Seharusnya orang tua memiliki rasa percaya bahwa dia telah menitipkan anaknya pada guru di "sekolah" itu. Orang tua, kan, sudah memilih "sekolah" itu dari sekian banyak "sekolah" yang ada sebagai "sekolah" yang ia percayakan untuk ikut mendidik anaknya. "Nah, kalau percayanya setengah-setengah, anak juga ikut terpengaruh sehingga akhirnya timbul kecemasan. Anak jadi ketakutan, tak percaya diri."
Padahal, lanjut Kepala Jurusan Bimbingan & Konseling FKIP UAJ ini, pesan-pesan atau stimuli-stimuli yang mengkondisikan anak agar berani atau percaya diri itu terjadi di hari-hari pertama masuk "sekolah". Itulah mengapa Gerda menekankan pentingnya ayah-ibu meluangkan waktu untuk mengantarkan anaknya yang pertama kali masuk "sekolah".
Adakalanya persepsi pertama si anak terhadap gurunya ikut pula "menentukan" ketakutan anak ke "sekolah". Seperti diterangkan Gerda, persepsi seseorang satu sama lain tak selalu harus cocok ketika bertemu seseorang. "Ada, kan, yang begitu ketemu seseorang yang baru dikenalnya langsung merasa cocok, percaya. Hal ini manusiawi sekali. Anak juga begitu. Hanya bedanya, orang dewasa bisa menyesuaikan dan menjaga diri. Lain dengan anak kecil yang masih polos. Mungkin dengan guru lain dia lebih bisa menerima, karena sense-nya berbeda."
Jika persepsi anak dari awal sudah tak simpatik dan tak ada rasa percaya pada gurunya, maka ia tak akan cocok dengan guru itu. Kendatipun semua teman si anak merasa cocok dan sang guru juga memiliki teknik pendekatan yang baik terhadap anak. Dalam hal ini orang tua harus membicarakannya dengan kepala sekolah agar si anak dipindahkan kelasnya ke guru yang dirasakan si anak cocok. Kalau tidak, si anak akan cemas, lalu takut untuk pergi ke "sekolah" lagi.
TIDAK TANGGAP
Hal lain yang membuat anak takut ke "sekolah" ialah rasa jenuh atau bosan. "Mungkin anak merasa kegiatannya sama terus-menerus sehingga ia bosan. Ia merasa harus terus konsentrasi mengerjakan sesuatu padahal ia sudah ingin aktivitas yang lain," tutur Gerda.
Misalnya, anak sudah selesai mewarnai tapi guru mengatakan, "Coba ini warnanya harus rapi. Tolong dibuat lagi yang rapi." Atau, anak sudah bosan menggambar tapi guru memaksanya, "Tidak, kamu harus menggambar dulu," lantaran jam menggambar belum berakhir. Akibatnya, anak jadi jenuh. Menggambarnya tidak selesai, timbullah rasa takut, "Ah, aku enggak mau sekolah. Habis, harus ngerjain yang aku tak suka."
Taman Kanak-kanak, seperti dituturkan Gerda, haruslah menjadi transisi untuk kehidupan anak dari "di rumah" ke "di sekolah". "Bila lingkungannya memberikan suatu impresi yang kurang enjoy learning, anak akan mengalami suatu anxiety. Ketakutan-ketakutan ini akan membuat tumbuh kembang anak terhambat dan tak berkembang secara optimal."
Karena itulah guru TK harus tanggap terhadap kebutuhan utama anak dan kreatif. Jadi, bukannya anak dipaksa melakukan aktivitas yang tak diinginkan pada saat itu, tapi dipindahkan ke aktivitas lain sesuai kebutuhannya. Hal itu dimungkinkan lantaran TK bukanlah SD yang harus berjalan menurut aturan baku. "Memang TK memiliki program kegiatan belajar yang mengacu pada aturan Depdikbud. Tapi bukan berarti guru tak bisa fleksibel mengubah situasi kegiatan di TK sesuai dengan kebutuhan utama si anak."
Sayangnya, diakui mantan pembimbing calon guru TK ini, masih banyak guru TK yang tidak tanggap. "Semua anak dianggap sebagai obyek, semuanya sama, dan mereka harus mengikuti pola atau aturan yang sudah dibakukan." Bahkan, sambungnya, "Ada guru TK yang menghukum anak dengan mempermalukan si anak di hadapan teman-temannya." Akibatnya, anak-anak lain yang tak dihukum menjadi cemas. Terutama anak-anak yang memiliki hati sangat sensitif. Karena anak-anak ini, jangankan melihat temannya dihukum, mendengar temannya ditegur saja oleh sang guru, hati mereka sudah ciut.
BERBOHONG
Biasanya anak yang takut ke "sekolah" tak pernah mengatakan, "Aku takut ke 'sekolah'." Apalagi menyebutkan secara jelas, apa yang membuatnya takut. Contohnya seperti kasus Eka di atas. Karena itu orang tua harus peka melihat sinyal-sinyal yang ditunjukkan anak.