Meredam Konflik Mertua Vs Menantu

By nova.id, Minggu, 4 April 2010 | 01:09 WIB
Meredam Konflik Mertua Vs Menantu (nova.id)

Konflik menantu vs mertua merupakan masalah klasik. Apalagi kalau kebetulan tinggal serumah. Tapi kalau ada saling pengertian, hubungan mereka bisa harmonis, kok.

"Huh,sebel sama mertua. Kebanyakan ngatur, pusing pala gue. Katanya, ngapain masak masakan Eropa, toh, suami enggak doyan. Pokoknya, kayaknya yang ngerti anaknya cuma dia," keluh Rika pada sahabatnya. Keluhan Rika mungkin juga adalah keluhan Anda. Memang, masalah mertua dan menantu (terutama mertua perempuan), bukan hal aneh dan baru.

Banyak problem yang bisa memicu konflik antara menantu dan mertua. Apalagi, jika mereka tinggal bersama dalam satu rumah. Yang paling sering terjadi adalah konflik antara mertua perempuan dengan menantu wanita. Kedekatan antara ibu dan anak laki-lakinya, paling sering menjadi pemicu "persaingan" antara mertua dan menantu wanita. "Sang ibu menganggap dirinya masih 'berhak' atas anak laki-lakinya," ujar psikolog Dr. Sukiat.

Beban berat memang lebih sering ditanggung pihak menantu wanita. Apalagi, jika ia tidak bekerja. Penelitian menunjukkan, wanita yang tinggal di rumah lebih banyak terkena stres dibanding mereka yang bekerja. Beda dengan wanita yang tinggal di rumah, wanita bekerja masih lebih beruntung, karena punya sarana untuk melampiaskan stres, misalnya pada pekerjaannya.

Selain masalah anak lelaki (suami si menantu), hal-hal kecil lain juga kerap jadi pencetus pertikaian mertua vs menantu. Entah soal pembantu atau harapan mertua yang terlalu tinggi dari menantunya. Sang mertua ingin menantu perempuannya bertindak serba sempurna. Pandai mengurus suami, merawat anak, menata rumah hingga rapi dan bersih, pintar masak, dan seterusnya. Jika menantu bangun jam 07.00, langsung dicap malas. Pasalnya, si mertua punya kebiasaan bangun pukul 05.00!

PEMICU LAIN

Soal pengasuhan anak, juga kerap menjadi topik pertikaian mertua dan menantu. Apalagi jika kebetulan si menantu merupakan pasangan muda yang belum punya banyak pengalaman. Di sisi lain, mertua merasa sudah begitu ahli karena punya segudang pengalaman. Sekaligus, mertua tak ingin mengulangi kesalahan yang mungkin pernah dibuatnya di masa lalu. Akibatnya, ia sering ikut ambil bagian ketika dilihatnya cara menantunya yang "salah" dalam mengasuh anak. Tentu, tindakan mertua ini bisa membuat menantu tersinggung. "Ini, kan, anak saya, kok, ikut campur," begitu pikir menantu.

Belum lagi, seorang nenek biasanya juga lebih menyayangi cucu dibanding anaknya sendiri. Akibatnya, ia terlalu memanjakan sang cucu. "Wajar, soalnya mereka sudah lama tidak punya bayi. Bagi mereka, cucu seolah mainan kesayangan yang harus dijaga betul," ujar Sukiat. Mendengar cucu menangis saja, sang nenek langsung menyalahkan ayah dan ibunya. Di lain pihak, menantu merasa wewenangnya "dilangkahi" mertua. Alhasil, timbul cekcok.

Perbedaan cara mendidik anak antara mertua dan menantu juga merupakan salah satu faktor pemicu "pertempuran". Orangtua ingin mendidik anak lebih bebas, sementara sang nenek berpendapat sebaliknya. Timbullah perbedaan pandangan yang bermuara pada konflik.

Masalah keuangan juga merupakan masalah sensitif yang sering memicu konflik antara menantu dan mertua. Suami memberi uang pada mertua tanpa sepengetahuan istri, misalnya, bisa membuat istri tersinggung. Meski suami tak berniat buruk, tapi tak jarang istri jadi berubah sikap pada mertua dan suami.

Yang tak kalah penting adalah masalah komunikasi. Termasuk di dalamnya persoalan budaya, cara hidup, cara pandang, usia, atau bahasa. Tak jarang, cara bicara menantu atau mertua bisa menjadi pemicu konflik. Misalnya, cara bicara menantu yang bagi mertua terasa keras, sehingga timbul anggapan bahwa menantu tak sopan. Sementara si menantu merasa sudah berusaha bersikap sopan. Yang terjadi adalah, budaya asal menantu memang membiasakannya berbicara dengan nada keras, sementara mertua sebaliknya. Akibatnya, mertua menangkap lain.

PERLU TERBUKA

Kalau kebetulan Anda tinggal seatap dengan mertua, tak perlu buru-buru kecil hati. Dan kalaupun selama ini Anda dan mertua sering "perang", jangan berpikir tak akan pernah ada kata damai. Semua itu bisa diatasi, kok.

