Tak disangka, setahun bekerja dan rajin menabung, sang majikan melihat kecakapan Wati dan kemampuannya untuk cepat belajar. Keinginan untuk melanjutkan studinya kemudian didengar oleh sang majikan yang langsung direspons positif. “Pak Bachruddin ke saya, katanya kalau mau kuliah boleh saja asal saya bisa membagi waktu. Wah, seneng sekali dan langsung mengucapkan banyak terima kasih,” ceritanya.
Wati pun kemudian mencari informasi dari beberapa temannya sampai akhirnya pilihan melanjutkan studi di kelas karyawan Universitas 17 Agustus Semarang jurusan Adminitrasi Niaga.
“Informasi tempat kuliah saya dapatkan dari teman dan juga keponakan Bapak yang juga sekolah di sana. Saya sebelumnya nelpon kakak saya, Sri Sugiharti, supaya menyampaikan niat saya kepada orangtua di kampung dan meminta pertimbangan. Alhamdulillah, semua mendukung. Niat saya pun makin bulat,” ucapnya sungguh-sungguh.
Akhirnya, Wati pun mendaftar kuliah. “Dulu masih murah, Rp100.000, modalnya pakai tabungan. Saat itu saya optimis dan yakin bisa bayar karena, kan, bisa dicicil. Dan yang penting saat wisuda bisa dilunasi,” katanya.
Soal cicilan uang kuliah, Wati mengaku sering telat membayar. “Tiap bulan kadang bisa bayar Rp500.000, kadang ya kurang. Sering telat bayar beberapa semester, kadang juga ngutang sama teman atau kakak, tapi nanti dibayar lagi,” akunya sambil tersenyum.
Wati mengaku beruntung karena jadwal kuliah bisa dipadatkan. “Target saya kalau bisa mengambil banyak SKS biar cepat lulus. Dalam seminggu, saya kuliah bisa tiga hari. Kalau harus berangkat pagi, saya bangun lebih awal untuk menyelesaikan pekerjaan rumah dulu. Biasanya kalau enggak naik bus ke Semarang, ya numpang teman yang bawa motor,” katanya penuh semangat.
Ia pun menuturkan kisah jatuh-bangunnya sebagai mahasiswa yang bekerja sebagai asisten rumah tangga hingga sebuah momen penting yang membuatnya semakin terpacu menyelesaikan kuliah.