Ingin Anak pintar? Musik Kuncinya

By nova.id, Sabtu, 7 Agustus 2010 | 17:09 WIB
Ingin Anak pintar Musik Kuncinya (nova.id)

Tak percaya? Silakan Bapak-Ibu buktikan sendiri!

Sejumlah penelitian membuktikan, musik mampu meningkatkan kecerdasan anak. Sekitar 4 tahun lalu, kebenaran teori ini diuji ulang oleh Prof. Martin Gardiner, ahli riset otak, yang melakukan penelitiannya terhadap 96 anak usia 5-7 tahun di sekolah musik di Providence, Rode Island (Inggris). Hasilnya, musik ternyata dapat membantu memperbagus kemampuan dasar membaca, menulis, dan berhitung pada anak-anak. Bahkan anak-anak yang berkemampuan membaca di bawah rata-rata pun dapat mengejar ketinggalannya setelah mereka diperkaya dengan pelajaran musik.

Tampaknya kita tak perlu ragu lagi dengan kebenaran teori ini. Malah, ahli filsafat Plato pun jauh-jauh hari sudah mengatakan bahwa matematika dan musik menjadi kriteria bagi orang cerdas dan terdidik. Hal ini juga diutarakan oleh komponis Nortir Simanungkalit, "Musik adalah alat pendidikan sekaligus untuk mengasah intellekt einfuhlung atau rasa intelektual. Bangsa yang musikal adalah bangsa yang cerdas." Itulah mengapa para ahli sering menganjurkan agar anak sejak usia dini, bahkan sejak masih di kandungan ibu, sudah diperkenalkan dengan musik.

OTAK BAGIAN KANAN

Musik, ujar Nortir, berkaitan dengan fungsi otak bagian luar sebelah kanan. Otak bagian luar yang disebut lobus temporalis, terdiri dari bagian kiri dan kanan. Lobus temporalis kiri berhubungan dengan daya ingat dan bahasa, sedangkan lobus temporalis kanan mendata segala hal yang berhubungan dengan daya nalar, intelektual, dan daya pikir. "Nah, ilmu-ilmu eksakta dan musik ada di lobus temporalis kanan ini. Hal ini sudah diteliti secara terpisah oleh dua doktor dari Inggris dan Amerika sekitar tahun 80-an sehingga tahun tersebut dikenal dengan dekade Neurologi," terangnya.

Jadi, tandas pria berusia 70 tahun yang sempat 2 tahun kuliah Paedagogik dan Filsafat di Universitas Gajah Mada Yogyakarta ini, kalau ingin anak kita pintar maka lobus temporalis kanan inilah yang harus dilatih. Salah satu caranya dengan melatih anak bermain musik atau mendengarkan musik. "Lihat saja King David, Albert Einstein, ataupun Pitagoras adalah pemusik semua," tukasnya.

Sayangnya, lanjut Nortir, pendidikan di Indonesia tak mempertimbangkan keseimbangan kerja otak bagian kanan dan kiri. "Pendidikan di Indonesia lebih mementingkan otak bagian kiri. Lihat saja, pelajaran sekarang hampir semuanya hapalan. Pun untuk pelajaran eksakta, yang seharusnya pelajaran nalar, juga dibuat hapalan. Semuanya demi memburu NEM dan UMPTN," tutur pensiunan pegawai negeri Depdikbud ini. "Sedangkan anak-anak di Eropa dan Amerika, sejak dulu diajarkan musik di sekolah-sekolah mereka, bahkan hingga punya orkes simponi segala. Inilah yang mengasah nalar mereka sehingga mereka jadi pintar dan maju," lanjutnya.

DI STIMULUS SEJAK KECIL

Nortir menganjurkan agar sejak dini anak sebaiknya diasah kemampuan musiknya. "Kalau bisa sejak masih di kandungan sudah diperdengarkan musik," ujar penasihat berbagai organisasi musik yang belajar musik secara otodidak ini. Misalnya, sang ibu hamil bersenandung. Jangan salah, lo, janin pun sudah bisa mendengar. Kemudian setelah si bayi lahir, sang ibu mendendangkan lagu nina bobo, ia pun mendengar. "Dengan cara distimulus sejak kecil inilah, maka lobus temporalis kanannya pun terasah, sehingga ia lebih mudah menyerap masukan lainnya. Kepekaannya dalam menangkap alam juga akan lebih baik," lanjut anggota Internasional Music Council (IMC) dan president of the Indonesia Music Commitee ini.

