Jangan Pelit Memberi Pujian

By nova.id, Selasa, 13 Juli 2010 | 17:54 WIB
Jangan Pelit Memberi Pujian (nova.id)

Jangan Pelit Memberi Pujian (nova.id)

"Rohedi/nakita "

Banyak orang tua dengan gampang memberikan hadiah benda/barang kepada anak kala si anak berperilaku baik atau sesuai dengan harapan orang tua. Namun tak demikian halnya dengan pujian, orang tua justru pelit sekali.

Di sisi lain, banyak pula orang tua yang tak gampang memberikan hadiah, entah itu berupa barang maupun pujian. Mereka berpendapat, hal itu tak diperlukan. Toh, nantinya si anak akan mengerti sendiri sesuai perkembangannya. Justru kalau dikasih hadiah, anak malah enggak termotivasi untuk melakukan perilaku yang diharapkan lingkungan.

Hal itu diakui oleh Betty DK. Zakianto, "Memang, kebanyakan orang tua jarang sekali memberikan pujian dan menganggap perilaku anak akan berubah sendiri." Menurut psikolog dari Fakultas UI ini, orang tua lupa bahwa lingkungan juga sangat penting dalam mendorong agar anak berperilaku sesuai dengan yang kita harapkan.

Sebagaimana kita ketahui, hadiah dan pujian merupakan reward atau penghargaan atas perilaku baik yang dilakukan anak. Hal ini sangat diperlukan dalam hubungannya dengan penerapan disiplin pada anak. "Kalau kita ingin disiplin yang kita terapkan bisa berjalan lancar, maka yang namanya reward sangat diperlukan," tandas Betty.

TIGA FUNGSI

Reward atau penghargaan memiliki tiga fungsi penting dalam mengajari anak berperilaku yang disetujui secara sosial. Fungsi yang pertama ialah memiliki nilai pendidikan. Misalnya, si kecil membuang sampah di tong sampah. Nah, pada saat itulah orang tua memberikan penghargaan, "Wah, Kakak pintar, deh." Dengan demikian, si kecil akan belajar bahwa membuang sampah itu baik dan bisa diterima oleh lingkungannya. "Inilah yang dimaksud dengan mengandung fungsi nilai pendidikan," tukas Betty.

Yang kedua, pemberian reward harus menjadi motivasi bagi anak untuk mengulangi perilaku yang diterima oleh lingkungan atau masyarakat. "Jadi, kebalikan dari pendapat yang mengatakan bahwa reward akan melemahkan motivasi anak. Melalui reward, anak justru akan lebih termotivasi untuk mengulangi perilaku yang memang diharapkan oleh masyarakat," lanjut Betty. Karena, seperti ditulis Elizabeth B. Hurlock dalam bukunya Perkembangan Anak, anak bereaksi positif terhadap persetujuan yang dinyatakan dengan penghargaan, sehingga di lain hari ia berusaha untuk berperilaku dengan cara yang akan lebih banyak memberinya penghargaan.

Fungsi yang terakhir ialah untuk memperkuat perilaku yang disetujui secara sosial dan tiadanya penghargaan melemahkan keinginan untuk mengulangi perilaku tersebut. Dengan kata lain, anak akan mengasosiasikan reward dengan perilaku yang disetujui masyarakat, "Kalau saya melakukan itu maka saya akan diterima oleh lingkungan dan akan memperoleh hadiah." Jadi, tandas Betty, "Ada asosiasi yang akhirnya akan membuat anak semakin memiliki keinginan untuk berperilaku baik seperti yang diharapkan masyarakat."

JENIS REWARD

Ada 3 jenis reward atau penghargaan, yaitu hadiah berupa barang/benda, pujian (praise) dan perlakuan istimewa. Namun, apapun jenis reward yang diberikan haruslah disesuaikan dengan tahapan perkembangan anak. Kalau tidak, reward pemberian reward atau penghargaan haruslah proporsional. "Tidak semua perilaku yang dilakukan anak harus diberikan reward, terutama hadiah barang," ujar Betty. Jadi, kalau memang anak sudah mengenal baik-buruk, sebaiknya kita sudah harus mengurangi pemberian hadiah. "Kalau tidak, anak akan menuntut hadiah agar terus diberikan. Inilah yang disebut hadiah menurunkan motivasi berperilaku. Anak akan berpikir, saya nggak mau lagi belajar karena Mama nggak kasih hadiah lagi." Celaka, kan!

Selain itu, kalau kita terlalu sering memberikan hadiah benda, maka anak akan tak menghargai hadiah tersebut. Karena ia akan merasa bahwa ia bisa dengan gampang memperoleh hadiah tanpa harus ada sebabnya.

