Mengajari Si Kecil Makan Sendiri

By nova.id, Selasa, 16 Februari 2010 | 06:56 WIB
Mengajari Si Kecil Makan Sendiri (nova.id)

Makan sendiri? Mana mungkin? Bisa-bisa meja makan berantakan dan taplak kotor semua. Tapi itu memang salah satu risikonya. Karena, kalau tak sedini mungkin diajari, si kecil tak akan pernah bisa makan sendiri.

Pada setiap jam makan Doni (3), Lucy selalu pusing. Bukannya duduk diam di meja makan memakan makanannya, Doni memilih kebut-kebutan keliling rumah dengan sepeda mininya. Alhasil, tiap jam makan, Lucy pun harus berteriak-teriak memberi aba-aba Doni, agar "Pak Sopir kecil" ini mengangakan mulutnya setiap kali mampir ke tempat duduknya. Tapi sampai kapan hal ini terus berlangsung?

Mengajarkan anak makan memang gampang-gampang susah. Diperlukan kesabaran ekstra untuk menghadapinya. "Tak bisa kita mengharapkan ia makan cepat-cepat. Pun tak bisa kita tinggal mereka makan sendirian. Bisa-bisa, meja makan kita penuh dengan tumpahan makanan mereka. Atau bahkan ia hanya main-main dengan makanannya. Yang paling baik adalah mendampingi mereka saat makan," tutur Dra. Surastuti Nurdadi, MSi dari Fak. Psikologi UI.

Menurut Surastuti, mengajarkan makan sebaiknya sejak sedini mungkin. "Bahkan kalau bisa sejak ia bisa memegang sesuatu, saat usia 8 hingga 10 bulan. Ajarkan ia memegang makanan kering yang bisa digenggamnya. Misalnya, biskuit." Anak yang sudah bisa memegang sesuatu, lanjutnya, biasanya juga mulai meniru orang dewasa. Bahkan hampir semua yang dipegang dimasukkan ke dalam mulutnya. "Nah, saat itulah ia kita latih untuk mulai makan sendiri."

Mungkin untuk belajar makan sendiri pada usia 8-10 bulan belum memungkinkan. "Tapi pada usia itu kita justru melatih disiplin anak bahwa kalau makan, ya, di meja makan." Misalnya, saat menyuapi si kecil bubur, suapilah sambil duduk di meja makan. "Yang penting, ia tahu, makan harus di meja makan. Jangan sambil jalan-jalan. Kalau kita latih ia sejak dini, lama-lama hal itu akan tertanam di benaknya." Kebiasaan ini tetap harus dipegang saat ia diajak berkunjung ke rumah nenek atau saudaranya. "Sehingga ia akhirnya sadar, begitu didudukkan di kursi makan, berarti waktunya ia makan. Kalau ia belum bisa duduk, pangku, tapi tetap di meja makan."

Kalaupun ia rewel, menolak makan di meja makan, jangan cepat-cepat menyerah lalu menyuapinya sambil berjalan-jalan. "Anak jadi tidak bisa menghargai waktunya makan. Lagi pula, sampai kapan ia akan begitu terus. Itulah perlunya melatih si kecil sejak dini."

MOGOK MAKAN

Tahap berikutnya adalah mengajarkannya makan sendiri setelah si kecil telah bisa memegang peralatan makan dengan benar. Terutama pada saat ia berusia 1-3 tahun. "Tentunya dengan sendok dan garpu untuk ukuran mereka. Dan sebaiknya peralatan makan ini bergambar lucu yang menarik perhatian mereka." Di saat ini, ibu sudah bisa melatih anak cara menyuapkan makanan ke mulut. "Selain melatih si kecil belajar makan, sekaligus kita juga melatih motorik tangan mereka. Karena kalau tidak dilatih sejak kecil, bisa jadi ia memegang sendok dan garpu itu dengan cara yang aneh, misalnya seperti orang yang mencangkul."

Surastuti juga mengakui, untuk meminta si kecil duduk diam dengan manis di meja makan memang bukan pekerjaan mudah. Bisa saja terjadi, baru duduk 5 menit, ia sudah turun dan main kembali. "Itulah mengapa pada saat makan sebaiknya konsentrasikan ia pada makanan. Jangan biarkan hal-hal di luar dirinya mengganggu konsentrasinya." Contohnya, jika ada anggota keluarga lain yang menonton teve, lebih baik segera dimatikan karena bisa jadi si kecil pun ingin ikutan menonton teve. "Bahkan hal ini bisa dijadikannya sebagai alasan untuk menolak makan. Kalaupun mau, makannya sambil menonton teve. Ini, kan, sama saja dengan merusak disiplin yang sudah kita ajarkan."

