Anak Bossy Bisa Jadi Calon Pemimpin

By nova.id, Senin, 8 Maret 2010 | 05:26 WIB
Anak Bossy Bisa Jadi Calon Pemimpin (nova.id)

Setelah melakukan evaluasi, ayah-ibu lalu merancang, mana yang mesti diubah lebih dulu. Jika prioritasnya ingin mengubah sikap si kecil yang selalu berteriak saat memanggil pembantu, inilah yang harus dibenahi lebih dulu. "Jangan menunda-nunda melakukan perubahan. Bila sudah diketahui apa yang kira-kira perlu dilakukan, ya, mulai dijalankan," kata Henny. Di samping itu, lanjutnya, ayah-ibu juga perlu membagi visinya itu kepada anggota keluarga sehingga mereka pun ikut membantu.

JADILAH TELADAN

Mengubah memang tak mudah. Apalagi si kecil sudah terbiasa dilayani. Kesabaran adalah kunci utamanya. "Selain itu, orang tua juga harus mau menghilangkan perasaan nggak tega dan kasihan tadi," nasihat Henny. Perubahan, katanya, dilakukan secara bertahap, menurut prioritas. "Kalau sekaligus, anak akan kaget dan dampaknya jadi ngambek atau memberontak," terangnya.

Agar anak tak ngambek, ayah-ibu harus meningkatkan komunikasi dengan anak. Misalnya, ceritakan bagaimana sikap anak yang baik dan dampak-dampaknya kelak jika ia terus bersikap bossy. Juga bagaimana pentingnya sikap menghargai orang. "Pelan-pelan, si kecil pun akan menerimanya, kok!" tandas Henny.

Selain itu, ayah-ibu juga harus mengevaluasi perilakunya. Jangan sampai si kecil bersikap demikian justru karena meniru perbuatan orang tuanya. Contohnya, ayah yang bersikap bossy pada ibu. "Kalau minta kopi, pakai teriak. Anak akan belajar, begitu cara meminta sesuatu," bilang Henny. Alhasil, jika ayah dan ibu saja sudah tak saling menghargai, anak pun akan bersikap seperti itu terhadap orang lain.

Bila si kecil sudah menunjukkan perubahan perilaku, sekecil apa pun, jangan lupa memberinya penghargaan. Tak usah berupa hadiah, cukup pelukan atau kata-kata, "Wah, anak Mama sekarang pintar, ya." Itu sudah sangat berarti bagi anak.

Yang tak kalah penting, jangan anggap musuh si bossy. Apalagi, si kecil menjadi bossy tentu ada sebabnya. Seperti sudah disinggung di atas, mungkin ia tak diperhatikan, atau malah terlalu banyak perhatian. "Boleh saja orang tua memarahi anak, asal jangan berkepanjangan. Juga harus diberi tahu, mengapa orang tua menjadi marah," kata Henny.

Sementara hukuman, menurut Henny, sebaiknya dijadikan sarana terakhir. "Jangan sedikit-sedikit dihukum. Ia akan jadi stres dan tak berkembang," katanya. Hukuman pun tak perlu berbentuk fisik, tapi cukup dengan tak memenuhi keinginannya atau teguran. Misalnya, saat si kecil sedang menunjukkan sikap bossynya, ayah/ibu cukup menegur, "Eh, kalau mau minta tolong pakai apa? Tolong, Bik...."

Penghargaan dan hukuman, anjur Henny, sebaiknya seimbang. Bila tidak, anak akan belajar memanipulasi keadaan. "Ini biasanya terjadi jika komunikasi antara orang tua dan anak tak maksimal," ujarnya. Orang tua hanya membuat "undang-undang", harus begini, harus begitu, plus ancaman kalau si anak melanggar. "Jadi, apa-apa dengan ancaman. Nah, si kecil akan belajar memanipulasi keadaan. Di depan orang tuanya, ia bersikap manis. Tapi di belakang mereka, ia balas dendam pada pembantu atau orang lain," papar Henny.

"Itulah pentingnya orang tua memperlakukan anak dengan baik sejak awal. Baik dalam arti ada perhatian yang cukup dan tak berlebihan. Ada sentuhan yang cukup secara fisik. Juga ada lingkungan yang memadai buat anak, yakni lingkungan yang terjamin, sehingga kebutuhan akan rasa amannya terpenuhi," terang Henny. Biasanya, tambah psikolog ini, jika anak merasa aman secara psikologis, ia akan belajar hal-hal yang baik. Tapi jika ia dalam situasi diabaikan, tak dipedulikan, ia akan kesulitan untuk belajar hal-hal baik. Karena nyatanya ia tidak mendapatkan hal yang baik itu.

Indah Mulatsih/nakita