Kemudian, dalam memberikan hadiah, kita juga jangan hanya memberi begitu saja tanpa anak mengerti mengapa ia diberi hadiah. "Sebaiknya, saat memberikan hadiah juga disertai dengan kata-kata." Misalnya, "Ini Mama berikan karena Kakak sudah melakukan seperti yang akan kehilangan efektivitasnya.

Misalnya, memberi pujian. "Untuk anak usia di bawah 2 tahun, kita enggak bisa hanya memberi reward dalam bentuk pujian, karena anak belum mengerti. Sebaiknya kita juga memberikan mainan atau makanan kesukaannya," terangnya. Jadi, lebih ke reward yang berbentuk fisik. Bisa juga pujian tersebut disertai dengan pelukan, ciuman, atau bentuk komunikasi nonverbal lainnya.

Lain halnya bila si anak sudah berusia prasekolah, lanjut Betty, pujian bisa diberikan tanpa disertai reward yang berbentuk fisik. "Karena di usia tersebut anak sudah sudah mulai bisa diajak berbicara." Tetapi, pujian yang kita berikan haruslah sungguh-sungguh. Jangan sampai kita memuji anak hanya untuk basa-basi atau pura-puta. "Anak itu sangat peka, lo. Ia akan tahu jika orang tuanya berbohong," tukas Betty.

Sedangkan hadiah sebaiknya dipilih yang bisa membuat anak merasa dihargai. "Hadiahnya harus benar-benar benda yang diinginkan anak." Misalnya, barang-barang yang disukai si kecil. Kalau ia suka menggambar, nah, berilah hadiah seperangkat alat gambar. Sebab, "lewat hadiah tersebut anak akan belajar bahwa ia diterima dan punya arti." Pemberian hadiah akan menambah rasa harga diri anak.

Sementara reward dalam bentuk perlakuan istimewa, misalnya, si kecil mendapat bonus menonton VCD 2 judul karena selama seminggu ini ia setiap hari bisa untuk tidak nongkrong selama berjam-jam di depan pesawat TV. Atau, si kecil selama seminggu ini mau berlatih tidur sendiri di kamarnya, sehingga di akhir pekan ia boleh tidur bersama-sama dengan ayah dan ibunya. Contoh lain ialah mengajak si kecil jalan-jalan ke tempat wisata yang sudah lama diinginkannya karena ia telah berperilaku seperti yang kita harapkan. "Perlakuan istimewa akan membuat anak merasa berarti. Ini akan mengembangkan konsep dirinya," kata Betty.

JANGAN TERLALU SERING

Yang perlu diperhatikan, pemberian reward atau penghargaan haruslah proporsional. "Tidak semua perilaku yang dilakukan anak harus diberikan reward, terutama hadiah barang," ujar Betty. Jadi, kalau memang anak sudah mengenal baik-buruk, sebaiknya kita sudah harus mengurangi pemberian hadiah. "Kalau tidak, anak akan menuntut hadiah agar terus diberikan. Inilah yang disebut hadiah menurunkan motivasi berperilaku. Anak akan berpikir, saya nggak mau lagi belajar karena Mama enggak kasih hadiah lagi." Celaka, kan!

Selain itu, kalau kita terlalu sering memberikan hadiah benda, maka anak akan tak menghargai hadiah tersebut. Karena ia akan merasa bahwa ia bisa dengan gampang memperoleh hadiah tanpa harus ada sebabnya.

Kemudian, dalam memberikan hadiah, kita juga jangan hanya memberi begitu saja tanpa anak mengerti mengapa ia diberi hadiah. "Sebaiknya, saat memberikan hadiah juga disertai dengan kata-kata." Misalnya, "Ini Mama berikan karena Kakak sudah melakukan seperti yang Mama harapkan." Dengan demikian, anak belajar bahwa ia memperoleh hadiah karena ia melakukan sesuai apa yang diharapkan orang tua atau lingkungan. "Ini juga akan membantu anak memahami perilakunya, bahwa ia akan mengulangi perilaku itu karena perilaku itu memang diterima oleh lingkungan."

Sementara pujian harus diberikan secara bijaksana, bukan hanya bila kita sedang dalam suasana hati senang. Juga jangan terlalu sering memuji, karena hasilnya malah jadi tidak efektif. "Kalau setiap hari anak dipuji, anak akan merasa bahwa apa yang dilakukannya selalu betul." Selain itu, dikhawatirkan anak tak bisa belajar bahwa selain pujian, ada juga hal lain yaitu kritik. "Kita harus konsisten, kalau memang perilaku anak enggak sesuai dengan kita inginkan, maka anak harus diberi hukuman."

