Manfaat Bermain Peran

By nova.id, Senin, 31 Mei 2010 | 17:05 WIB

Bapak dan Ibu mungkin pernah menyaksikan si Upik sedang asyik memeriksa bonekanya dengan stetoskop mainannya. Atau si Buyung yang tengah serius menyupir sementara di belakangnya berderet sejumlah kursi tanpa "penghuni". Tak jarang mereka terlihat pula dalam permainan serupa bersama adik atau teman-teman seusianya. Entah itu main dokter-dokteran, rumah-rumahan, perang-perangan, sekolah-sekolahan, pasar-pasaran, dan sebagainya.

 Dalam bahasa psikologi dikenal istilah bermain peran atau socio-dramatic. Permainan ini lazim dilakukan anak-anak usia 3-5 tahun. Malah, menurut Dra. Johana Rosalina K, M.A., permainan ini sangat bagus untuk si kecil. Soalnya, di usia tersebut kemampuan berfantasi, kognitif, emosi, dan sosialisasi anak tengah berkembang. "Nah, dengan bermain peran, seluruh kemampuan tersebut dapat dikembangkan oleh anak," ujar konselor sekaligus dosen di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta ini.

 IQ LEBIH TINGGI

 Salah satu manfaat bermain peran ialah anak bisa mempelajari banyak peran di sekeliling mereka dan lingkungan di luar mereka. Misalnya, menjadi dokter, perawat, polisi, guru, dan sebagainya. "Mereka juga akan berfantasi dan kemudian meniru, sehingga perkembangan kognitif mereka pun berkembang baik," lanjut Rosa.

 Bermain peran juga membuat perkembangan intelektual anak sangat terbantu. Misalnya, "Dokter itu ngapain, sih? Oh, dokter itu menyembuhkan pasien." Nah, pemahaman tersebut diperoleh, salah satunya lewat bermain peran. Bahkan, penelitian di Amerika membuktikan, anak yang bermain peran, IQ-nya lebih tinggi dibanding anak-anak yang melakukan permainan tradisional seperti menggunting atau melipat.

 "Perkembangan bahasa anak juga akan terbantu," tambah Rosa. Misalnya, anak berperan sebagai ibu. Ia akan mengenal kata-kata seperti popok, bayi, gurita, dan sebagainya.

 Bermain peran juga bermanfaat bagi perkembangan moral anak. "Misalnya, sambil bermain dokter-dokteran, anak diajar mengenal nilai-nilai kemanusiaan, harus saling menolong, dan sebagainya." Anak juga belajar tentang mana yang benar dan salah.

Namun jangan memberikan informasi tentang peran yang sifatnya stereotype. Misalnya, tentang polisi yang jahat. "Mungkin orang tua punya pengalaman tak mengenakkan dengan polisi, yang kemudian ia tularkan kepada anaknya. Hal itu sungguh keliru," tutur Rosa. Dikhawatirkan anak akan memainkan peran yang salah dan akan memiliki konsep yang salah pula. "Sebaiknya beri informasi tentang polisi yang baik. Bahwa tugas polisi adalah mengatur keamanan dan melindungi warga. Atau dokter itu tugasnya menyembuhkan pasien, guru itu perannya mengajar, dan sebagainya."

 JANGAN DIKOTAK-KOTAKKAN

 Manfaat lain dari bermain peran ialah membantu anak menyadari perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun, terang Rosa, secara kodrati ada perbedaan antara ibu dan ayah. "Akan lebih baik bila sejak kecil anak sudah diberi tahu, yang namanya perempuan, tipikalnya secara unik adalah mengasuh anak, misalnya."

Namun, Rosa mengingatkan, orang tua sebaiknya tak melakukan pengkotak-kotakan ekstrem terhadap jenis-jenis permainan. Misalnya, anak perempuan harus bermain pasar-pasaran dan anak lelaki mesti bermain perang-perangan. "Kalau dikotak-kotakkan, takutnya nanti akan terjadi bias gender sehingga pandangan anak menjadi sempit." Misalnya, perempuan harus selalu di dapur atau yang bisa menjadi tentara itu harus selalu laki-laki.

Jadi, tandas Sarjana Pendidikan lulusan IKIP Jakarta ini, "Anak harus dikondisikan secara netral. Perkenalkan padanya tentang adanya beberapa peran yang sama dan ada yang spesifik, misalnya bahwa ibu itu menyusui. Dengan begitu, anak akan melihat bahwa sebetulnya tak ada pembagian peran."

DIPANTAU DAN DIAWASI

Pendek kata, bermain peran sangat banyak manfaatnya bagi anak. Itulah mengapa Rosa menganjurkan orang tua sebaiknya mendorong anak untuk melakukan permainan tersebut, "Jangan sampai orang tua malah menghambat." Karena, terangnya, selain berakibat salah dalam hal memberikan norma atau moral, "Orang tua juga akan menghambat fantasi dan emosi anak. Anak jadi nggak bisa mengungkapkan perasaannya saat bermain." Yang juga berbahaya, tambahnya, kreativitas anak akan terhambat.

Orang tua, anjur Rosa lagi, sebaiknya juga memberi kesempatan seluas-luasnya kepada anak untuk mengamati lingkungan di sekitarnya. "Jangan remehkan kemampuan anak untuk mengamati, lo. Justru di usia balita kemampuan observasi anak berada dalam kondisi paling bagus. Mereka adalah pengamat yang luar biasa. Bahkan, saking luar biasanya, mereka sampai mengambil dan meniru 100 persen begitu saja. Nah, inilah yang harus disortir."

