Jika Anak Lengket Dengan Ibu

By nova.id, Kamis, 3 Juni 2010 | 17:39 WIB
Jika Anak Lengket Dengan Ibu (nova.id)

Jika Anak Lengket Dengan Ibu (nova.id)

""

Sering kita saksikan seorang anak sulit sekali ditinggal oleh ibunya. Sampai-sampai ibunya mau ke kamar mandi pun, si anak harus ikut. Apalagi kalau ditinggal ibu bekerja, wah, nangisnya bisa sampai menjerit-jerit. Jelas bikin susah si ibu, kan? Juga orang lain semisal pengasuh atau neneknya, karena harus sibuk membujuk si kecil untuk menenangkannya. Ibu pun jadi tak tenang setiap kali akan meninggalkan anak.

Sebenarnya, kata Dra. Ninik Bawani, wajar saja anak lekat sama ibunya. "Nggak apa-apa, kok. Perilaku ini memang normal. Toh, bila sudah besar, dengan sendirinya si anak enggak lengket lagi pada ibunya. Ia hanya membutuhkan ibu pada saat-saat tertentu saja," terang psikolog dari RS Internasional Bintaro ini.

Justru kalau anak enggak lengket sama ibunya, menurut Ninik, berarti perkembangannya tak sehat. "Karena perilaku lekat ini merupakan suatu tahapan perkembangan yang harus dilalui setiap anak." Lain halnya kalau kelengketan tersebut memang sudah ekstrim sampai anak tak mau lepas dari ibunya, "Berarti ada sesuatu yang salah."

Baca Juga: Lolos dari Perhatian Orangtua, Kaki Anak Tiga Tahun Ini Terjepit Eskalator di Mal

OBYEK KELEKATAN

Perilaku kelekatan ini, terang Ninik, sebenarnya sudah "dipelajari" sejak anak masih bayi. "Anak akan memilih siapa yang menjadi obyek kelekatannya. Bisa sang ibu atau pengasuhnya. Yang jelas, obyek kelekatan ini adalah orang yang mengasuhnya sehari-hari."

Setiap anak, terangnya lebih lanjut, membutuhkan sesuatu atau memiliki kebutuhan primer. Misalnya, minum susu, ganti pakaian, dan sebagainya. Ini berarti harus ada orang yang selalu hadir untuk mengurusi si anak. Entah itu si ibu atau pengasuhnya. Nah, dari situlah anak belajar bahwa orang yang selalu hadir inilah yang bisa memenuhi kebutuhannya.

Memang pada awalnya kelekatan anak adalah pada sang ibu. Lantaran si ibu bisa memenuhi kebutuhannya. Perilaku lekat ini akan terus berkembang. "Nah, kalau kelekatan pada si ibu terpenuhi di masa bayi, maka anak akan merasa aman. Otomatis ia pun akan berkembang dengan berani. Sehingga di usia batita ia tak akan lengket terus pada ibunya. Ia tak takut ditinggal ibunya karena ia berpikir, bila ibunya pergi, toh, akan kembali." Anak juga tak takut untuk berhubungan dengan orang lain yang dikenalnya.

"Biasanya perilaku kelekatan ini berlangsung sampai usia 3 tahun. Karena pada masa batita ini si anak juga sudah mulai belajar bersosialisasi," kata Ninik. Jadi, obyek kelekatan yang tadinya dimulai dari ibu, maka dengan perkembangan umur akan berpindah. "Anak mulai bertemu dengan orang banyak, terutama teman sebayanya. Obyek kelekatannya berpindah pada teman sebaya sehingga anak tak terlalu membutuhkan ibunya lagi."

KURANGNYA RASA AMAN

Nah, pada anak yang sangat lengket dengan ibunya, lanjut Ninik, biasanya karena si anak tak memiliki obyek kelekatan. Misalnya, si ibu atau pengasuhnya tak memberikan respon kala si anak menangis atau mengompol. "Biasanya anak akan berkembang menjadi anak yang sulit. Ia tak mau lepas dari ibunya. Ia juga tak punya keberanian untuk eksplorasi." Bahkan, ada anak yang sampai masuk playgroup pun harus selalu ditunggui oleh ibunya. "Ia takut pada orang asing karena rasa amannya di masa kecil tak terpenuhi."