Sebab, terangnya, dalam mendengarkan musik, bukan hanya melalui telinga, tapi juga mendengarkan dan merasakan lewat perasaan sehingga menggugah kepekaannya. Selain itu, musik juga memberikan kesenangan dan membantu anak mempelajari berbagai keterampilan yang perlu dikuasainya. Dengan musik, anak juga mampu mengendalikan emosinya. Kala sedih atau senang, ia bisa mencurahkan lewat musik dan lagu. Anak pun bisa berkembang imajinasinya lewat syair lagu. "Setidaknya, kalau ia punya kemampuan menguasai alat musik tertentu, ia punya saranan untuk penyaluran emosinya," tambah pelatih vokal dan paduan suara untuk perorangan maupun lembaga-lembaga pemerintah dan nonpemerintah ini.

Yang tak kalah penting, apresiasi si anak pada musik juga akan tumbuh. Nah, kalau aspresiasinya sudah tumbuh, maka ia akan bisa menganalisis nada. "Cucu saya saja yang selama ini tinggal di Amerika, ketika datang ke sini langsung bisa menirukan suara azan yang didengarnya dari masjid, karena sejak kecil ia sudah dilatih musik. Itu, kan, sama saja dengan mampu menganalisis nada-nada dan menirukannya," tutur guru musik yang telah "melahirkan" sejumlah penyanyi besar seperti Hetty Koes Endang, Emilia Contessa, dan Maya Rumantir ini.

SESUAI WILAYAH NADANYA

Setelah anak terbiasa mendengarkan nada-nada, lanjutnya, biasanya ia juga ingin menghasilkan nada-nada. Itulah mengapa anak-anak suka memukul-mukul kaleng atau piring di rumah. "Ini merupakan langkah awal kemampuan musikalnya," tandas Nortir. Kemampuan musikal yang tak disangka-sangka ini, entah vokal maupun instrumental, dijumpai di usia 2 tahun dan mencapai puncaknya di usia 5 tahun bagi anak perempuan dan 10 tahun bagi anak lelaki. "Mungkin karena anak perempuan lebih cepat dewasa," ujarnya. Jadi, usia prasekolah yang tepat untuk memacu kemampuan musik pada anak. "Di usia 3 tahun biasanya anak sudah bisa menyenandungkan la-la-la. Ia juga sudah bisa mengikuti irama. Ia sudah bisa menyenandungkan hingga not ke-3," terang penciptaa lebih dari 200 karya musik dan lagu ini. Selanjutnya, di usia 4-5 tahun ia sudah mengenal ritmis. Artinya, ia bisa mengikuti irama dengan goyangan badannya.

Di usia ini ia juga sudah mengenali accord. Kemampuannya menganalisis nada juga sudah bisa hingga nada ke-5. "Tentunya pilihan lagu yang diberikan harus disesuaikan dengan kemampuan anak usia tersebut, yaitu sesuai dengan wilayah nada untuk anak usianya yang tak lebih dari wilayah nada ke-5," sambung juri pada Festival Paduan Suara Internasional di New York dan Washington D.C. (USA) dan Pemilihan Musik Dunia (ROSTRUM) di Moskwa dan Alma Ata (Kazakhstan-USSR). "Lain halnya bila si anak berbakat sekali dan bisa cepat maju sehingga mampu meningkat sampai pada lagu-lagu yang wilayah nadanya lebih tinggi," tambahnya yang selama 20 tahun terus menerus menjadi juri Pemilihan Bintang Radio-Televisi RI Tingkat Daerah dan Nasional.

Selain itu, lagunya juga tak melulu harus yang berbahasa Indonesia, "bahasa asing pun boleh, asalkan lagunya sesuai dengan wilayah nadanya, sehingga ia bisa mengikuti," kata Nortir. Sebab, anak usia ini belum membutuhkan bahasanya, tapi lebih dipentingkan pada pengenalan nada dan irama. "Jadi asalkan anak bisa turut berla-la-la sudah cukup, tak harus hapal lirik lagunya." Alangkah baiknya bila anak juga diberi wawasan musik yang seluas-luasnya, tapi tetap di wilayah nada tertentu yang sesuai dengan usianya. Jadi, iramanya saja yang berubah. Sebab, bila tak sesuai dengan wilayah nadanya ia akan tak mampu. Begitupun bila si kecil diperdengarkan musik klasik, harus sesuai dengan wilayah nadanya.

