Andika (35) sangat terkejut ketika suatu pagi ia mengantarkan putrinya, Eka (5) ke "sekolah". "Dia langsung berbalik dan lari ke mobil begitu sampai di pintu gerbang. Saya kaget dan bingung. Kayaknya dia begitu ketakutan. Padahal, waktu berangkat, sikapnya biasa-biasa saja. Saya tanya, kenapa? Dia cuma menggeleng. Saya coba bujuk, eh, dia malah nangis."
Esoknya, peristiwa serupa terulang lagi. Andika makin bingung. "Hari berikutnya dia malah benar-benar mogok. Saya coba tanya ke gurunya, ternyata beliau juga enggak tahu apa-apa. Saya benar-benar bingung." Atas saran sang guru, akhirnya Andika membawa Eka berkonsultasi ke psikolog.
Setelah beberapa kali pertemuan dengan sang psikolog barulah diketahui penyebab Eka takut "sekolah". Rupanya gadis cilik itu mendapatkan pengalaman buruk. Saat bermain bebas di luar ruangan, Eka didorong seorang temannya kala sedang merangkak dalam sebuah terowongan. Dorongan itu begitu keras hingga Eka terjerembab dan sempat tak bisa bangkit untuk beberapa saat. Sementara guru kelasnya tak tahu sama sekali. Pulang "sekolah" pada hari itu Eka biasa-biasa saja seolah tak terjadi apa-apa. Pun esoknya, ia terlihat masih semangat pergi sekolah. Baru setelah mendekati gerbang "sekolah", di benaknya langsung terbayang peristiwa kemarin. Di situlah ketakutannya muncul hingga ia lari.
Hampir 3 bulan menjalani terapi plus bantuan guru kelasnya, barulah rasa percaya diri Eka kembali tumbuh dan berani "sekolah". Hanya saja ia masih perlu waktu untuk mau bermain di terowongan lagi.
HARI PERTAMA
Kasus Eka bisa dibilang tergolong "istimewa" lantaran gadis cilik itu sampai harus dibawa ke psikolog dan menjalani terapi. Ia mengalami trauma yang membuatnya takut ke "sekolah".
Banyak anak mengalami kecemasan di "sekolah" lantaran mendapatkan pengalaman yang tak menyenangkan. Kendati tak sampai trauma seperti kasus Eka, namun kecemasan-kecemasan tersebut pada akhirnya membuat anak takut ke "sekolah".
Sejumlah anak yang di hari pertama masuk "sekolah" begitu senang, esoknya malah menangis kala disuruh "sekolah". Anak Anda mungkin mengalaminya saat tahun ajaran baru yang lalu dimulai. Bingung, enggak, Bu, waktu itu?
Biasanya kecemasan di hari pertama, seperti dituturkan Dra. Gerda K. Wanei, M.Psi. dari FKIP Unika Atma Jaya Jakarta, lantaran anak melihat banyak temannya yang menangis. "Dia bingung, kenapa, kok, semua temannya pada nangis. Dia yang semula tegar, jadi tak yakin dengan dirinya sendiri dan akhirnya ikut nangis." Esoknya si kecil jadi takut pergi ke "sekolah" karena kecemasannya muncul teringat peristiwa yang dialaminya kemarin di "sekolah".
Tak jarang pula kecemasan di hari pertama justru disebabkan "ulah" orang tua. Bila kita amati, banyak ibu yang suka mengintip ke dalam kelas. Biasanya karena si ibu tak yakin anaknya bisa ditinggal. Nah, si anak yang tadinya sudah tenang-tenang ke "sekolah", melihat ibunya seperti itu jadi berpikir, "Aduh, Mama, kok, enggak percaya, sih, sama aku." Akibatnya si anak jadi ikut tak percaya pada dirinya sendiri. Takutlah dia.
