Agar Si Kecil Senang "Sekolah"

By nova.id, Jumat, 24 September 2010 | 17:35 WIB
Agar Si Kecil Senang Sekolah (nova.id)

"Saya katakan, program itu baik sekali tapi bukan untuk anak saya. Jadi, saya mau mengambil anak saya, walaupun mereka mencoba menahannya. Lha, anak saya sudah ngompol terus-terusan, kok. Sehari ia ber'sekolah' di situ saja langsung ngompol, maka seminggu kemudian saya ambil." Jadi, Bu-Pak, pindahkan saja si kecil kalau "sekolah"nya sudah tak bisa dibenahi lagi. Tapi sebaiknya jangan terlalu lama. "Paling lama setelah satu atau dua minggu di awal tahun pengajaran," kata Anggani. Dengan demikian, si anak belum berakar betul di "sekolah" itu. Ia juga belum begitu akrab dengan teman-temannya.

ORANG TUA MENGAJARKAN DI RUMAH

Biasanya, lanjut Anggani, anak yang tadinya merasa terbebani di "sekolah", setelah dipindahkan justru jadi lega. "Ia jadi lebih happy, merasa lepas dari itu." Tentunya pilih "sekolah" baru yang mempunyai sistem lebih dibandingkan "sekolah" lama. "Sekolah yang baru harus lebih plus. Gurunya lebih menyenangkan, pengajaran yang lebih baik, dan sistem yang lebih baik. Setidaknya yang mau mengakui hak anak secara individual dan memberikan pengajaran secara individual pula."

Tapi kalau ternyata enggak ketemu yang plus, maka orang tualah yang harus mengimbanginya di rumah. Misalnya, mengajarkan komputer dan bahasa Inggris dengan cara yang benar di rumah. "Malah mungkin hasilnya lebih bagus dibandingkan dari 'sekolah'." Jadi, sebenarnya tanpa dari "sekolah" pun, anak-anak bisa mendapatkan pengetahuan banyak. Begitu pula bila anak terbebani gara-gara PR yang banyak, orang tua tetap harus meng-counter-nya.

"Orang tua di rumah harus pandai-pandai membuat suasana sedemikian rupa bahwa school is nothing. Singkirkan PR itu, sekarang baca dengan Mama saja, enggak usah kerjakan PR itu, misalnya." Atau bisa juga dengan mengajak anak menonton film kesukaannya, main kartu sama ayah atau ibu. "Jangan salah, dengan main kartu pun sebenarnya anak juga belajar membaca karena huruf di kartu ini, kan, bisa saja sama dengan namanya. Pokoknya, lakukan permainan-permainan yang bisa memberi kekebasan anak untuk memilih."

Tentu saja, orang tua harus menginformasikan kondisi ini pada guru di "sekolah"nya. Misalnya, "Bu, anak saya ngompol terus-menerus selama seminggu ini. Maka dari itu saya minta izin untuk sementara menghilangkan PR-nya dulu karena saya tak ingin anak saya ngompol lagi." Nah, kalau gurunya memaklumi, biasanya gurunya akan mendekati anak dan berusaha menghilangkan trauma yang terjadi. Dengan begitu, anak akan selamat, ia tak akan trauma apa-apa, happy seperti teman-temannya.

Selanjutnya, tentu guru menyesuaikan sistem pengajarannya bahwa untuk anak ini terlalu berat apa yang diberikan, mungkin membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk ia dapat mengerjakan materi itu. Bukankah guru harus memperlakukan anak didiknya secara individual? "Kalau pembelajarannya dengan cara bermain, guru bisa melihat secara individual. Setiap anak akan terperhatikan dan bisa diperlakukan dengan cara yang tak sama. Anak itu, kan, unik."

ENJOY BILA DILIBATKAN

Sebenarnya, tutur Anggani, anak akan merasa enjoy di "sekolah" jika ia dilibatkan dalam setiap kegiatan, tak melulu mengerjakan sesuatu karena suruhan guru. "Jadi, anak dibiarkan memilih sendiri apa yang ingin dikerjakannya. Apakah ia mau menggambar, mewarnai, dan sebagainya. Ia pun boleh menggambar apa saja yang paling disukainya. Dengan demikian, anak akan merasa senang." Apalagi, jika dalam setiap aktivitas, gurunya juga mengajak berdialog. Misalnya anak menggambar wajah orang dewasa. Guru bisa minta anak untuk menuliskan apa yang digambarnya. "Saya suka Papa," misalnya. Kalau belum bisa menulis, gurunyalah yang menuliskan. Kalaupun sudah bisa menulis, biasanya yang ditulisnya hanya "papa" saja.

"Nah, gurunya tetap harus tanya dan meneruskan tulisannya 'aku suka papa' tersebut." Dengan demikian, selain anak akan terdorong untuk belajar meniru tulisan, ia juga akan membuahkan perasaan positif dan kepercayaan diri. Nanti ia akan bilang sama orang tuanya, "Ini gambar saya, judulnya 'Saya suka Papa'." Terlebih lagi jika gurunya kembali bertanya, "Kamu suka Papa kenapa?" Si anak pun akan menjawab, "Karena Papa suka main bola," misalnya.

Nah, minta ia menggambar bolanya, lantas tulis kata "bola". "Jadi, dalam gambarnya itu ada elaborasi, ada kerja keras, sehingga anak pun akan lebih puas. Ia merasa terlibat di dalamnya." Hal ini akan membuatnya merasa enjoy dan kreativitasnya juga berjalan. Percaya, deh, Bu-Pak, jika sang buah hati ber"sekolah" di TK yang memberikan interaksi demikian, ia akan betah. Bahkan, ia mungkin tak akan mau pulang meskipun sudah waktunya pulang. Jadi, kembali lagi, pintar-pintarnya Bapak dan Ibu dalam memilih TK yang tepat untuk sang buah hati. 

PR TAK ADA GUNANYA

PR menulis dan sejenisnya di TK, menurut Anggani Sudono, tak ada gunanya. Juga tak akan melatih kedisiplinan, malah menyita waktu anak saja. "Justru lebih baik kalau anak diminta membantu ibunya menjaga toko, misalnya. Ia bisa ikut membungkus, menerima orang, bicara dengan orang itu. Itu semua akan mengembangkan kemampuan komunikasinya." Kalaupun ada PR, sebaiknya PR tersebut berupa mereka diminta menggambar sesukanya. "Kamu mau menggambar satu halaman boleh, menggambar dua halaman juga boleh. Temanya pun tak ditentukan." Jadi, tak ada PR menulis huruf dan sebagainya. Bila anak ingin menulis karena di rumah punya papan tulis, misalnya, biarkan ia main-main dan coret-coret sesukanya. Kalau ia mau main guru-guruan bersama teman atau adiknya juga tak apa. Toh, tak ada PR-nya.

Indah Mulatsih