Pujian yang berlebihan selain tidak efektif, juga akan membuat anak menjadi egosentris. Sehingga, jika anak di rumah selalu mendapat pujian sementara di luar ia justru mendapat kritik, maka ia akan sulit menerima. "Anak biasanya akan jadi mudah frustasi, 'Kok, di luar begini?'. Karena selama ini ia memandang dirinya sebagai seorang yang hebat." Itulah mengapa anak juga perlu kritik, tidak hanya pujian.

PERCAYA DIRI

Agar pujian menjadi efektif, maka harus disesuaikan dengan perilaku anak yang memang pantas untuk dipuji. "Kalau itu perilaku yang biasa, nggak perlu dipuji." Misalnya, anak usia 2 tahun selalu bilang setiap kali ia hendak pipis, maka wajar ia mendapatkan pujian. "Tapi bagi anak usia 5 tahun, ini sudah bukan sesuatu yang membutuhkan pujian lagi. Ini memang sudah harus dilakukan sesuai perkembangan usianya."

Bahwa ada anak-anak tertentu yang sulit sekali menerapkan aturan-aturan, Betty mengakuinya. Nah, buat anak seperti ini, "Pujian sangat diperlukan untuk mendorong atau memberi motivasi pada anak supaya melakukan perilaku yang diharapkan." Karena, pujian yang diterima anak akan membuatnya merasa aman, diterima, dan merasa dirinya berarti.

Pujian juga bisa diberikan pada saat anak melakukan perilaku baik yang sebetulnya tidak atau belum kita harapkan dilakukan anak. Misalnya, anak berlaku sopan. "Pada waktu kita memberikan pujian, anak akan merasa berarti," kata Betty.

Yang jelas, tandas Betty, pujian akan meningkatkan rasa percaya diri anak. Misalnya, seorang anak bilang, "Saya pintar, kan." Nah, bagaimana si anak bisa bilang begitu kalau sebelumnya ayah atau ibunya tak pernah memuji ia pintar? Pujian itulah yang menambah kepercayaan diri si anak bahwa ia melakukan sesuatu yang dihargai. "Ini yang penting. Karena di usia ini anak sedang mencari identitas dirinya. Rasa percaya diri atau rasa tidak percaya diri dimulai di usia ini," terangnya.

Betty juga menekankan, perlunya anak untuk juga belajar memuji orang lain, supaya ia bisa menghargai orang lain. "Pujian yang diterima anak akan melatih anak menghargai perilaku orang lain, sehingga ia akan lebih mudah menghargai orang lain," katanya.

Bagaimanapun peranan orang tua memang sangat penting dalam hal penerapan reward, entah itu berupa pujian atau dalam bentuk benda/barang. Jadi, jangan pelit pujian lagi, ya, Bu-Pak!

Hindari Menyuap Anak

Sering terjadi orang tua mengiming-imingi akan memberi hadiah bila anak mau menuruti apa kata orang tua. Misalnya, si kecil susah sekali disuruh makan. Nah, orang tua pun menjanjikan, "Kalau Adik mau makan, nanti Mama belikan es krim."

Cara demikian tak bisa disamakan dengan memberi reward atau penghargaan tapi lebih tepat dibilang sebagai suapan. Karena dalam reward, anak diberikan hadiah sebagai balasan atas perilakunya yang sesuai harapan kita. Jadi, hadiah diberikan setelah anak melakukan perbuatan seperti yang kita harapkan. Sedangkan suapan diberikan agar anak mau melakukan perbuatan atau berperilaku seperti yang kita harapkan.

Walaupun suapan hampir bisa dipastikan cukup "manjur" untuk mendorong anak berperilaku seperti yang kita harapkan, namun menurut Elizabeth B. Hurlock, suapan tidak memiliki nilai positif. Karena, suapan memotivasi anak untuk berperilaku baik hanya bila ia "dibayar" untuk melakukannya. Selain itu, bila anak merasa tidak "dibayar" cukup untuk melakukan perbuatan atau berperilaku yang disetujui secara sosial, maka ia pun tak akan melakukannya. Akibatnya, suapan tidak mendorong pengembangan pengendalian dari dalam diri.

Yang tak kalah penting, suapan juga tak mempunyai nilai pendidikan, karena tak mengajari anak untuk bertanggung jawab atas perilakunya sendiri.

Hasto Prianggoro/nakita