"Bisa juga karena adanya suatu hubungan perasaan antara si ibu dan anak, di mana si ibu mau melepaskan anaknya sendiri di lingkungan 'sekolah' tapi merasa berat. Dia merasa kasihan pada anaknya, masih ingin care, dan sebagainya," tutur pakar pendidikan anak ini lebih lanjut.
Seharusnya orang tua memiliki rasa percaya bahwa dia telah menitipkan anaknya pada guru di "sekolah" itu. Orang tua, kan, sudah memilih "sekolah" itu dari sekian banyak "sekolah" yang ada sebagai "sekolah" yang ia percayakan untuk ikut mendidik anaknya. "Nah, kalau percayanya setengah-setengah, anak juga ikut terpengaruh sehingga akhirnya timbul kecemasan. Anak jadi ketakutan, tak percaya diri."
Padahal, lanjut Kepala Jurusan Bimbingan & Konseling FKIP UAJ ini, pesan-pesan atau stimuli-stimuli yang mengkondisikan anak agar berani atau percaya diri itu terjadi di hari-hari pertama masuk "sekolah". Itulah mengapa Gerda menekankan pentingnya ayah-ibu meluangkan waktu untuk mengantarkan anaknya yang pertama kali masuk "sekolah".
Adakalanya persepsi pertama si anak terhadap gurunya ikut pula "menentukan" ketakutan anak ke "sekolah". Seperti diterangkan Gerda, persepsi seseorang satu sama lain tak selalu harus cocok ketika bertemu seseorang. "Ada, kan, yang begitu ketemu seseorang yang baru dikenalnya langsung merasa cocok, percaya. Hal ini manusiawi sekali. Anak juga begitu. Hanya bedanya, orang dewasa bisa menyesuaikan dan menjaga diri. Lain dengan anak kecil yang masih polos. Mungkin dengan guru lain dia lebih bisa menerima, karena sense-nya berbeda."
Jika persepsi anak dari awal sudah tak simpatik dan tak ada rasa percaya pada gurunya, maka ia tak akan cocok dengan guru itu. Kendatipun semua teman si anak merasa cocok dan sang guru juga memiliki teknik pendekatan yang baik terhadap anak. Dalam hal ini orang tua harus membicarakannya dengan kepala sekolah agar si anak dipindahkan kelasnya ke guru yang dirasakan si anak cocok. Kalau tidak, si anak akan cemas, lalu takut untuk pergi ke "sekolah" lagi.
TIDAK TANGGAP
Hal lain yang membuat anak takut ke "sekolah" ialah rasa jenuh atau bosan. "Mungkin anak merasa kegiatannya sama terus-menerus sehingga ia bosan. Ia merasa harus terus konsentrasi mengerjakan sesuatu padahal ia sudah ingin aktivitas yang lain," tutur Gerda.
Misalnya, anak sudah selesai mewarnai tapi guru mengatakan, "Coba ini warnanya harus rapi. Tolong dibuat lagi yang rapi." Atau, anak sudah bosan menggambar tapi guru memaksanya, "Tidak, kamu harus menggambar dulu," lantaran jam menggambar belum berakhir. Akibatnya, anak jadi jenuh. Menggambarnya tidak selesai, timbullah rasa takut, "Ah, aku enggak mau sekolah. Habis, harus ngerjain yang aku tak suka."
Taman Kanak-kanak, seperti dituturkan Gerda, haruslah menjadi transisi untuk kehidupan anak dari "di rumah" ke "di sekolah". "Bila lingkungannya memberikan suatu impresi yang kurang enjoy learning, anak akan mengalami suatu anxiety. Ketakutan-ketakutan ini akan membuat tumbuh kembang anak terhambat dan tak berkembang secara optimal."
Karena itulah guru TK harus tanggap terhadap kebutuhan utama anak dan kreatif. Jadi, bukannya anak dipaksa melakukan aktivitas yang tak diinginkan pada saat itu, tapi dipindahkan ke aktivitas lain sesuai kebutuhannya. Hal itu dimungkinkan lantaran TK bukanlah SD yang harus berjalan menurut aturan baku. "Memang TK memiliki program kegiatan belajar yang mengacu pada aturan Depdikbud. Tapi bukan berarti guru tak bisa fleksibel mengubah situasi kegiatan di TK sesuai dengan kebutuhan utama si anak."