Selain itu, mainan mereka pun lebih baik dijauhkan karena dapat mengganggu konsentrasi anak. "Jika ia memaksa membawa mainannya ke meja makan, tekankan padanya, ia boleh membawanya tapi tidak untuk dimainkan."

Di sisi lain, sebagai orangtua, Anda juga harus maklum dan sabar jika meja makan menjadi berantakan dan taplak menjadi kotor karena ulah si kecil. "Namanya juga masih belajar. Wajar saja jika makanan itu loncat sana-sini. Karena itu, dampingilah ia selagi makan," pesan Surastuti. Jika ia mengotori taplak dan Anda marah, "Ini akan menjadi pengalaman yang tidak mengenakkan pada si anak perihal makan. Kalau trauma makan itu membekas, ia pasti akan mogok makan."

Nah, kalau sudah begitu, apa yang harus kita lakukan? "Ubah sikap! Jadikan suasana makan menjadi suatu kegiatan yang menyenangkan. Tak perlu marah-marah atau tergesa-gesa menuntut anak makan cepat. Bersikaplah santai dan tenang saat mendampinginya." Ibu pun tak usah buru-buru membantu anak bila si kecil belum juga berhasil memasukkan makanan ke dalam mulutnya gara-gara selalu tumpah. "Kalau ia sudah capek atau bosan, baru kita bantu. Ini penting untuk melatih kemandiriannya."

Di saat mendampingi si kecil belajar makan, ibu bisa bercerita tentang makanan yang disantap anak. Misalnya, "Kamu tahu, nggak, daging di sup yang kamu makan itu, namanya daging ayam. Ayam kakinya ada dua. Ayo, kamu bisa tidak menirukan bunyi ayam jago?"

Yang juga patut diperhatikan, porsi makanan sebaiknya diberikan sedikit demi sedikit. "Kalau terlalu banyak, saat ia merasa bosan, makanan itu cenderung dibuat main. Jika itu yang terjadi, sebaiknya segera singkirkan makanan itu karena rasanya pun sudah tak enak. Kita saja yang dewasa jika makan terlalu lama dan sudah menjadi dingin, sudah tak berselera lagi. Nah, si kecil pun merasakan hal yang sama."

Atau, seperti dikatakan dr. Lindarsih Notowidjojo, M. Nutr. Sc, dari RS Siloam Gleneagles, Tangerang, mungkin orangtua lupa mengurangi jumlah susu untuk si kecil. "Semasa bayi, anak memang mengkonsumsi susu lebih besar dibanding makanan lainnya. Nah, saat ia batita, bisa jadi orangtua masih memberi porsi susu sebanyak dulu sehingga perutnya terlalu kenyang untuk makan makanan lainnya."

Lindarsih juga menyarankan agar saat pemberian susu diatur jaraknya agar tak terlalu dekat dengan waktu makan. "Kalau jam 11 ia diberi susu lalu jam 12 harus makan, tentu saja ia masih kenyang. Apalagi, lambungnya, kan, masih kecil." Karena itulah, porsi makan juga harus diatur. "Sedikit demi sedikit. Kalau dalam tiga hari berturut-turut anak tak mampu menghabiskan makannya, lebih baik kurangi porsinya pada hari keempat. Jika ia sanggup menghabisinya, bisa ditawari untuk menambah."

Jika si kecil tak juga mau menghabiskan makanannya, jangan buru-buru menggantinya dengan susu dalam jumlah yang banyak. Tetapi teliti dahulu kemungkinan penyebabnya. "Ada, kan, ibu yang khawatir anaknya kelaparan karena tak mau makan. Jadi, si kecil diberi susu banyak-banyak. Meski susu itu lengkap komposisinya, tetap tak cukup karena si kecil sudah memerlukan kalori yang tinggi demi bekal pertumbuhan otak dan badannya. Jadi, ia harus tetap diberi makanan padat."

