Setelah anak terbiasa mendengarkan nada-nada, lanjutnya, biasanya ia juga ingin menghasilkan nada-nada. Itulah mengapa anak-anak suka memukul-mukul kaleng atau piring di rumah. "Ini merupakan langkah awal kemampuan musikalnya," tandas Nortir. Kemampuan musikal yang tak disangka-sangka ini, entah vokal maupun instrumental, dijumpai di usia 2 tahun dan mencapai puncaknya di usia 5 tahun bagi anak perempuan dan 10 tahun bagi anak lelaki. "Mungkin karena anak perempuan lebih cepat dewasa," ujarnya. Jadi, usia prasekolah yang tepat untuk memacu kemampuan musik pada anak. "Di usia 3 tahun biasanya anak sudah bisa menyenandungkan la-la-la. Ia juga sudah bisa mengikuti irama. Ia sudah bisa menyenandungkan hingga not ke-3," terang penciptaa lebih dari 200 karya musik dan lagu ini. Selanjutnya, di usia 4-5 tahun ia sudah mengenal ritmis. Artinya, ia bisa mengikuti irama dengan goyangan badannya.
Di usia ini ia juga sudah mengenali accord. Kemampuannya menganalisis nada juga sudah bisa hingga nada ke-5. "Tentunya pilihan lagu yang diberikan harus disesuaikan dengan kemampuan anak usia tersebut, yaitu sesuai dengan wilayah nada untuk anak usianya yang tak lebih dari wilayah nada ke-5," sambung juri pada Festival Paduan Suara Internasional di New York dan Washington D.C. (USA) dan Pemilihan Musik Dunia (ROSTRUM) di Moskwa dan Alma Ata (Kazakhstan-USSR). "Lain halnya bila si anak berbakat sekali dan bisa cepat maju sehingga mampu meningkat sampai pada lagu-lagu yang wilayah nadanya lebih tinggi," tambahnya yang selama 20 tahun terus menerus menjadi juri Pemilihan Bintang Radio-Televisi RI Tingkat Daerah dan Nasional.
Selain itu, lagunya juga tak melulu harus yang berbahasa Indonesia, "bahasa asing pun boleh, asalkan lagunya sesuai dengan wilayah nadanya, sehingga ia bisa mengikuti," kata Nortir. Sebab, anak usia ini belum membutuhkan bahasanya, tapi lebih dipentingkan pada pengenalan nada dan irama. "Jadi asalkan anak bisa turut berla-la-la sudah cukup, tak harus hapal lirik lagunya." Alangkah baiknya bila anak juga diberi wawasan musik yang seluas-luasnya, tapi tetap di wilayah nada tertentu yang sesuai dengan usianya. Jadi, iramanya saja yang berubah. Sebab, bila tak sesuai dengan wilayah nadanya ia akan tak mampu. Begitupun bila si kecil diperdengarkan musik klasik, harus sesuai dengan wilayah nadanya.
TAK BOLEH TIMBULKAN BEBAN
Dalam mengajarkan musik pada anak, entah itu vokal ataupun instrumental, menurut Nortir, sebaiknya dilakukan oleh sang ibu. "Mother tangue-lah yang paling alamiah, langsung dari bahasa ibunya. Karena anak umumnya lebih percaya pada ibunya. Tak masalah suara ibunya fals ataupun tidak, anak akan lebih senang jika ibunya yang mengajarinya menyanyi, bukan kaset," tutur pencetus ide Bintang Radio dan Televisi Golongan Remaja ini.
Namun cara mengajarinya tak mesti harus serius. Dengan cara mengajak anak menyanyi bersama diiringi tepuk tangan, juga sama saja dengan mengajarkan birama pada anak. "Dengan belajar irama dan ketukan lagu, kemampuan musikalnya juga terasah. Akhirnya, kemampuan kognitifnya juga berkembang," lanjut anggota MPR dari utusan golongan pemusik periode 1987-1992 yang kerap menerima pesanan himne dan mars dari instansi pemerintah, partai, angkatan bersenjata, perusahaan penerbangan, persekutuan gereja dan Senam Kesegaran Jasmani ini.
Tentunya jika orang tua sibuk, tak menutup kemungkinan untuk diajarkan oleh orang lain atau guru yang berpengalaman. "Siapa pun gurunya, tak mesti harus sarjana musik. Saya saja tak punya pendidikan formal musik. Pokoknya, asalkan ia bisa mengajarkan musik sesuai tahapan kemampuan anak, ia bisa menjadi guru yang baik," kata Nortir. Tapi orang tua harus ikut mengontrol kemampuan gurunya. Bila tak sesuai dengan perkembangan anak, misalnya, mengajarkan yang terlalu tinggi dari batas kemampuan si anak, maka gantilah gurunya. Pendeknya, pelajaran musik pada anak tak boleh menimbulkan beban. Karena, alamnya anak adalah bermain-main.
Jadi, mengajarkan musik pada anak juga harus dengan bermain-main. "Buatlah kegiatan belajar yang menyenangkan. Dengan demikian anak akan suka mendalaminya. Pada anak tak boleh mengajarkan konsep-konsep yang sifatnya teori. Yang penting adalah menanamkan nada dan irama."
Cara mengajarkannya pun harus menyenangkan agar anak tak bosan. Guru harus pandai memvariasikan sistem atau metoda mengajarnya. "Kalau tadinya murid melakukan peniruan dan guru memberikan contoh-contoh, maka gantilah menjadi Tut Wuri Handayani, anak dibiarkan berekspresi, guru tinggal mengarahkan." Selain itu, lama belajar sebaiknya tak lebih dari 45 menit. Dalam seminggu bisa sekali atau dua kali, tergantung kemampuan anak. Tak masalah apakah anak belajar secara pribadi atau kelompok, tergantung anaknya. Namun umumnya, yang namanya anak-anak biasanya akan lebih bersemangat belajar jika ada temannya. Lagipula, dengan belajar secara kelompok, anak juga belajar disiplin dan bekerja sama dengan teman. Misalnya, saat bermain musik atau bernyanyi bersama.
Sementara instrumen musik yang bisa dimainkan anak usia prasekolah adalah pianika. "Cuma kalau ditiup mungkin membuat anak jadi malas karena harus memakai media nafas. Yang pakai baterai, mungkin bisa diberikan. Kalau tidak, pakai piano betulan juga bisa," kata Nortir.
Selain itu, fluet juga bisa jadi pilihan. Tapi kalau harmonika dan gitar, jangan dulu, deh, karena agak susah buat anak. Lebih baik yang langsung kontak dan menghasilkan nada tertentu. Karena yang dipentingkan dalam pelajaran musik ini ialah anak bisa menganalisis nada dan mengapresiasikannya.
Namun, ujar Nortir, harap diingat, anak belajar musik bukan berarti ia harus menjadi musikus. "Yang penting melatih otak kanannya. Albert Einstein saja pemain biola andalan, tapi ia bukan musikus. Ia lebih dikenal sebagai ahli fisika," tuturnya. Yang juga penting, jangan lantas berhenti belajar setelah anak duduk di Sekolah Dasar karena nanti kemampuannya juga bisa terputus. Toh, tak ada salahnya kemampuan tersebut terus dikembangkan. Bukankah musik dapat mengasah lobus temporalis kanannya? Nah, mulai sekarang sering-seringlah menyanyi bersama si kecil ya, Bu.
Indah Mulatsih/nakita