Sayangnya, diakui mantan pembimbing calon guru TK ini, masih banyak guru TK yang tidak tanggap. "Semua anak dianggap sebagai obyek, semuanya sama, dan mereka harus mengikuti pola atau aturan yang sudah dibakukan." Bahkan, sambungnya, "Ada guru TK yang menghukum anak dengan mempermalukan si anak di hadapan teman-temannya." Akibatnya, anak-anak lain yang tak dihukum menjadi cemas. Terutama anak-anak yang memiliki hati sangat sensitif. Karena anak-anak ini, jangankan melihat temannya dihukum, mendengar temannya ditegur saja oleh sang guru, hati mereka sudah ciut.
BERBOHONG
Biasanya anak yang takut ke "sekolah" tak pernah mengatakan, "Aku takut ke 'sekolah'." Apalagi menyebutkan secara jelas, apa yang membuatnya takut. Contohnya seperti kasus Eka di atas. Karena itu orang tua harus peka melihat sinyal-sinyal yang ditunjukkan anak.
Misalnya, si kecil biasa bangun pukul 06:00, terus mandi, ganti pakaian seragam, dan sarapan. Nah, pagi ini mungkin dia juga bangun seperti biasa hanya saja tak langsung mandi, tapi bermain-main dulu dengan mainan kesayangannya. Ketika disuruh mandi, dia menolak dengan berbagai alasan. Setelah dipaksa barulah dia mau mandi. Di kamar mandi pun, bikin ulah. Alhasil, ia terlambat tiba di sekolah. Bukan tak mungkin kita pun "mengalah", "Ya, sudahlah. Hari ini nggak usah 'sekolah'. Habis sudah terlambat sekali." Si kecil pasti kegirangan, "Asyik!" Karena memang itulah yang dia inginkan. Boleh jadi besok dan besoknya lagi hal itu akan diulanginya kembali.
Bisa terjadi si kecil kemudian berbohong, "Aku mengantuk, nih, Ma," atau "Perutku sakit, Ma,". Kebohongan ini, menurut Gerda, hanyalah defense mechanism yang sifatnya untuk secara rasional mengatakan pada ibunya, "Aku, tuh, enggak mau 'sekolah'."
Bila kebohongan ini terjadi berulang kali dan si anak memang berada dalam suatu tekanan psikologis, maka bisa mengarah ke reflek-reflek somatis pada badan. Dia jadi sakit perut betulan, misalnya, buang-buang air, sakit kepala, dan sebagainya.
Karena itu, anjur Gerda, "Orang tua seharusnya melihat respon-respon anaknya. Mungkin dari perubahan wajah, suara, tingkah lakunya, dan sebagainya. Komunikasikanlah dengan anak." Dengan demikian, orang tua bisa segera tanggap terhadap alasan sebenarnya yang tersembunyi di balik "ulah" si kecil.
Selanjutnya yang perlu dilakukan orang tua ialah bicara dengan guru si anak. Atau dengan kepala sekolah bila ternyata si guru tak bersikap terbuka. Soalnya, tak jarang kita dapati guru yang langsung emosional kala orang tua "mengeluhkan" anaknya. Entah karena si guru takut disalahkan atau memang punya sifat arogan sehingga selalu menganggap orang tua tak tahu apa-apa. Bisa juga si guru over power karena dia merasa, di kelas dirinyalah yang "berkuasa" sehingga orang tua harus tunduk padanya.
Tapi Anda tak perlu kecil hati karena masih lebih banyak guru TK yang baik, kok. Yang penting, cepatlah tanggap terhadap sinyal-sinyal yang diperlihatkan si kecil. Kalau tidak, yang terjadi kemudian si kecil sudah terlanjur "mogok".
Julie Erikania/nakita