Hati-Hati, Berita Kekerasan Bisa Bikin Anak Trauma

By nova.id, Jumat, 11 Juni 2010 | 17:17 WIB
Hati Hati Berita Kekerasan Bisa Bikin Anak Trauma (nova.id)

Rosa pun sependapat, "Ini menjadi semacam afirmasi. Karena setiap hari si anak disodori berita dan tayangan tentang kekerasan tanpa diberi informasi yang lebih jelas." Anak pun akan beranggapan, "Oh, jadi menakut-nakuti orang itu boleh, merampas dengan cara paksa itu boleh, dan sebagainya."

Di sisi lain, tambah Henny, anak juga bisa menjadi dendam. "Mungkin tak langsung ke orang yang melakukan hal itu, tapi ke kelompoknya." Dendam ini juga mungkin tak langsung muncul saat itu juga, tapi akan terjadi beberapa tahun kemudian. "Mereka tak tahan dengan realitas yang ada, sehingga kemudian membangun realitas sendiri. Mereka membangun dunia mereka yang baru, yakni dunia kekerasan. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada anak Indonesia di abad mendatang jika mereka melakukan hal itu," bilang Henny.

TRAUMA

Tak jarang terjadi, si anak melihat langsung adegan kekerasan tersebut atau bahkan ia melihat anggota keluarganya menjadi korban kekerasan. Misalnya, ia terjebak dalam situasi kerusuhan atau melihat ayahnya kena lemparan batu sampai berdarah-darah. "Wah, itu lebih berbahaya lagi dampaknya," tukas Rosa, "Karena suasananya sudah tak disaring lagi." Misalnya, di bawah terik matahari. Emosi yang ada di dalam ruangan dengan di udara, kan, berbeda.

Selain itu, lanjut Rosa, anak-anak juga akan menjadi lebih sensitif. Mereka bisa merasakan kepanikan yang dimunculkan orang-orang di sekitarnya. Bahkan ketika ia dipeluk sang ibu dengan ketakutan saat terjebak kerusuhan, misalnya, anak juga akan merasakan takut, meskipun sang ibu tak bilang ia takut. "Mereka ikut takut dan menangis tanpa tahu kenapa."

Akibatnya, si anak bisa trauma. Kemungkinannya, menurut Henny, bisa dua. "Kalau ia termasuk tipe anak yang bisa mengekspresikan perasaannya, maka trauma itu akan ia tunjukkan. Misalnya, dengan selalu gelisah atau terbangun dan berteriak-teriak di tengah malam," terangnya. Bahkan, ada yang menjadi rentan terhadap keributan. Sehingga, begitu ada keributan sedikit saja semisal mendengar bunyi letusan, ia akan langsung menangis ketakutan.

Jangan lupa, ujar Henny, kosa kata yang dimiliki anak masih terbatas, apalagi anak usia 3 atau 4 tahun. "Dari mulut mereka tak bisa kita harapkan keluar kalimat seperti, 'Mama, aku takut, aku cemas,' dan sebagainya. Yang ada adalah ekspresi dari apa yang mereka rasakan."

Sebaliknya pada anak yang sulit mengekspresikan diri, "Maka ia bisa menjadi anak yang pendiam dan cenderung menyembunyikan diri di rumah," terang Henny, "Anak akan semakin takut, tak mau bergaul, dan lebih senang menyendiri." Bahkan, bisa-bisa si anak kemudian mengalami gangguan jiwa yang parah.

DAMPINGI ANAK

Bagi anak yang mengalami trauma, jelas Henny, banyak cara yang digunakan untuk menanganinya. Misalnya, lewat terapi. "Terapi yang dilakukan bisa berupa terapi gambar atau terapi bermain untuk mengurangi kecemasan mereka." Jadi, terapinya untuk membuat si anak merasa tenang lagi sehingga ia merasa tetap bisa hidup di dunia. "Tentunya ini perlu waktu."

Karena itulah Henny meminta, masalah ini harus segera ditangani. Sekalipun mungkin si anak tak mengalami trauma, namun bibit-bibit trauma pasti ada. "Makin cepat ditangani akan makin baik. Kalau terlambat, maka penanganannya akan semakin lama dan mahal." Yang jelas, tandasnya, lebih baik telat daripada tidak sama sekali.

Karena mungkin saja orang tua terlalu sibuk sehingga tak sempat mengawasi apa yang ditonton anak. "Kalau cuma sesekali, sih, mungkin nggak akan berakibat apa-apa. Tapi kalau sampai berulang-ulang, ini yang berbahaya."