia pikirkan mengenai kata pacaran, suka, kawin ataupun cinta, belum tentu sama seperti yang dipikirkan oleh orang dewasa. Bagi seorang anak, terang dra. Henny Eunike Wirawan, M.Hum, kalau ia suka sama temannya atau kerap bermain bersama, bisa saja dikatakan sebagai pacaran.

"Tapi hanya sebatas karena si teman itu orangnya baik, misalnya, atau menyenangkan. Cuma itu, kok, yang ada dalam pikirannya." Jangan lupa, anak usia prasekolah, proses berpikirnya masih praoperasional. Jadi, ia tak bisa menghubungkan terlalu jauh. Dalam pikirannya, karena si teman baik, maka aku suka berteman dengannya, main sama dia, pulang "sekolah" bareng dia. Belum sampai cinta seperti orang dewasa karena alam pikirannya memang belum sampai ke sana. Selain, hormon seksualnya juga belum berkembang.

DULU SD KINI TK

Sebenarnya, tutur Henny, anak kecil ngomong soal cinta-cintaan, pacaran, dan kawin, bukan terjadi sekarang saja. "Sejak dulu pun sudah sering terjadi anak kecil bersikap 'genit' dan mulai 'pacar-pacaran'." Hanya bedanya, kalau dulu mulainya saat duduk di bangku SD, maka kini di tingkat TK pun sudah mulai mengalami masa tersebut. Penyebabnya, terang Henny, karena manusia adalah makhluk seksual. "Harus disadari, kebutuhan untuk dekat atau attachment untuk mendapatkan keintiman dibutuhkan oleh semua orang sejak ia kecil." Terlebih lagi, di usia TK pun identitas gender sudah diketahui bahwa saya perempuan dan ia lelaki; saya punya bentuk badan seperti ini, modelnya begini, dan ia punya bentuk badan yang lain lagi.

Makanya, sering tercetus, kan, perkataan, "Kamu lelaki, maka kamu enggak boleh main sama kami, anak perempuan. Anak lelaki mainnya beda." Disamping itu, dulu masih jarang anak yang masuk TK, kebanyakan langsung masuk SD. Makanya dulu, adegan perjodohan atau pacaran baru dilakukan kala SD. "Kalau sekarang, kan, anak-anak memasuki sekolah lebih cepat. Bukan hanya TK, bahkan ada yang sejak play group segala. Dengan demikian, pengenalan terhadap lawan jenis juga lebih cepat." Jadi, tandas Pembantu Dekan I Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta, ini, enggak heran jika adegan perjodohan antara mereka pun berlangsung lebih cepat pula.

MENIRU LINGKUNGAN

Tentunya, anak juga belajar dari lingkungan. Jangan lupa, proses perkembangan anak usia ini masih laten learning; anak hanya menangkap atau menyerap apa yang tampak dari luar. Jadi, ada aspek peniruan. "Mungkin di rumahnya ia pernah melihat orang dewasa memberi contoh demikian padanya. Bisa saja, kan, kakaknya atau tantenya berpasang-pasangan seperti itu atau orang tuanya kerap meledek si kakak atau si tante dengan kata-kata pacaran tersebut," tutur Henny. Sehingga, pemahaman tentang makna pacaran sudah ada dalam konteks alam pikirannya, walaupun makna pacaran gaya dia belum sampai pada taraf seperti halnya yang dipikirkan orang dewasa.

Orang tua, ujar Henny, harus sadar bahwa dirinya akan selalu dicontoh anak. Jadi, berilah contoh yang baik. Apalagi yang namanya anak, bagaimana pun akan selalu berkeinginan jadi orang dewasa. Bagi si anak, orang dewasa punya akses yang luas; bisa berbuat apa saja. Sementara akses dirinya sangat terbatas; mau bermain ke seberang jalan saja mesti diantar, mau melakukan apa saja kadang enggak boleh. Itulah mengapa, anak selalu ingin jadi orang tua. Lihat saja permainan boneka mereka; ada yang berperan jadi ayah, ibu, bahkan dokter, misalnya.

Jadi, kalau ingin tahu akar permasalahannya mengapa si kecil sampai mengenal kata-kata asmara, saran Henny, orang tua sebaiknya introspeksi diri. "Dari mana ia menangkap konsep kata-kata tersebut? Apakah keluarganya kerap membicarakan hal-hal demikian? Apakah ia kerap mendengar atau melihat hal-hal pacaran seperti itu?" Enggak mungkin, kan, kata-kata itu ada dengan sendirinya tanpa stimulus dari luar? Lihat saja sekarang, jangankan kata pacaran, kosa kata tawuran saja, anak TK sudah tahu dan memahaminya. Karena tawuran terjadi dan berlangsung terus di sekitar anak.

