Satu hal harus diketahui, lanjut Ieda Sigit, ibu hamil berada dalam proses adaptasi. Terutama pada kehamilan pertama. Kalau dulu ia hanya memikirkan diri sendiri, kini di dalam tubuhnya ada makhluk lain yang sangat tergantung padanya. "Jika ibu hamil tak siap betul menghadapi kehamilannya, akan timbul kegelisahan secara psikologis." kata lulusan Fakultas Psikologi UI ini.
Begitu pula setelah bayi lahir, jika ibu tak paham perannya, ia menjadi bingung sementara bayinya tetap harus diurus. "Belum lagi dia masih harus menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi pada fisiknya. Dia masih mengalami perdarahan, sesuatu yang sama sekali tak nyaman bagi dirinya. Atau cemas menghadapi perutnya yang berubah setelah melahirkan, apakah kelak bisa kembali seperti dulu lagi. Begitu juga soal berat badan yang bertambah selama kehamilan, apakah bisa turun lagi dan kembali langsing seperti dulu." papar Ieda
Nah, menurut Ieda, jika wanita tak siap mental, tak cukup matang menghadapi itu semua, timbullah post-partum depression. "Apalagi jika selama kehamilan sampai melahirkan, suami tak mendukung sehingga dia sendiri yang harus menanggung semuanya. Suami tak mau tahu dan menganggap mengurus bayi semata-mata pekerjaan wanita sementara istri membutuhkan bantuannya. Akibatnya, istri bisa saja mengembangkan perasaan-perasaan negatif, merasa anaknya menjadi beban, menjadi penghalang hubungan dia dengan suaminya. Kebencian ini bukan hanya terhadap anak tapi bisa juga pada suami," papar Ieda Sigit.
Oleh sebab itu, anjur konsultan perkawinan ini, "Pria dan wanita harus menyiapkan diri sejak jauh-jauh hari bahwa dalam siklus kehidupan, suatu waktu nanti akan sampai pada titik menjadi seorang istri atau suami, menjadi ayah dan ibu."
GEJALA DAN TINDAK MENGATASI
Post-partum blues bisa terjadi pada hari-hari pertama pasca persalinan dan umumnya akan membaik dengan sendirinya dalam beberapa jam atau beberapa hari. Tapi umumnya terjadi setelah pasien pulang dari rumah sakit, sekitar dua minggu atau lebih setelah melahirkan. Gejalanya antara lain, sering sedih, mudah menangis, merasa tak berdaya dan tak mampu mengatasi masalah terutama dalam merawat bayi, sulit tidur (padahal istirahat penting sekali bagi wanita pasca persalinan), tak selera makan, berat badan turun, dan tak ada kemampuan yang cukup atau kurang mampu untuk menilai diri sendiri.
"Mereka yang mengalami post-partum blues, terutama pada kelahiran pertama, umumnya tak menyadari apa sesungguhnya yang sedang terjadi pada dirinya. Tiba-tiba saja merasa sedih, menjadi murung atau menangis," tutur Dhyanti. Dengan demikian, harus ada orang lain yang mengerti dia, membantunya untuk memahami mengapa ia berperilaku seperti itu, sekaligus mengatasinya. Kalau tidak, kesedihan yang dialaminya akan membuatnya depresi, yang akhirnya menjadikannya psikosis.
"Jika wanita bersangkutan sudah memiliki pengetahuan tentang post-partum blues, akan lebih mudah untuk mengatasinya. Minimal, ia sudah mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Mungkin ia akan membicarakannya dengan suaminya dan kemudian bersama-sama berusaha untuk mengatasinya," lanjut Dhyanti. Kecepatan mendeteksi gejala yang diikuti segera dengan upaya mengatasi, akan membuat yang bersangkutan bisa cepat pulih kembali.
Anita yang di atas sangat bersyukur karena suaminya sangat mengerti dan memahami kondisinya. Begitu pun ibu mertuanya. "Suami saya akhirnya banyak tinggal di rumah dan mengendalikan bisnisnya dari rumah karena mengkhawatirkan saya. Ibu mertua, yang sering datang meski saya cuekin, malah semakin sering datang. Dengan lembut ia mengajak saya bercakap-cakap walaupun saya lebih sering berdiam diri dan tak menjawab pertanyaannya."
Berkat kesabaran dan pengertian suami dan ibu mertuanya, serta bantuan dokter keluarga dan konselor, akhirnya Anita terbebas dari perasaan-perasaan yang mengganggunya hampir setahun lamanya. "Sekarang saya merasa benar-benar telah sembuh dari depresi saya. Saya bahagia melihat kedua anak saya yang lucu. Tak ada lagi kecemasan yang bisa membuat saya sedih tak karuan". Tentu saja, sebagai seorang ibu, kekhawatiran terhadap perkembangan anaknya sesekali muncul. "Benar kata konselor saya, semakin kita menekan depresi kita, semakin lama dia bercokol. Yang benar ialah, membiarkan depresi itu, namun dengan dukungan orang-orang tercinta di sekitar kita, depresi itu akan hilang," katanya dengan wajah ceria.
Beruntunglah Anita. Sebab, seorang ibu yang mengalami post-partum blues tentunya tak bisa optimal dalam merawat bayinya, sehingga perlu bantuan orang lain. Ini tentunya bukan sesuatu yang terbaik bagi tumbuh-kembang anak. Apalagi kalau kemudian ibu jadi membenci bayinya, merasa terbebani dengan kehadirannya. Padahal, seperti dituturkan Ieda Sigit, para ahli mengatakan, begitu anak lahir diperlukan minimum 18 bulan bagi ibu untuk belajar mencintai anaknya dan anak belajar menerima cinta ibu serta membalasnya sampai terjadi hubungan erat antara keduanya. "Sikap penolakan ibu terhadap bayi merupakan bibit tak sehat untuk hubungan ibu-anak nantinya, maupun tumbuh-kembang anak selanjutnya," tukas Ieda Sigit. "Anak bisa mengalami gangguan dalam perkembangan tingkah laku, intelektual, dan emosi," sambung Dhyanti.
PERAN SUAMI