Untuk itu Rosa meminta orang tua agar juga memantau sehingga anak bisa bermain sesuai kapasitas dan kemampuannya. "Jadi, pengawasan terhadap anak sebaiknya lebih dari sekadar mengawasi agar anak enggak jatuh, misalnya, tapi juga mengawasi informasi yang masuk." Dengan demikian, saat anak bermain peran, mereka akan bermain dengan ekspresi yang tepat.

 Selain itu, anak sebaiknya juga dibiarkan bermain dengan anak-anak yang memiliki berbagai tipe atau karakter. Mulai dari anak pemalu, penurut, sampai anak yang tipenya dominan sehingga "mengganggu" anak lain. Tujuannya agar anak bisa belajar untuk fight dan melihat bahwa di sekelilingnya ada berbagai tipe anak. "Namun tentunya selama mereka bermain harus diawasi."

 IKUT MAIN

Orang tua, anjur Rosa, sebaiknya juga ikut melibatkan diri, sejauh anak memerlukan figur dan model. Selain lebih meningkatkan kedekatan antara orang tua dengan anak, si anak juga belajar model dari orang yang paling tepat, yakni orang tua. "Anak pun akan senang jika orang tuanya ikut bermain."

Keterlibatan orang tua juga membantu agar anak tak selalu bermain sendirian. "Kalau kita ingin mengasah perkembangan sosialnya, kenapa kita tak menemani dia?" ujar Rosa. Apalagi bagi anak tunggal atau anak yang tak punya teman sebaya di lingkungan sekitarnya. "Sediakanlah waktu yang cukup banyak untuk bermain bersama anak, sehingga modeling berjalan baik."

Misalnya, si kakak menjadi sopir, ibu dan adiknya menjadi penumpang, lalu ayah menjadi kondekturnya. "Dengan begitu, orang tua bukan hanya sekadar memberikan informasi atau mengawasi, tapi juga terlibat langsung. Anak pun akan merasa aman bahwa permainan itu diterima orang tua. Fantasi dan imajinasi si anak berkembang, dan ia pun mengembangkan perasaan kompak sebagai suatu kelompok."

BELAJAR BERBAGI

Sering terjadi, seorang anak tak mau bergantian peran. Misalnya, ia hanya mau jadi dokter saat main dokter-dokteran. Atau anak lain inginnya jadi guru terus, dan sebagainya. "Itulah salah satu pentingnya orang tua terlibat," ujar Rosa seraya melanjutkan, "Orang tua bisa menjadi penengah." Misalnya, mengajak mereka bermain di "ruang operasi" sehingga dokternya banyak. "Jadi, win-win solution. Anak tetap bisa bermain sesuai keinginannya."

Anak-anak yang bersikeras hanya ingin memerankan peran tertentu, menurut Rosa, bisa disebabkan yang dihayati si anak saat itu hanyalah peran tersebut. "Juga ada hubungannya dengan keinginan anak untuk tampil, diperhatikan."

Yang dikhawatirkan, lanjut Rosa, bila orang tua tak menaruh perhatian pada ketidakmampuan anak untuk berbagi ini, maka si anak akan menjadi semakin egosentris. "Anak harus diajarkan untuk berbagi. Ajarkan bahwa di luar dirinya masih ada orang lain, bahwa dalam bermain itu ada giliran, ada aturannya. Sama halnya kalau kita bermain games seperti ular tangga, pasti ada kemungkinan kalah dan menang."

Pada beberapa anak, diakui Rosa, hal ini memang tak mudah. Apalagi jika si anak tahunya cuma konsep menang dan sulit menerima kekalahan. "Biasanya hal ini ada kaitannya dengan pola asuh. Ada, kan, anak yang sejak kecil segala kebutuhannya selalu tersedia." Nah, anak-anak yang demikian biasanya akan sulit menerima ketika suatu hari apa yang ia inginkan ternyata tak bisa terpenuhi.

SARAT MANFAAT

Bermain peran, terang Rosa, akan "menghilang" dengan sendirinya seiring dengan bertambahnya usia anak. Selain karena kemampuan kognitif anak berkembang dari tahap konkret ke abstrak sehingga fantasinya pun berkurang, anak juga sampai pada titik di mana ia tak lagi memerlukan bermain peran. "Permainan anak itu, kan, juga berkembang," ujarnya.

Misalnya, bermain games. Anak usia 3 tahun mungkin belum tahu, tapi untuk anak usia 4 atau 5 tahun bermain games sangat menyenangkan karena di situ ia berlatih untuk bermain dengan peraturan dan kompetisi. "Jadi, sudah mulai kelihatan konsep dirinya. Bagaimana bangganya kalau ia menang, misalnya. Sedangkan anak usia 3 tahun nggak peduli menang atau kalah, yang penting ia main dengan teman-temannya dan membebaskan imajinasinya."

Nah, mumpung si kecil masih di usia ini, sering-sering, deh, Bapak dan Ibu mengajaknya bermain peran. Selain banyak manfaatnya, permainan ini juga sangat murah, lo. Apa yang ada di sekitar kita bisa dijadikan alat bermain, mulai dari peralatan dapur dan makan sampai meja kursi dan lainnya. Pokoknya, murah meriah, dan sarat manfaat!

Hasto Prianggoro/nakita