Baca Juga: Marah Lihat Anak-anaknya Kerja dan Makan Seadanya, Kiwil Ancam akan Rebut Hak Asuh Anak dari Meggy Wulandari: Nggak Usah Eksploitasi

Selain itu, lanjut Ninik, sikap ibu yang terlalu melindungi anak juga bisa berakibat si anak lengket terus sama ibunya. "Mungkin karena terlalu khawatir nanti anaknya jatuh, sakit dan lain-lain, maka si anak akhirnya dijaga betul. Anak tak boleh ini-itu, mau ke mana-mana ditemani, waktu bayi tak boleh dipegang orang lain karena takut nanti si anak jadi enggak sayang lagi sama ibunya, dan sebagainya." Nah, karena anak tak diberi kesempatan atau pengalaman berhubungan dengan orang lain, otomatis ia jadi tak berani melakukan apa-apa dan harus selalu ada ibunya. "Jadi, bukannya si ibu memberikan rasa aman tapi malah menimbulkan rasa takut pada anak."

Faktor lain ialah pengalaman traumatis. Misalnya, saat anak pertama kali berpisah dengan ibunya. "Mungkin pada saat itu si ibu pergi terlalu lama atau secara tiba-tiba, sehingga anak tak bisa melihat ibunya ada di mana. Apalagi pada saat pertama ditinggal tentunya ada kecemasan pada si anak. Ia punya konsep bahwa ibu pergi untuk selamanya dan tak kembali lagi," terang lulusan Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada ini.

BERI PENGERTIAN

Apapun juga, menurut Ninik, anak yang terlalu lekat pada ibunya bisa berdampak negatif. "Ibu akan merasa terganggu atau kerepotan selalu, sementara anak merasa ketakutan selalu." Akibat dari ketakutan itu, rasa percaya diri anak tak ada. Setiap dihadapkan pada situasi yang asing, ia akan kembali ke ibunya. Akhirnya ia tak bisa bersosialisasi, tak berani mengeksplor lingkungannya, takut menghadapi orang yang sama sekali baru, takut memasuki dunia baru. Otomatis, perkembangan anak menjadi terhambat.

Lantas, bagaimana caranya agar anak enggak terus melekat sama ibu? "Sebaiknya orang tua jangan secara drastis anak ditinggal begitu saja," anjur Ninik. Karena akan menyebabkan trauma dan anak merasa tak aman lagi. Yang terbaik ialah mengajaknya berkomunikasi. "Anak batita itu, kan, sudah bisa diajak bicara. Nah, berilah pengertian sedikit demi sedikit." Misalnya, "Ibu mau pergi sebentar, nanti Ibu kembali lagi. Adik di rumah sama si Mbak. Si Mbak akan menjaga Adik."

Sering terjadi, saking paniknya si ibu lantaran harus segera berangkat sementara anak tetap tak mau ditinggal, lalu ibu mencoba membujuk dengan menyuruh si kecil ke warung. "Adik beli permen dulu, ya, sama si Mbak." Setelah itu si ibu pergi. Padahal, cara ini sama sekali tak dibenarkan. "Anak akan makin merasa tak aman dan membuatnya jadi semakin lengket dengan ibu. Karena anak merasa dibohongi sehingga ia jadi berpikir kalau ia lengah maka akan ditinggal."

Jadi, tukas Ninik, tak usahlah ibu berbuat seperti itu. Lebih baik ibu pamit sama anak kalau mau pergi dan beri pengertian. "Anak usia batita sudah bisa mengerti, kok." Bahwa si anak akan tetap berkeras tak mau ditinggal dan bahkan menangis setelah ibu pamit, tak apa-apa. Toh, lama-lama anak pun akan belajar untuk mempunyai obyek kelekatan pada orang lain, tak hanya pada satu orang saja. Sehingga pada akhirnya anak tak sulit lagi kalau ditinggal ibu.

Baca Juga: Usaha Rumahan Risoles Pisang Cokelat Wijen Bakal Diserbu Semua Kalangan

Bisa juga dengan cara si anak diberi kegiatan dan ibu ikut melibatkan diri sebentar, kemudian baru ditinggalkan. Katakan, "Adik sekarang menggambar dulu, ya. Nanti Ibu pergi dulu sebentar." Jadi, selain anak diberikan pengertian, juga dialihkan perhatiannya. Tentunya berapa lama meninggalkan anak juga harus dilakukan secara bertahap, dari mulai sebentar lalu diperpanjang.

Begitupun bila anak sudah masuk play group, meninggalkannya juga bertahap. Katakan pada anak, "Adik sekarang di dalam kelas. Ibu tunggu di luar dan Adik bisa lihat Ibu dari dalam." Jadi, anak ditemani ke dalam kelas sebentar, baru kemudian ditinggalkan.

