Tentunya mimpi buruk akan mengganggu tidur anak. Kendati begitu, mimpi buruk bukan merupakan gangguan tidur yang perlu dicemaskan. Yang dimaksud gangguan tidur dalam hal ini ialah sesuatu yang membuat anak tak bisa tidur nyenyak. "Anak usia ini, kan, belum bisa menyampaikan segala yang dihadapinya secara jelas. Ia ingin ngomong tapi tak bisa menuangkannya secara tepat ke dalam kata-kata. Jadi, munculnya dalam bentuk mimpi buruk," tutur Lidia.
Jadi, dalam batas-batas tertentu, mimpi buruk masih boleh dikatakan wajar. "Sekitar 30 persen anak dibawah usia 4 tahun pernah mengalaminya," ujar Lidia. Lain halnya jika mimpi buruk masih saja terjadi ketika anak diatas usia 6 tahun. "Anak yang sudah mulai bisa menjelaskan secara verbal, tapi setiap kali ada masalah masih dibawa tidur, berarti ada sesuatu yang mungkin tetap tak terucapkan," terang Lidia. Begitu pula bila frekuensinya terlalu sering, perlu dicermati. Sebab, terlalu sering mimpi buruk bisa mengganggu keseluruhan kegiatan anak. Misalnya, tak mau makan. "Tapi kalau cuma sekali-sekali dan orang tua bisa mendapatkan penjelasan, ya, enggak apa-apa."
LAKUKAN PENGKONDISIAN
Namun demikian, Lidia minta, orang tua sebaiknya juga tak membiarkan begitu saja saat anak mengalami mimpi buruk. "Orang tua perlu melakukan semacam pengkondisian untuk membuat anak merasa aman dan nyaman menjelang tidur." Tapi apa bentuk pengkondisian tersebut, menurut Lidia, tergantung penyebabnya. "Jika terjadi trauma yang betul-betul mendalam, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah pendampingan sebegitu rupa, tapi juga tak membuat anak menjadi dependen atau tergantung."
Jadi, kalau si kecil takut untuk tidur, ya, orang tua menemani; atau membacakan cerita, namun ceritanya yang jauh dari sifat horor semacam nenek sihir, karena hanya akan membuat anak semakin takut. "Pokoknya, yang sifatnya bisa mengalihkan anak dari kejadian yang menakutkannya itu." Sikap orang tua dalam menghadapi mimpi buruk yang dialami anak juga akan berpengaruh.
Meski anak belum mampu mencerna seperti orang dewasa mencerna apa yang dikatakan orang lain, tapi jika orang tua selalu panik setiap kali anak mimpi buruk, maka anak pun akan terbawa dan bisa semakin takut. Misalnya, pagi harinya si ibu bertanya kepanikan, "Aduh, kamu kenapa, sih, semalam teriak-teriak begitu?" Reaksi panik dari orang tua, tutur Lidia, akan membuat anak merasa bahwa mimpi buruk adalah sesuatu yang harus ditakutkan. Meskipun ia belum mengerti, namun ia bisa merasakannya, "Buktinya, Mama takut banget kalau aku mimpi." Jadi, tandas Lidia, orang tua harus berupaya untuk bisa mengkondisikan bahwa segalanya aman. Misalnya, dengan mengatakan, "Nggak apa-apa, kok, Sayang."
JANGAN DITAKUT-TAKUTI
Selanjutnya, bila anak sudah lupa pada mimpi buruknya, orang tua sebaiknya juga tak usah mengutak-atik lagi. "Tapi kadang ada gunanya juga meminta anak untuk bercerita tentang mimpi buruknya, meski ngomongnya masih terbata-bata," ujar Lidia. "Biarkan anak bercerita sampai ia merasa lepas. Setelah itu, orang tua bisa mengatakan, 'Waktu Adik bangun masih di tempat tidur bagaimana. Nggak apa-apa, kan?' Ini juga dilakukan untuk mengajarkan kepada anak bahwa antara fakta dan mimpi adalah 2 hal yang berbeda.
Bercerita juga akan menjadi katarsis bagi anak," lanjutnya. Yang juga penting, jangan menambah akumulasi ketakutan anak. Misalnya, anak yang takut pada gelap, sebaiknya jangan ditakut-takuti. "Kadang orang tua nggak sadar menjadikan ketakutan anak sebagai senjata," tukas Lidia. Misalnya, mengancam memasukkan anak ke dalam kamar gelap. "Anak dibawah usia 3 tahun, kan, masih sangat peka terhadap gelap dan terang. Buat dia, itu juga merupakan trauma kecil. Mungkin munculnya enggak dalam bentuk kamar gelap; bisa, misalnya, bermimpi tentang lorong gelap, dan sebagainya." Nah, sudah enggak panik lagi, kan!
Hasto Prianggoro/nakita