Menjadi ayah yang baik, tidak datang dengan sendirinya. Perlu belajar terus-menerus.
Memang tak ada sekolah khusus bagaimana menjadi ayah yang baik. Mungkin karena itu, banyak ayah yang cepat putus asa dan merasa tak sanggup berinteraksi apalagi dekat dengan anak seperti yang dilakukan ibu. Padahal, kalau mau belajar, tak sulit, kok. Berikut 12 alasan yang membuat ayah takut dan enggan dekat dengan anak:
1. SUSAH
Hampir semua ayah bilang, "Ternyata susah, ya, jadi ayah yang baik. Enggak segampang yang kita bayangkan." Banyak calon ayah membayangkan, betapa asyiknya punya anak, main bersamanya, dan sebagainya. Tapi ayah lupa, ada juga hal-hal "tak enak"nya. Kala si kecil sakit, rewel, atau bandel. Ketika itu terjadi, ayah kaget dan kagok.
Tanggung jawab terus berlangsung hingga anak jadi dewasa. Selama itu pula kecemasan akan terus ada. Banyak keputusan dan kebijakan yang harus dilakukan ayah yang akan mempengaruhi hidup anak. Wajar bila ayah khawatir dan cemas.
Jadi, siapa bilang menjadi ayah gampang? Anda tak akan bisa dengan mudah dan tiba-tiba jadi ayah yang kebapakan. Namun yang jelas, Anda bisa belajar untuk menjadi lebih sabar, lebih pemurah, lebih cinta, dan pemaaf, ketika sudah menjadi ayah.
2. BUKAN DARI AWAL
Mulailah mendekati anak, bahkan sejak ia belum lahir. Anda bisa memulainya dengan meletakkan tangan atau menempelkan telinga di perut istri yang tengah menggunung. Ikut menemaninya ke dokter, melihat janin lewat USG, dan seterusnya. Sayangnya, banyak calon ayah yang enggan atau lupa melakukan hal ini. Ditambah, ketika si bayi lahir, para ayah menganggap, masa kecil adalah saat anak harus banyak berdekatan dengan ibunya.
Dengan alasan tak mau dituduh mengintervensi kedekatan ibu dan anak dan rasa takut memegang tubuh bayi yang begitu mungil, ia jadi enggan terlibat mengurus anak sejak awal. Padahal, ayah bisa, lo, mengganti popok, memakaikan baju, menyendawakan bayi, mendiamkan tangisnya, dengan keterampilan yang sama dengan yang dimiliki ibu. Tapi yang terjadi, ayah cuma mau berdekatan dengan anaknya ketika si bayi sedang anteng, tertawa lucu, dan bermain bersama.
Ingat, semakin awal Anda terlibat dengan anak, semakin baik kedekatan yang dibangun. Semakin banyak menghabiskan waktubersama anak, akan lebih menguntungkan karena kelak, ketika si anak menghadapi gejolak dalam hidupnya atau butuh nasehat, ayahlah orang yang akan didatangi pertama kali.
3. PERNAH DITOLAK
Mungkin Anda pernah mengajaknya bermain dan anak dengan polos menjawab, "Enggak, ah, aku maunya sama Ibu saja." Anda pun merasa ditolak, "sakit hati", kemudian berjanji dalam hati, "Oke, lain kali aku enggak akan ngajak kamu main." Jangan egois dan buru-buru mengambil kesimpulan sepihak. Si kecil bukannya tak ingin bermain dengan ayahnya, lo. Mungkin saja waktunya tidak tepat karena dia sedang asyik main dengan ibunya. Atau, jangan-jangan si kecil bisa "membaca", Anda tak tulus mengajaknya bermain, karena Anda datang kepadanya dengan wajah kusut dan nada bicara ogah-ogahan.
Bila Anda mengajaknya bermain, tunjukkan kesungguhan dan antusiasme. Bila si kecil tetap menolak, jangan langsung cemberut dan putus asa. Anda boleh bertanya padanya, "Oke, deh, kapan, dong, mau main sama Ayah? Nanti kita cari permainan yang seru, ya."
4. DIANGGAP BEBAN
Ayah sering melihat anak sebagai "pengganggu". Bayangkan, capek pulang kantor, langsung ditodong untuk bermain kuda-kudaan. Kepengin mengajak istri sesekali menonton, eh, ditolak istri dengan alasan kasihan anak-anak di rumah. Sudah pontang-panting mencari uang, istri masih melapor, harga susu naik. Sebal dan bingung, kan? Ujung-ujungnya, kehadiran anak dianggap sebagai beban.
Jangan menuruti ego Anda. Menjadi ayah memang menimbulkan kecemasan dan kerepotan. Tapi kalau Anda selalu melihat sisi positifnya, ternyata menjadi ayah juga menyenangkan. Semakin Anda merasa santai, semakin mudah Anda menjalani peran sebagai ayah.
5. MENGANGGAP MANUSIA "PLANET"
Anda sering menganggap anak makhluk yang "aneh" karena cara bicara mereka, cara berpakaian, cara makan, atau musik yang dipilih, berbeda dengan selera Anda. Semua ini membuat Anda enggan berdekatan dengannya karena merasa tidak bisa nyambung. Padahal, kalau diingat-ingat lagi, tentu juga ada perbedaan mencolok yang terjadi antara ayah Anda dengan Anda waktu seumuran dengan anak.
Alih-alih mempersoalkan perbedaan ini, lebih baik selalu ingat-ingat, apa yang dibutuhkan anak, yaitu pengertian dari orang tuanya, kasih sayang, keinginan dihargai, cinta ayah dan ibu, dan hubungan yang dekat, bukan saja dari ibu, tapi juga ayah.
6. PRIA HARUSNYA MAIN DENGAN ANAK LELAKI
Ini adalah ayah yang diskriminatif karena lebih memilih bermain dengan anak laki-lakinya. Tidak dapat dipungkiri memang, masih banyak ayah yang berharap bayi pertama yang lahir adalah anak laki-laki. Penelitian menunjukkan, ayah yang mempunyai badan atletis dan mempunyai pekerjaan yang menjanjikan, seperti dokter, insinyur, pengacara, dan pengusaha, lebih banyak menghabiskan waktunya bersama anak laki-laki dan berharap mereka mengikuti jejak fisik dan profesinya.
Dekat dengan anak perempuan, membuat ayah khawatir kehilangan sikap tegas dan "kelelakiannya". Padahal, dekat dengan anak perempuan, memberi keuntungan pada ayah untuk belajar mengembangkan sisi psikologisnya yang berkaitan dengan empati, kepekaan, dan hubungan interpersonal.
Sebagai ayah, Anda tidak perlu meniru sikap ibu ketika berhadapan dengan anak perempuan. Perbedaan jenis kelamin justru akan membuka pengetahuan baru bagi si gadis kecil kelak dalam membina hubungan dengan pria. Dia juga akan tumbuh menjadi wanita yang tangguh, tidak cengeng, dan belajar memperhitungkan perasaan serta logika ketika harus mengambil keputusan.
Santi Hartono/bersambung