Umumnya, ada dua alasan kenapa sebuah pasangan memutuskan untuk tinggal serumah dengan mertua. Bisa saja keputusan itu diambil karena orangtua tidak membolehkan anak dan menantunya tinggal jauh dari mereka. Jika ini yang terjadi, tak begitu menjadi masalah. Keputusan tinggal dengan mertua juga bisa diambil karena si anak memang mengajak mertua tinggal dengan mereka.

Yang perlu diperhatikan adalah perlunya pertimbangan sebelum membuat keputusan tinggal dengan mertua. Cobalah untuk mendiskusikan terlebih dulu dengan pasangan. Kemukakan juga alasan yang kuat dan tepat, kenapa mertua harus tinggal bersama.

Keterbukaan antara pasangan juga perlu untuk mengantisipasi masalah yang mungkin timbul. Salah satu contoh yang kerap terjadi adalah soal kecemburuan antara menantu dan mertua wanita seperti telah disebut di atas. Suami perlu bersikap bijak supaya tidak dianggap berat sebelah, baik kepada istri maupun orangtuanya. Tak ada salahnya suami mengajak istri agar berpikir positif.

Pepatah Jawa mengatakan, seorang anak dianggap sudah mentas jika sudah menikah. "Jadi, mestinya orangtua tak boleh ikut campur lagi pada masalah keluarga anaknya. Kecuali, anak meminta bantuannya. Karena bagaimanapun, anak adalah tetap anak," ujar Sukiat. Idealnya, tugas orangtua adalah melahirkan, mendidik, dan membesarkan. Selebihnya, tak perlu ikut campur sepanjang tak diminta.

Tak ada salahnya menantu menyampaikan pada mertua, hal-hal yang dirasanya kurang tepat sepanjang disesuaikan dengan keadaan, waktu, dan tempat. "Enggak bisa, dong, begitu mertua tinggal serumah, Anda langsung membeberkan segala peraturan di keluarga Anda kepada mertua," lanjut Sukiat. Upaya ini bisa dilakukan sambil jalan. Misalnya, waktu sedang santai.

CARI POSITIFNYA

Dalam psikologi, lanjut Sukiat, dikenal prinsip, jika kita ingin mengubah orang lain, jangan harapkan orang lain yang berubah, tetapi diri kitalah yang harus berubah. Nah, itu pula yang bisa kita terapkan sebagai strategi untuk menciptakan hubungan yang harmonis dengan mertua.

Tentu saja, tak lantas kita langsung mengubah diri kita 180 derajat hanya untuk mengikuti kemauan mertua. Bisa saja kita memulai dari cara bicara, misalnya. Jadi bukan mengalah, tapi mencoba mengubah diri.

Yang tak kalah penting adalah mencoba melihat aspek positif dari mertua. Atau sebaliknya, mertua melihat aspek positif dari menantu. Jika kita mencoba melihat satu sisi kebaikan dari seseorang, lama-lama akan muncul generalisasi bahwa orang tersebut baik. Kebalikannya, jika kita sudah menganggap seseorang negatif, maka akan timbul generalisasi, segalanya pasti jelek.

Misalnya, menantu menganggap mertuanya jahat hanya karena cerewet. Padahal, di lain pihak, sang mertua sangat sayang pada cucunya. Dengan melihat aspek positif, lama-lama kita pun akan melihat, mertua kita ternyata baik, meski ia cerewet. Nah, jika kita sudah memiliki anggapan bahwa ia baik, maka kita akan mencoba mendekatinya.

Tentu, mertua pun harus bersikap serupa. Tapi sekali lagi yang harus diingat adalah antisipasi sebelum memutuskan tinggal serumah dengan mertua. "Tak bisa tidak, tinggal bersama mertua akan lebih memunculkan kemungkinan timbulnya masalah. Jangankan tinggal bersama, mereka yang tinggal terpisah saja selalu punya masalah, kok," kata Sukiat.

Jadi, lanjutnya, "Yang penting adalah cara kita menghadapinya. Selain itu, suami juga harus membantu istri mengatasi masalah yang timbul dengan mertua, atau sebaliknya." Baik mertua maupun menantu juga harus menyadari peran serta kedudukan masing-masing. "Mertua harus menganggap menantu sebagai anak kandungnya sendiri. Begitu juga menantu, harus menganggap mertua sebagai orangtuanya sendiri."

JANGAN MALAH LARI

Sepelik apa pun masalah yang timbul antara Anda dan mertua, usahakan jangan menghindar. Misalnya, Anda justru pergi dari rumah selama beberapa hari karena kesal pada mertua. "Sikap semacam ini justru akan semakin mempertajam pertikaian. Cobalah untuk membicarakan segala permasalahan secara terbuka. Kalau kita malah lari atau menghindar, bagaimana permasalahan bisa diselesaikan? Tentu, harus ada upaya saling menghargai."

Sebetulnya, terjadi masalah atau tidak, tergantung pada persepsi masing-masing pihak, kok. Entah itu mertua terhadap menantu maupun sebaliknya. Dan persepsi ini bisa dibentuk. Agar mertua mempersepsikan menantu positif, ya, menantu harus berusaha mempelajari apa keinginannya. Begitu juga sebaliknya.

Ingat, bukan cuma mertua yang bisa bikin masalah, tapi menantu pun bisa bikin masalah. Iya, kan?

Hasto