Manfaat Bermain Peran

By nova.id, Senin, 31 Mei 2010 | 17:05 WIB

Pendek kata, bermain peran sangat banyak manfaatnya bagi anak. Itulah mengapa Rosa menganjurkan orang tua sebaiknya mendorong anak untuk melakukan permainan tersebut, "Jangan sampai orang tua malah menghambat." Karena, terangnya, selain berakibat salah dalam hal memberikan norma atau moral, "Orang tua juga akan menghambat fantasi dan emosi anak. Anak jadi nggak bisa mengungkapkan perasaannya saat bermain." Yang juga berbahaya, tambahnya, kreativitas anak akan terhambat.

Orang tua, anjur Rosa lagi, sebaiknya juga memberi kesempatan seluas-luasnya kepada anak untuk mengamati lingkungan di sekitarnya. "Jangan remehkan kemampuan anak untuk mengamati, lo. Justru di usia balita kemampuan observasi anak berada dalam kondisi paling bagus. Mereka adalah pengamat yang luar biasa. Bahkan, saking luar biasanya, mereka sampai mengambil dan meniru 100 persen begitu saja. Nah, inilah yang harus disortir."

Untuk itu Rosa meminta orang tua agar juga memantau sehingga anak bisa bermain sesuai kapasitas dan kemampuannya. "Jadi, pengawasan terhadap anak sebaiknya lebih dari sekadar mengawasi agar anak enggak jatuh, misalnya, tapi juga mengawasi informasi yang masuk." Dengan demikian, saat anak bermain peran, mereka akan bermain dengan ekspresi yang tepat.

 Selain itu, anak sebaiknya juga dibiarkan bermain dengan anak-anak yang memiliki berbagai tipe atau karakter. Mulai dari anak pemalu, penurut, sampai anak yang tipenya dominan sehingga "mengganggu" anak lain. Tujuannya agar anak bisa belajar untuk fight dan melihat bahwa di sekelilingnya ada berbagai tipe anak. "Namun tentunya selama mereka bermain harus diawasi."

 IKUT MAIN

Orang tua, anjur Rosa, sebaiknya juga ikut melibatkan diri, sejauh anak memerlukan figur dan model. Selain lebih meningkatkan kedekatan antara orang tua dengan anak, si anak juga belajar model dari orang yang paling tepat, yakni orang tua. "Anak pun akan senang jika orang tuanya ikut bermain."

Keterlibatan orang tua juga membantu agar anak tak selalu bermain sendirian. "Kalau kita ingin mengasah perkembangan sosialnya, kenapa kita tak menemani dia?" ujar Rosa. Apalagi bagi anak tunggal atau anak yang tak punya teman sebaya di lingkungan sekitarnya. "Sediakanlah waktu yang cukup banyak untuk bermain bersama anak, sehingga modeling berjalan baik."

Misalnya, si kakak menjadi sopir, ibu dan adiknya menjadi penumpang, lalu ayah menjadi kondekturnya. "Dengan begitu, orang tua bukan hanya sekadar memberikan informasi atau mengawasi, tapi juga terlibat langsung. Anak pun akan merasa aman bahwa permainan itu diterima orang tua. Fantasi dan imajinasi si anak berkembang, dan ia pun mengembangkan perasaan kompak sebagai suatu kelompok."

BELAJAR BERBAGI

Sering terjadi, seorang anak tak mau bergantian peran. Misalnya, ia hanya mau jadi dokter saat main dokter-dokteran. Atau anak lain inginnya jadi guru terus, dan sebagainya. "Itulah salah satu pentingnya orang tua terlibat," ujar Rosa seraya melanjutkan, "Orang tua bisa menjadi penengah." Misalnya, mengajak mereka bermain di "ruang operasi" sehingga dokternya banyak. "Jadi, win-win solution. Anak tetap bisa bermain sesuai keinginannya."

Anak-anak yang bersikeras hanya ingin memerankan peran tertentu, menurut Rosa, bisa disebabkan yang dihayati si anak saat itu hanyalah peran tersebut. "Juga ada hubungannya dengan keinginan anak untuk tampil, diperhatikan."

Yang dikhawatirkan, lanjut Rosa, bila orang tua tak menaruh perhatian pada ketidakmampuan anak untuk berbagi ini, maka si anak akan menjadi semakin egosentris. "Anak harus diajarkan untuk berbagi. Ajarkan bahwa di luar dirinya masih ada orang lain, bahwa dalam bermain itu ada giliran, ada aturannya. Sama halnya kalau kita bermain games seperti ular tangga, pasti ada kemungkinan kalah dan menang."