Anak Bossy Bisa Jadi Calon Pemimpin

By nova.id, Senin, 8 Maret 2010 | 05:26 WIB
Anak Bossy Bisa Jadi Calon Pemimpin (nova.id)

Ah, apa iya anak bossy bisa jadi pemimpin? Ya, kalau diarahkan dengan baik. Tapi, sudahkah Anda menjadi teladan baginya?

"Biiik, cepat bersihkan sepatuku! Awas, kalau enggak bersih!" Teriakan seperti ini mungkin biasa didengar pada anak-anak yang bersikap bossy alias suka meraja. Jika ini terjadi pada anak Anda, bisa jadi Anda akan terkejut dan tak percaya. Benarkah si kecil yang biasa lucu, bisa memerintah demikian kasarnya?

Psikolog Dra. Henny Eunike Wirawan menjelaskan, sikap seperti ini kerap dijumpai anak usia 3-4 tahun. Misalnya, keinginannya harus segera dituruti, mau menang sendiri, dan lainnya. "Kalau ayah dan ibu peka, sebetulnya sikap bossy anak sudah bisa dicium sejak dia umur setahun. Misalnya, kalau mainannya diambil, dia marah-marah." Memang, anak kecil akan marah jika mainannya diambil. "Tapi yang ini, marahnya lebih lama dan sangat berlebihan. Akhirnya, karena orang tuanya tak tahan, mereka akhirnya luluh dan membiarkan si anak bersikap begitu," kata Pudek I Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara Jakarta ini.

DUKUNGAN LINGKUNGAN

Sikap bossy, terangnya lebih lanjut, terbentuk karena di rumahnya anak terbiasa dilayani. Selalu ada pembantu atau orang yang menjamin kebutuhannya. Mau makan atau mandi, siap dilayani. Bahkan, tas sekolahnya pun, bila ia sudah sekolah, dibawakan oleh supir atau pembantunya. "Nah, karena biasa dilayani, tak perlu harus mengerjakan sendiri, lama-lama akhirnya akan jadi kebiasaan," ujar Henny.

Awalnya, mungkin maksud orangtua hanya sekadar menservis. Tapi anak jadi belajar, "Ternyata diladeni enak, ya?" Akhirnya ia jadi malas dan tak mau jika orang lain membantahnya. Apalagi para pembantunya di rumah juga tak pernah membantahnya dan selalu bersedia menuruti keinginannya.

Lebih jauh dikatakan Henny, sikap bossy sering terjadi pada anak-anak yang orang tuanya terlalu memperhatikan. Atau malah tak memperhatikan sama sekali, tapi ada pengganti seperti pembantu, sopir atau babysitternya. "Limpahan perhatian atau kemanjaan yang berlebihan ini membuat anak merasa, dialah yang paling hebat, paling berkuasa. Akhirnya ia banyak ngatur, ingin kemauannya dituruti," jelas Henny.

Biasanya ini terjadi pada anak tunggal, anak tertua, atau anak orang kaya. Sebab, pada anak-anak ini, lingkungan sangat mendukung. Kendati begitu, masalah sebenarnya bukan terletak pada anak ke berapa, tapi lebih pada lingkungan. "Jika lingkungannya membentuk seperti itu, ya, bisa memupuk sifat bossy!" tandas Henny. Misalnya pada anak yang telah lama diharapkan kehadirannya. Saat lahir, sekelilingnya melimpahinya dengan kemanjaan berlebihan. Akhirnya, anak pun jadi bersikap bossy.

Sementara yang menjadi "sasaran" sikap bossy, bukan hanya kalangan yang dianggap anak lebih rendah seperti pembantu, babysitter atau sopir. Juga teman-temannya dan biasanya lebih ke teman yang karakternya lemah atau tipe pengikut. "Anak-anak yang lemah, mungkin yang tak terlalu kaya, agar bisa diterima lingkungannya biasanya akan nurut," kata Henny. Nah, anak-anak bossy akan mencari orang-orang seperti itu, yang bisa ia kuasai.

Keluarga anak pun bisa jadi "sasaran", terutama bila keluarganya bersikap permisif. Alasannya, si anak masih kecil dan akan berubah jika semakin besar. "Padahal, mana mungkin anak bisa berubah jika tak diajarkan atau diarahkan?" tutur Henny.

DIJAUHI TEMAN

Henny mengingatkan, sifat bossy tak sama dengan sifat kepemimpinan. "Kalau yang punya tipe kepemimpinan, ia bisa mengayomi. Tak semata-mata memberi perintah, tapi juga bisa terjun melaksanakan," terangnya. Selain perencana, tambahnya, anak tipe ini juga mau mendengarkan pendapat dan saran orang lain. Ia pun rela berkorban dan bersedia memikul tanggung jawab jika gagal. "Makanya, teman-temannya senang padanya. Bahkan kadang ia dijadikan ketua kelas di sekolahnya," lanjut Henny.