Banyak Bertanya Belum Tentu Cerdas

By nova.id, Rabu, 9 Juni 2010 | 18:23 WIB
Banyak Bertanya Belum Tentu Cerdas (nova.id)

Banyak Bertanya Belum Tentu Cerdas (nova.id)

"Iman Dharma/nakita "

Kata ahli, memang begitulah ciri anak usia 3 tahun: banyak bertanya. Sehingga pada masa ini sering dikatakan "anak haus tanya". Segala hal yang ia lihat dan dengar yang menarik perhatiannya, pastilah akan ditanyakan.

Soalnya, seperti diterangkan Dra. Mayke S. Tedjasaputra, anak usia ini baru bisa berbicara. "Jadi, dalam rangka mengembangkan kemampuan berbicaranya," ujar psikolog dari Fakultas Psikologi UI ini. Selain itu, dari aspek kognitifnya juga si anak sedang ingin mencari tahu lebih banyak lagi, mengeksplorasi lingkungannya. Sehingga mendorongnya untuk banyak bertanya.

Namun begitu, menurut Mayke, pada anak-anak tertentu ada juga yang tak muncul fase ini. "Mungkin ada kaitannya dengan kepribadian. Misalnya, si anak memang pendiam dan tak terbiasa mengemukakan apa yang diinginkan atau isi pikirannya. Sehingga ia jadi tak banyak bicara atau bertanya."

Bisa juga lantaran kemampuannya yang terbatas. "Karena dalam perkembangannya memang terjadi keterlambatan," sambung Dra. Surastuti Nurdadi, MSi., juga dari Fakultas Psikologi UI, dalam kesempatan lain. Misalnya, keterlambatan perkembangan motorik. "Hal ini tentu ada kaitannya dengan perkembangan mental. Sehingga perkembangan bahasa atau berbicaranya juga terlambat."

BELUM TENTU CERDAS

Biasanya anak yang banyak bertanya dianggap cerdas. Padahal, tidak demikian kenyataannya. "Anak yang cerdas sudah bisa membentuk kalimat dan ada kontak dalam pembicaraan di mana anak bertanya dan kita harus menjawab," terang Surastuti.

Jenis/bentuk pertanyaan yang diajukan juga berbeda. Anak yang biasa-biasa saja, tulis Prof. Dr. Joan Freeman & Prof. Dr. Utami Munandar dalam buku yang sudah dialihbahasa Cerdas dan Cemerlang, lebih banyak mengajukan pertanyaan "Apa" dan "Di mana". Misalnya, "Apa nama benda itu?" atau "Di mana bonekaku?" Sedangkan anak cerdas lebih sering menggunakan kata tanya "Mengapa". Misalnya, "Mengapa bulan ada di langit?" atau "Mengapa matahari terbenam?" dan sebagainya. Intinya pertanyaan yang jawabannya merupakan hubungan sebab-akibat.

Selain itu, tambah Mayke, harus juga dilihat kalau dia bercerita, "Apakah jalan ceritanya runtut atau tidak, apakah satu cerita berkesinambungan dengan cerita lain." Misalnya, si kecil cerita bahwa tadi ia naik kereta api tapi lalu meloncat ke hal lain.

Namun, Mayke mengingatkan agar cerdas-tidaknya si anak jangan hanya dilihat dari satu aspek saja. Sebab, ada anak yang cerdas dalam aspek bahasa namun kurang dalam aspek nonverbal. Misalnya, anak yang pandai bicara dan keinginan tahunya besar lantaran perkembangan bahasa dan bicaranya memang pesat. Tapi kalau si anak diberikan permainan yang sifatnya konstruktif seperti puzzle, ternyata hasilnya tak begitu baik.

Sebaliknya, ada anak yang tak banyak bicara, untuk mengutarakan pikiran dan perasaannya tak lancar, namun untuk hal-hal yang sifatnya teknis ternyata ia sangat menguasai. Jadi, ada memang anak yang cerdas di bidang bahasa, namun tak demikian dengan bidang lain. Begitupun sebaliknya.