Konflik menantu vs mertua merupakan masalah klasik. Apalagi kalau kebetulan tinggal serumah. Tapi kalau ada saling pengertian, hubungan mereka bisa harmonis, kok.
"Huh,sebel sama mertua. Kebanyakan ngatur, pusing pala gue. Katanya, ngapain masak masakan Eropa, toh, suami enggak doyan. Pokoknya, kayaknya yang ngerti anaknya cuma dia," keluh Rika pada sahabatnya. Keluhan Rika mungkin juga adalah keluhan Anda. Memang, masalah mertua dan menantu (terutama mertua perempuan), bukan hal aneh dan baru.
Banyak problem yang bisa memicu konflik antara menantu dan mertua. Apalagi, jika mereka tinggal bersama dalam satu rumah. Yang paling sering terjadi adalah konflik antara mertua perempuan dengan menantu wanita. Kedekatan antara ibu dan anak laki-lakinya, paling sering menjadi pemicu "persaingan" antara mertua dan menantu wanita. "Sang ibu menganggap dirinya masih 'berhak' atas anak laki-lakinya," ujar psikolog Dr. Sukiat.
Beban berat memang lebih sering ditanggung pihak menantu wanita. Apalagi, jika ia tidak bekerja. Penelitian menunjukkan, wanita yang tinggal di rumah lebih banyak terkena stres dibanding mereka yang bekerja. Beda dengan wanita yang tinggal di rumah, wanita bekerja masih lebih beruntung, karena punya sarana untuk melampiaskan stres, misalnya pada pekerjaannya.
Selain masalah anak lelaki (suami si menantu), hal-hal kecil lain juga kerap jadi pencetus pertikaian mertua vs menantu. Entah soal pembantu atau harapan mertua yang terlalu tinggi dari menantunya. Sang mertua ingin menantu perempuannya bertindak serba sempurna. Pandai mengurus suami, merawat anak, menata rumah hingga rapi dan bersih, pintar masak, dan seterusnya. Jika menantu bangun jam 07.00, langsung dicap malas. Pasalnya, si mertua punya kebiasaan bangun pukul 05.00!
PEMICU LAIN
Soal pengasuhan anak, juga kerap menjadi topik pertikaian mertua dan menantu. Apalagi jika kebetulan si menantu merupakan pasangan muda yang belum punya banyak pengalaman. Di sisi lain, mertua merasa sudah begitu ahli karena punya segudang pengalaman. Sekaligus, mertua tak ingin mengulangi kesalahan yang mungkin pernah dibuatnya di masa lalu. Akibatnya, ia sering ikut ambil bagian ketika dilihatnya cara menantunya yang "salah" dalam mengasuh anak. Tentu, tindakan mertua ini bisa membuat menantu tersinggung. "Ini, kan, anak saya, kok, ikut campur," begitu pikir menantu.
Belum lagi, seorang nenek biasanya juga lebih menyayangi cucu dibanding anaknya sendiri. Akibatnya, ia terlalu memanjakan sang cucu. "Wajar, soalnya mereka sudah lama tidak punya bayi. Bagi mereka, cucu seolah mainan kesayangan yang harus dijaga betul," ujar Sukiat. Mendengar cucu menangis saja, sang nenek langsung menyalahkan ayah dan ibunya. Di lain pihak, menantu merasa wewenangnya "dilangkahi" mertua. Alhasil, timbul cekcok.
Perbedaan cara mendidik anak antara mertua dan menantu juga merupakan salah satu faktor pemicu "pertempuran". Orangtua ingin mendidik anak lebih bebas, sementara sang nenek berpendapat sebaliknya. Timbullah perbedaan pandangan yang bermuara pada konflik.
Masalah keuangan juga merupakan masalah sensitif yang sering memicu konflik antara menantu dan mertua. Suami memberi uang pada mertua tanpa sepengetahuan istri, misalnya, bisa membuat istri tersinggung. Meski suami tak berniat buruk, tapi tak jarang istri jadi berubah sikap pada mertua dan suami.
Yang tak kalah penting adalah masalah komunikasi. Termasuk di dalamnya persoalan budaya, cara hidup, cara pandang, usia, atau bahasa. Tak jarang, cara bicara menantu atau mertua bisa menjadi pemicu konflik. Misalnya, cara bicara menantu yang bagi mertua terasa keras, sehingga timbul anggapan bahwa menantu tak sopan. Sementara si menantu merasa sudah berusaha bersikap sopan. Yang terjadi adalah, budaya asal menantu memang membiasakannya berbicara dengan nada keras, sementara mertua sebaliknya. Akibatnya, mertua menangkap lain.
PERLU TERBUKA