TAK BOLEH TIMBULKAN BEBAN

Dalam mengajarkan musik pada anak, entah itu vokal ataupun instrumental, menurut Nortir, sebaiknya dilakukan oleh sang ibu. "Mother tangue-lah yang paling alamiah, langsung dari bahasa ibunya. Karena anak umumnya lebih percaya pada ibunya. Tak masalah suara ibunya fals ataupun tidak, anak akan lebih senang jika ibunya yang mengajarinya menyanyi, bukan kaset," tutur pencetus ide Bintang Radio dan Televisi Golongan Remaja ini.

Namun cara mengajarinya tak mesti harus serius. Dengan cara mengajak anak menyanyi bersama diiringi tepuk tangan, juga sama saja dengan mengajarkan birama pada anak. "Dengan belajar irama dan ketukan lagu, kemampuan musikalnya juga terasah. Akhirnya, kemampuan kognitifnya juga berkembang," lanjut anggota MPR dari utusan golongan pemusik periode 1987-1992 yang kerap menerima pesanan himne dan mars dari instansi pemerintah, partai, angkatan bersenjata, perusahaan penerbangan, persekutuan gereja dan Senam Kesegaran Jasmani ini.

Tentunya jika orang tua sibuk, tak menutup kemungkinan untuk diajarkan oleh orang lain atau guru yang berpengalaman. "Siapa pun gurunya, tak mesti harus sarjana musik. Saya saja tak punya pendidikan formal musik. Pokoknya, asalkan ia bisa mengajarkan musik sesuai tahapan kemampuan anak, ia bisa menjadi guru yang baik," kata Nortir. Tapi orang tua harus ikut mengontrol kemampuan gurunya. Bila tak sesuai dengan perkembangan anak, misalnya, mengajarkan yang terlalu tinggi dari batas kemampuan si anak, maka gantilah gurunya. Pendeknya, pelajaran musik pada anak tak boleh menimbulkan beban. Karena, alamnya anak adalah bermain-main.

Jadi, mengajarkan musik pada anak juga harus dengan bermain-main. "Buatlah kegiatan belajar yang menyenangkan. Dengan demikian anak akan suka mendalaminya. Pada anak tak boleh mengajarkan konsep-konsep yang sifatnya teori. Yang penting adalah menanamkan nada dan irama."

Cara mengajarkannya pun harus menyenangkan agar anak tak bosan. Guru harus pandai memvariasikan sistem atau metoda mengajarnya. "Kalau tadinya murid melakukan peniruan dan guru memberikan contoh-contoh, maka gantilah menjadi Tut Wuri Handayani, anak dibiarkan berekspresi, guru tinggal mengarahkan." Selain itu, lama belajar sebaiknya tak lebih dari 45 menit. Dalam seminggu bisa sekali atau dua kali, tergantung kemampuan anak. Tak masalah apakah anak belajar secara pribadi atau kelompok, tergantung anaknya. Namun umumnya, yang namanya anak-anak biasanya akan lebih bersemangat belajar jika ada temannya. Lagipula, dengan belajar secara kelompok, anak juga belajar disiplin dan bekerja sama dengan teman. Misalnya, saat bermain musik atau bernyanyi bersama.

Sementara instrumen musik yang bisa dimainkan anak usia prasekolah adalah pianika. "Cuma kalau ditiup mungkin membuat anak jadi malas karena harus memakai media nafas. Yang pakai baterai, mungkin bisa diberikan. Kalau tidak, pakai piano betulan juga bisa," kata Nortir.

Selain itu, fluet juga bisa jadi pilihan. Tapi kalau harmonika dan gitar, jangan dulu, deh, karena agak susah buat anak. Lebih baik yang langsung kontak dan menghasilkan nada tertentu. Karena yang dipentingkan dalam pelajaran musik ini ialah anak bisa menganalisis nada dan mengapresiasikannya.

Namun, ujar Nortir, harap diingat, anak belajar musik bukan berarti ia harus menjadi musikus. "Yang penting melatih otak kanannya. Albert Einstein saja pemain biola andalan, tapi ia bukan musikus. Ia lebih dikenal sebagai ahli fisika," tuturnya. Yang juga penting, jangan lantas berhenti belajar setelah anak duduk di Sekolah Dasar karena nanti kemampuannya juga bisa terputus. Toh, tak ada salahnya kemampuan tersebut terus dikembangkan. Bukankah musik dapat mengasah lobus temporalis kanannya? Nah, mulai sekarang sering-seringlah menyanyi bersama si kecil ya, Bu.  

Indah Mulatsih/nakita