Marah dengan nada tinggi, ngomel tak berkesudahan atau membanting sesuatu, belum tentu efektif untuk mengoreksi perilaku anak.
"Mulailah marah dengan sebuah senyuman," begitu saran bijak mengatakan. Wah? Mana bisa ya? "Memang, memulainya tidak persis harus dengan sebuah senyuman. Namun intinya, jangan sampai karena terlalu bersemangat untuk marah, berhamburlah kata-kata yang tidak perlu, sehingga pesannya malah tak tersampaikan dengan jelas," kata Dra. Clara Istiwidarum Kriswanto, MA dari Jagadnita Consulting.
BOLEH MARAH ENGGAK, SIH?
Marah dalam kadar yang wajar atau sesuai dengan proporsinya, bisa dikatakan justru menyehatkan. Fungsinya adalah sebagai media pelepas ketegangan. Lain hal kalau marah kepada anak merupakan pelampiasan emosi belaka, serta porsinya tidak sebanding dengan kesalahan yang dilakukannya, itu yang tidak dapat dibenarkan.
Seringkali kita berpikir, dengan marah kita bisa mendisiplinkan tingkah laku anak. Padahal, disiplin dan marah-marah itu berbeda," tukas Clara.
Anak baru pantas dimarahi jika ia melakukan kesalahan yang sama berulang kali. "Selama masih bisa diarahkan, sebaiknya orang tua cukup memberikan pengarahan saja tanpa marah-marah," tambahnya. Jadi, orang tua boleh marah sepanjang itu perlu untuk mengoreksi kesalahan anaknya. Namun, lakukan kontrol diri dengan marah seperlunya saja.
Begitu juga jika ia dengan sengaja membahayakan dirinya maupun orang di sekelilingnya, "Misal, mengajak adik main-main dengan api. Jelas ini membahayakan mereka berdua. Dalam kasus seperti ini, sampai batasan tertentu, anak boleh dimarahi."