Ieda Sigit membenarkan, betapa penting peran lingkungan, terutama suami, sejak kehamilan sampai kelahiran. "Dalam perkawinan, suami-istri merupakan satu kesatuan yang tak bisa lepas satu sama lain.
Meski yang hamil adalah istri, tapi suami jangan lupa bahwa yang berada di kandungan istrinya berasal dari dia, miliknya juga. Dia pun harus ikut aktif menjaga kehamilan itu. Dia bisa membantu mengingatkan istrinya tentang apa yang harus dimakan agar bayi yang dikandungnya bertumbuh-kembang sehat, mengingatkan istrinya tentang apa yang boleh dan tak boleh atau yang sebaiknya tak dikerjakan selama kehamilan, ikut mendengarkan konsultasi dengan dokter tentang apa yang terjadi pada kehamilan istrinya, dan sebagainya," papar peminat masalah perkawinan, wanita, keluarga dan anak ini.
Dhyanti pun sependapat. "Suami harus mempelajari kondisi fisik dan psikologis istri hamil sehingga bisa membantu dan mendukung istrinya agar lebih percaya diri," ujarnya. Ini bisa dilakukan dengan banyak membaca dan menyaksikan tayangan TV yang mengupas masalah-masalah seputar kehamilan serta persalinan. "Biasanya pengetahuan istri tentang hal itu lebih banyak, karena ia yang mengalami kehamilan pasti terus berusaha mencari tahu tentang dirinya. Minimal suami memiliki pengetahuan yang sama dengan istri. Kalau tidak, bagaimana ia bisa menolong istrinya?" kata dokter yang berpraktek di RSB Yayasan Pemeliharaan Kesehatan dan Klinik Spesialis Dr. Moegni ini.
Menjelang proses persalinan, lanjutnya, suami juga harus berusaha mencari tahu tentang apa yang terjadi pada istri, tindakan-tindakan apa saja yang dilakukan dokter, dan apa akibatnya terhadap istri maupun kehamilannya. "Sampaikan semua itu kepada istri dan beri dukungan sehingga ia tenang dan siap menghadapinya," ujar Dhyanti.
Selain itu, lanjut Ieda Sigit, suami adalah calon ayah dari anak yang dikandung istrinya. Seorang calon ayah yang keuangannya terbatas, misalnya, akan memilih berhenti membeli rokok dan membeli makanan bergizi untuk istrinya, karena dia tahu persis janin itu lebih membutuhkan. Bahkan, tak jarang seorang calon ayah menambah pekerjaannya atau menjadi lebih giat dalam mencari uang, agar bayinya terjamin sejak dari kandungan maupun ketika sudah lahir. "Jadi, suami tak bisa melepaskan diri begitu saja pada waktu istrinya hamil, maupun setelah anaknya lahir," tukas pembicara di banyak seminar ini.
TINDAK PENCEGAHAN
Baik Dhyanti maupun Ieda sam-sama berpendapat, post-partum blues dapat dicegah. "Bahkan, yang punya riwayat gangguan kejiwaan pun bisa dicegah agar tak mengalaminya. Yakni dengan mendeteksi ada-tidak riwayat gangguan kejiwaan saat melakukan pemeriksaan kehamilan, dan suami jangan menambah dengan hubungan yang kurang baik," kata Dhyanti. Tindak pencegahan lainnya, suami-istri berusaha menjaga agar tak terjadi konflik yang membuat perkawinan menjadi kurang harmonis, menyiapkan diri sebelum memutuskan untuk punya anak, dan melengkapi diri masing-masing dengan pengetahuan tentang kehamilan maupun persalinan (termasuk pengetahuan tentang tumbuh-kembang bayi).
Selain itu, Ieda Sigit menegaskan, setiap orang harus menghayati jati dirinya sebagai pria atau wanita. Sebab, dari penghayatan itulah dia dapat mengembangkan dan menerima peran-perannya nanti, dan dapat belajar mencintai bayi. "Wanita berkepribadian matang, dalam arti dia siap dengan kehamilan dan kelahiran, biasanya tak akan mengalami gangguan psikis pasca persalinan," katanya. Bahkan, jika suami atau lingkungannya tak mendukung, dia juga bisa terhindar dari gangguan psikis pasca persalinan karena dia tahu akan fungsi dan tanggungjawabnya sebagai seorang ibu. "Jadi, terima dulu peran Anda karena itu adalah sesuatu yang terberi. Terima, hayati, siapkan diri, lalu jalani.
Jika Anda mengalami kegelisahan, ingatlah, Anda tak sendiri. Begitu banyak perempuan lain yang juga melahirkan, dan tidak apa-apa," nasehat Ieda Sigit.
Tindak pencegahan lain yang dapat dilakukan, hindari pekerjaan atau kegiatan tak penting. "Jangan sampai merasa sangat lelah. Istirahat yang cukup dapat mencegah terjadinya gangguan emosional," ujar Dhyanti. Memilih dokter kandungan atau bidan yang tepat, juga perlu dipertimbangkan. Sebab, tak semuanya mampu menyediakan banyak waktu untuk mendengarkan keluhan pasien. Bahkan, ada dokter kandungan yang tak mengizinkan suami mendampingi istri selama pemeriksaan kehamilan.
Julie Erikania/nakita