Coba, deh, ingat-ingat lagi dan perhatikan, apakah orang-orang di rumah sering melontarkan kata-kata asmara? Kalau tidak, mungkin si kecil mendapatkan kata-kata tersebut dari lingkungan bermainnya. Atau, bukan tak mungkin ia mendapatkannya dari TV. Apalagi jika Bapak-Ibu membolehkan ia menonton TV dengan bebas tanpa ada bimbingan dan kontrol. Tak heran bila ia mendapatkan stimulus sebelum waktunya. Bukankah di TV dengan mudah bisa ditemukan adegan pacaran, ciuman, dan sebagainya, yang sebenarnya belum layak ia tonton? Akhirnya, ia pun belajar dari tontonan tersebut. "Itulah gunanya orang tua menyaring tontonan TV bagi anak dan mendampinginya selama menonton," bilang Henny.

LURUSKAN JALAN PIKIRANNYA

Namun dalam menghadapi si kecil yang demikian, Bapak-Ibu tak perlu buru-buru marah dan langsung melarang, "Anak kecil enggak boleh pacar-pacaran!", misalnya. "Kemarahan orang tua hanya akan membuat ia jadi penasaran sehingga ia akan cari tahu lebih banyak lagi," ujar Henny. Selain itu, kalau ia melihat ternyata orang tua teman-temannya enggak pernah mempermasalahkan hal itu, ia akan berpikir lagi, "Kok, bapak-ibunya teman-temanku enggak apa-apa, tapi kenapa Papa-Mama malah marah?", sehingga ia akan melihat ayah-ibunya sebagai orang tua yang aneh.

Saran Henny, lebih baik secara bergurau tanyakan apa konsep pacaran baginya. "Nanti, kan, akan keluar konsep berpikirnya. Kalau enggak benar, orang tua tinggal meluruskan." Misal, konsep yang ditangkapnya ialah kalau lelaki dan perempuan jalan bareng sudah berarti pacaran. Nah, ini, kan, enggak betul. Bukankah tak selalu perempuan dan lelaki yang akrab serta jalan bareng itu pacaran? Lewat jawaban-jawaban anak, Bapak-Ibu juga bisa mengetahui dari mana sumber masalahnya; apakah lantaran Bapak-Ibu yang telah keliru mengajarinya ataukah ia mendapatkannya dari TV, atau malah dari teman-temannya? "Dengan begitu, pemecahan selanjutnya akan lebih mudah," tandas Henny. Jadi, kuncinya cuma komunikasi terbuka antara orang tua dan anak, ya, Bu-Pak.

Henny pun menyarankan, Bapak-Ibu enggak usah terlalu merisaukan hal ini selama konsep berpikir anak masih aman. "Cukup orang tua melihat aktivitas dia." Kalau ia ternyata meniru perbuatan pacaran orang dewasa, misalnya, ikut berciuman bibir atau meraba-raba dada, "barulah dilarang." Meskipun pada anak kecil belum ada hormon seksual pada diri mereka, namun jangan lupa, anak kecil memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar, sehingga bisa saja perbuatan itu dilakukan sebagai saluran dari rasa ingin tahunya. "Nah, kalau ia akhirnya mendapat pengalaman yang menyenangkan dari coba-coba ini, maka akan keterusan. Kan, malah bahaya."

Jika hal tersebut sudah kadung terjadi pada si kecil, Henny tetap tak setuju bila Ibu-Bapak memarahinya atau malah memaki-makinya sebagai anak kurang ajar. "Dia, kan, sebenarnya cuma ingin tahu. Jadi, hargailah rasa ingin tahunya itu dengan sesuatu yang lebih mendidik, yaitu pendidikan seks." Tapi juga jangan malah membiarkannya saja. Banyak, lo, orang tua yang beranggapan, "Ah, dia, kan masih kecil. Nanti juga akan mengerti dengan sendirinya."

Nggak bisa begitu, Pak-Bu. Tanaman saja kalau kita menginginkan ia tumbuh dengan baik, maka harus rajin dirawat dan diberi pupuk agar tumbuh sesuai kehendak kita. Nah, begitu juga dengan anak. "Kalau dibiarkan saja, ia bisa tumbuh dengan liar." Tak cuma itu, dengan tak ada rem atau pengarahan dari orang tua, ia bisa menjadi anak yang enggak sopan, tak dapat menghargai orang lain, dan tak peduli dengan kepentingan orang lain. Kita tentunya tak menginginkan buah hati tercinta tumbuh dan berkembang menjadi seperti itu, kan?  

SI KECIL MARAH DIJODOH-JODOHKAN

 Ada, kan, anak yang malah marah karena dikatakan pacaran atau dijodohkan oleh teman-temannya? Menurut Henny, kemarahan anak bukan karena ia tak suka betulan dengan si teman yang dijodohkan kepadanya, "tapi lebih karena malu dan juga karena ia tak ingin jadi bahan olok-olok teman-temannya terus-menerus." Itulah mengapa, ada anak yang malah menjauhi si teman yang dijodohkan dengannya, nggak mau bermain lagi dengannya. Semata karena takut ketahuan teman-temannya dan nanti dibilang pacaran lagi. Tapi ada juga, lo, yang malah memusuhi teman-temannya dan bahkan ada yang sampai ogah masuk "sekolah" lagi.