Yang tak kalah penting ialah menyiapkan anak untuk berpisah dengan ibu. "Sebaiknya anak diberi tahu jauh hari atau malam sebelumnya. Jangan pada saat ibu mau pergi baru si anak diberi tahu." Tujuannya untuk menyiapkan mental anak bahwa ia akan berpisah dengan ibunya. Sehingga anak tahu bahwa ada saatnya ia ditinggal namun ibunya tetap akan kembali.

LAKUKAN BERSAMA

Adakalanya si anak lengket sama ibu hanya pada saat-saat tertentu, misalnya setelah ibu pulang dari kantor. "Hal ini disebabkan anak merasa berpisah dan kehilangan ibunya," ujar Ninik. Karena itu, anjurnya, hal pertama yang sebaiknya dilakukan ibu sepulang kantor ialah mencari anak. "Beri ia ciuman dan pelukan. Tanyakan bagaimana kegiatannya selama ditinggalkan. Jadi, anak diajak berkomunikasi."

Setelah itu, katakan, "Ibu mau mandi dulu, ya. Nanti kita teruskan lagi." Jadi, anak diberi tahu bahwa ada yang harus dikerjakan oleh ibu. "Beri anak suatu kegiatan di tempat yang dekat dengan ibu melakukan kegiatannya." Katakan, "Adik main di sini dulu. Ibu mandi sebentar." Atau bila ibu misalnya mau memasak di dapur tapi anak tetap mau ikut, ajaklah. Sementara ibu memasak, biarkan anak melakukan kegiatannya di tempat yang tak jauh dari ibu. Sehingga anak bisa melihat ibunya dan melihat apa, sih, yang sedang dikerjakan ibu.

Baca Juga: Diet Sehat ala Cinta Laura, Cukup Makan Makanan Ini agar Berat Badannya Ideal

Bagaimanapun, ujar Ninik, anak selalu membutuhkan ibu. "Selama segala sesuatu bisa dikerjakan bersama anak, lakukanlah bersama. Jangan anak malah dipisahkan dari ibu." Karena, terangnya, pada masa balita anak sedang mengembangkan berbagai aspek. Antara lain dalam hubungan perilaku kelengketan ini ialah aspek rasa aman. "Jadi, kenapa mesti anak disingkirkan atau dipisahkan? Jangan lupa, anak membutuhkan orang tua dan orang tua pun butuh anak."

Nah, Bu, sekarang sudah tahu, kan, kenapa si kecil maunya nempel terus? Jangan susah lagi, ya.

Ayah, Ikutlah Menciptakan Rasa Aman

Para ayah, tahukah betapa besar peran Anda dalam membantu menciptakan rasa aman pada anak? Penelitian membuktikan, anak-anak yang banyak berinteraksi dengan ayahnya akan membuat si anak menjadi lebih berani dalam menghadapi orang-orang asing.

"Sejak usia bayi seharusnya ayah juga banyak berinteraksi dengan anak. Bukan hanya ibu yang melakukannya. Umumnya ibu, kan, lebih pada kebutuhan emosional anak. Sedangkan ayah lebih pada aktivitas fisiknya, lebih banyak pada permainan seperti main loncat-loncatan, kuda-kudaan, dan sebagainya," tutur Dra. Ninik Bawani. Nah, dengan adanya interaksi ini, anak menjadi senang pada ayahnya. Dalam perkembangannya kemudian, anak menjadi tak takut pada orang asing dan tak terlalu lengket sama ibu.

"Segala sesuatunya memang harus dimulai sejak usia bayi," ujar Ninik. Namun bila si ayah baru memulainya di usia ini, tentulah belum terlalu terlambat. Misalnya, mengajak anak bermain. "Cuma memang tak mudah. Karena anak harus belajar mengenal ayahnya sebagai seseorang yang tak menakutkan dan bisa memberikan rasa aman," terangnya.

Untuk itu, ayah bisa memulai dengan melakukan peran ibu terlebih dulu. Misalnya, membuatkan susu, menggantikan pakaian, memandikan, dan sebagainya. "Dengan demikian anak merasa bahwa ayah juga bisa memenuhi kebutuhannya," tukas Ninik.

Dedeh Kurniasih

Baca Juga: Masakan Favorit Kungfu Chef Muto, Salah Satunya Ikan Teri yang Gizinya Setara Ikan Salmon