Kisah seorang asisten rumah tangga yang lulus cum laude sempat mendapat sorotan banyak pihak. Perjalanan perempuan ini memang banyak membuat terkesan, mengingat perempuan ini bisa mencapai segala cita-citanya dengan semangat yang tak pernah surut.
Memilih bekerja sebagai seorang asisten rumah tangga sebelumnya tak pernah terpikirkan oleh dara asal Desa Gunungan, Todanan, Blora, Jawa Tengah ini. Lepas menyelesaikan studinya di SMA Muhammadiyah 5 Todanan, Wati, begitu panggilan akrabnya, mencoba mengadu nasib ke ibukota. Sayangnya, ia hanya betah tinggal selama seminggu dan memutuskan kembali ke kampungnya.
Daripada menganggur, Wati pun ditawari bekerja di warung minuman. Berselang tiga minggu, lewat perantara, Wati ditawari bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah seorang dokter gigi, Lely Bachruddin, di Purwodadi, Jawa Tengah. Demi mendapatkan uang lebih banyak, Wati memberanikan diri mengadu nasib menjadi ART sejak 16 Agustus 2010.
Baca: Rahasia Pernikahan dari Pasangan Suami Istri Tertua di Dunia
Modal Semangat
Empat tahun lalu, Wati pertama kali menginjakkan kaki di rumah majikannya di Jalan Hayam Wuruk, Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah. “Sebelumnya saya memang sudah diberitahu akan bekerja di rumah Pak Bachruddin yang dokter gigi. Karena saya datang bersama satu teman yang juga dari kampung jadi ya enggak takut atau khawatir. Apalagi di rumah ternyata ada dua teman ART. Ya sudah, pokoknya niat saya kerja, jadi siap untuk bekerja saja. Lagian saya sudah terbiasa melakukan pekerjaan berat dari kecil, jadi enggak gimana-gimana,” kisahnya.
Wati mengaku terbiasa membantu kedua orangtuanya, Sumijan dan Jasmi, di sawah. “Sejak SD pun saya sudah biasa ambil air dan mikul sehabis pulang sekolah. Jaraknya 300 meter, tapi jalannya berbukit. Saya juga biasa membersihkan rumah, tapi memang saya enggak bisa memasak,” ucapnya polos.
Walaupun mengaku belum berpengalaman bekerja sebagai ART, Wati memiliki modal semangat dan berusaha mengingat pesan orangtuanya. “Saya ingat pesan orangtua, kalau bekerja harus jujur. Saya juga harus rajin dan bertanggung jawab. Kata bapak di kampung, kalau saya menerima berarti saya pun harus siap memberikan lewat tenaga dan pengabdian,” jelasnya.
Menurut Wati, dia dan teman-teman ART yang bekerja di rumah drg. Lely Astati Bachruddin pun berbagi tugas. “Kalau sekarang sih cuma tinggal saya dan seorang teman, dua lainnya sudah keluar. Dulu sih ramai, jadi enggak kesepian. Tapi dari awal, Ibu dan Bapak (majikan) dan kedua anaknya memang baik, jadi sejak awal sudah merasa diterima. Palingan adaptasi saja sih sama pekerjaan tapi enggak lama kok,” sahut asisten rumah tangga yang lulus cum laude ini.
Setiap hari Wati semakin terampil mengerjakan semua pekerjaan mulai dari menyapu, mengepel, menyiapkan teh, berbelanja, sampai membantu pengiriman gigi di klinik gigi majikannya. “Biasanya kalau siang sudah bebas, saya memilih mengakses internet lewat HP untuk mendapatkan informasi, biar enggak ketinggalan,” sahutnya. Dengan gaji setiap bulan sebesar Rp300.000, setengahnya kemudian rutin ia tabungkan untuk beberapa rencana masa depannya.
Telat Bayar Semesteran
Sebenarnya, Wati pernah bercita-cita menjadi seorang polisi wanita. Tapi, perempuan bertubuh mungil ini tahu diri. Selain fisiknya yang kurang mendukung, ia juga tak memiliki biaya cukup. “Akhirnya saya memilih melanjutkan pendidikan sebisanya lalu wirausaha. Saya memang ingin kuliah, sama seperti beberapa teman punya kesempatan melanjutkan studi,” ucapnya.
Tak disangka, setahun bekerja dan rajin menabung, sang majikan melihat kecakapan Wati dan kemampuannya untuk cepat belajar. Keinginan untuk melanjutkan studinya kemudian didengar oleh sang majikan yang langsung direspons positif. “Pak Bachruddin ke saya, katanya kalau mau kuliah boleh saja asal saya bisa membagi waktu. Wah, seneng sekali dan langsung mengucapkan banyak terima kasih,” ceritanya.
Wati pun kemudian mencari informasi dari beberapa temannya sampai akhirnya pilihan melanjutkan studi di kelas karyawan Universitas 17 Agustus Semarang jurusan Adminitrasi Niaga.
“Informasi tempat kuliah saya dapatkan dari teman dan juga keponakan Bapak yang juga sekolah di sana. Saya sebelumnya nelpon kakak saya, Sri Sugiharti, supaya menyampaikan niat saya kepada orangtua di kampung dan meminta pertimbangan. Alhamdulillah, semua mendukung. Niat saya pun makin bulat,” ucapnya sungguh-sungguh.
Akhirnya, Wati pun mendaftar kuliah. “Dulu masih murah, Rp100.000, modalnya pakai tabungan. Saat itu saya optimis dan yakin bisa bayar karena, kan, bisa dicicil. Dan yang penting saat wisuda bisa dilunasi,” katanya.
Soal cicilan uang kuliah, Wati mengaku sering telat membayar. “Tiap bulan kadang bisa bayar Rp500.000, kadang ya kurang. Sering telat bayar beberapa semester, kadang juga ngutang sama teman atau kakak, tapi nanti dibayar lagi,” akunya sambil tersenyum.
Wati mengaku beruntung karena jadwal kuliah bisa dipadatkan. “Target saya kalau bisa mengambil banyak SKS biar cepat lulus. Dalam seminggu, saya kuliah bisa tiga hari. Kalau harus berangkat pagi, saya bangun lebih awal untuk menyelesaikan pekerjaan rumah dulu. Biasanya kalau enggak naik bus ke Semarang, ya numpang teman yang bawa motor,” katanya penuh semangat.
Ia pun menuturkan kisah jatuh-bangunnya sebagai mahasiswa yang bekerja sebagai asisten rumah tangga hingga sebuah momen penting yang membuatnya semakin terpacu menyelesaikan kuliah.