Saran Henny, ajaklah ia bicara. "Bangkitkan rasa percaya dirinya dengan mengatakan bahwa teman-temannya cuma bercanda dan bermain-main, jadi nggak perlu diambil hati." Katakan pula, "Yang penting, kan, Kakak masuk 'sekolah'. Dengan Kakak rajin 'sekolah', maka Kakak akan jadi pintar. Nah, kalau Kakak pintar, maka tak akan ada teman yang meledek Kakak lagi." Jadi, anak ditantang agar rajin "sekolah". Bapak-Ibu juga perlu menerangkan padanya tentang manfaat berteman. "Kakak enggak boleh memusuhi teman. Bukankah mereka sebenarnya baik?

Walaupun mereka mengolok-olok Kakak pacaran sama si Toni, tapi nyatanya Kakak enggak pacaran, kan, sama Toni. Jadi, kenapa Kakak harus memusuhi Toni dan teman-teman yang lain? Justru kalau Kakak suka berteman, maka teman-teman Kakak akan bertambah banyak. Nah, mungkin saja salah satu dari teman-teman Kakak akan jadi suami Kakak nanti. Tapi bisa saja suami Kakak itu bukan berasal dari teman-teman yang sekarang, melainkan orang lain lagi yang akan Kakak jumpai saat Kakak besar nanti."

Memang, ujar Henny, untuk menerangkan konsep ini, anak tak akan cepat mengerti karena dunia anak sangat terbatas. "Pola pikirnya masih now and here. Ia belum bisa membayangkan tentang konsep nanti sehingga tak jarang ada anak kecil yang ngotot, 'pokoknya aku mau kawin dengan dia saja, Ma.' Nah, tugas orang tualah membukakan kesadaran tersebut pada anak."

BERIKAN PENDIDIKAN SEKS

Henny berpendapat, biarkan si kecil omong pacaran atau kawin segala macam. Toh, "pacaran" gaya anak-anak hanya sebatas jalan bareng selama berangkat dan pulang "sekolah", makan siang bareng, serta main bersama. Yang penting, tandasnya, berdayakan anak dengan penjelasan, "Pacaran hanya boleh dilakukan oleh orang yang mau menikah, yaitu orang yang sudah gede, yang sudah bekerja. Jadi, sekarang Kakak berteman saja dulu."

Selanjutnya, pesan Henny, jangan lupa untuk memberikan pendidikan seks. "Pertama kali mungkin dengan cara memperkenalkan alat reproduksi masing-masing. Misal, lelaki tak punya dada yang menggunung, sedangkan Mama punya. Kenapa Mama punya dada besar karena ini untuk menyusui bayi, karena yang mengandung itu hanya ibu, tak ada bapak hamil atau bapak menyusui. Kakak lihat, kan, tak ada bapak yang menyusui. Hal demikian juga diajarkan pada anak perempuan." Pendidikan seks yang demikian penting karena anak harus menjaga kebesihan alat reproduksinya agar tak terkena infeksi.

"Terlebih pada anak perempuan, ia harus tahu bagaimana menjaga kebersihan alat reproduksinya sebagai jalan lahir bayinya kelak." Dengan demikian, ia sekaligus diajarkan bagaimana bertanggung jawab atas dirinya. "Kemudian, ajarkan ia bagaimana menghargai dirinya dan orang lain. Kalau ia keluar dari kamar mandi, misalnya, sebaiknya tak lantas meluncur ke depan dengan bertelanjang. Sering, kan, anak kecil bersikap demikian.

Nah, ajarkan bahwa kalau keluar dari kamar mandi harus sudah dalam keadaan rapi memakai baju. Minimal tutupilah tubuhnya dengan handuk. Hal ini harus dibiasakan sejak kecil." Dengan mengajarkan konsep malu dan menghargai diri sendiri, menurut Henny, ia akan menyayangi badannya. Selanjutnya, ia juga harus ditanamkan, apa yang boleh dan tak boleh dilakukan oleh orang lain terhadap tubuhnya, terutama kepada anak perempuan.

"Demi untuk memproteksi atau menghindari ia mendapat perlakuan penyimpangan seksual dari orang lain." Jelaskan, misal, "Ini badan Kakak. Kakak harus menjaganya. Jangan sampai ada orang yang enggak Kakak suka atau Kakak enggak kenal memegang-megang badan Kakak. Apalagi kalau Mama enggak ada. Yang boleh memegang badan Kakak hanya Mama. Jadi, walaupun itu Papa atau Om, tak bisa sembarangan pada badan Kakak. Yang boleh dipegang hanya tangan, rambut, bahu, dan sebagainya." Kalau ia bertanya, "Kenapa?", jelaskan lebih lanjut.

Indah Mulatsih