CARI TAHU PENYEBABNYA

Mengenalkan makanan pun, misalnya buah, sebaiknya jangan langsung satu buah. Berikan seiris dulu, yang penting ia mengenal rasa dan tahu cara memakannya. Baru kemudian ditambah secara bertahap. Jangan pula berpikir si kecil tak punya rasa dan tak memiliki perasaan akan keindahan. Bubur yang dibuat asal saja, berbau amis, jelek penampilannya, akan mengurangi selera si anak.

Berikan pula padanya kebebasan untuk memilih makanan yang hendak disantapnya. "Hal ini sering dilupakan orangtua karena menganggap makanan yang sehat untuk anak adalah menu itu. Alhasil, hanya makanan itu yang terus dimasak ibu."

Selain itu, ibu juga harus pandai memvariasikan makanan anak. "Kita saja yang dewasa akan bosan kalau diberi makanan yang itu-itu juga. Makanan pun sebaiknya disajikan dengan indah dan menarik, sehingga ia merasa, makan bukan sesuatu yang membuat ia stres."

Pandai-pandailah pula memilah makanan mana yang bisa ia sendok sendiri dan mana yang harus disuapi. "Misalnya ikan. Kalau ia yang pegang, akan tumpah ke mana-mana dan amis. Jadi, lebih baik kita suapi sementara ia menyendokkan sendiri nasi ke mulutnya."

Jika si kecil menghabiskan waktu terlalu lama untuk menyantap makanannya, cobalah cari tahu penyebabnya. "Mungkin makanannya terlalu keras sehingga susah ditelan. Bisa juga karena ia tak suka makanan berkuah. Bisa, kan, sayurannya ditaruh di piring si anak dan kuahnya dipisah dalam mangkuk sehingga ia semangat melahapnya."

Tak seperti yang kita bayangkan, ternyata anak amat menikmati saat-saat makan bersama anggota keluarga lainnya. "Ini bisa kita jadikan kebiasaan untuk mengikutkan ia pada kegiatan makan bersama. Masalahnya, jam makan si kecil biasanya berbeda. Nah, sesekali, yang tua mengalah, sehingga sekeluarga bisa makan bersama."

Indah Mulatsih/nakita

Makanan Sehat Buat Batita

dr. Lindarsih Notowidjojo, M.Nutr.Sc. dari RS Siloam Gleneagles, Tangerang, membenarkan, di usia batita inilah sebaiknya para orangtua mulai membiasakan anak mengkonsumsi makanan sehat. "Pada usia itu anak sudah bisa makan makanan padat. Sama seperti makanan orang dewasa. Hanya sebaiknya makanannya lebih empuk. Misalnya, nasinya adalah nasi tim. Kalaupun ingin menyuguhkan semur daging, cincang daging kecil-kecil dan dimasak hingga lunak."

Menurut Lindarsih, saat inilah orang tua membiasakan lidah anak dengan makanan sehat yang natural. Maksudnya, "Jangan banyak bumbu. Misalnya, jangan terlalu asin, pedas, atau manis." Jika ia sering mengkonsumsi makanan yang berbumbu merangsang, seperti snack yang banyak dijual di pasaran, lidahnya akan menjadi terbiasa dengan rasa makanan tersebut. "Ini akan membuat ia berkeinginan untuk terus makan makanan itu. Akibatnya, pada saat mengkonsumsi makanan sehat yang natural, anak justru merasa hambar karena lidahnya sudah terbiasa makan makanan yang terlalu gurih."

Perlu pula diingat orangtua, makanan jenis itu berkadar garam amat tinggi dan tak baik bagi anak. "Begitu juga cokelat atau permen. Kadar gulanya yang tinggi tak baik bagi anak." Namun bukan berarti bahwa si kecil sama sekali tidak boleh mengkonsumsi snack yang cenderung terasa gurih dan asin. "Kalau hanya seminggu sekali, masih oke."

Itu sebabnya orangtua bertanggung jawab untuk selalu menyediakan makanan sehat di sekeliling anak. "Kalau tidak ingin ia mengkonsumsi junk food seperti itu, ya, jangan sediakan makanan demikian di rumah sehingga ia pun tak terbiasa mengkonsumsinya." Soal pengaruh iklan di teve, kata Linda, sikapi dengan bijaksana. Misalnya ia melihat iklan burger, "Bikinkan burger dengan kandungan gizi serta bumbu yang telah disesuaikan untuk anak seusianya. Sebab, burger atau pizza yang dijual di restoran fast food adalah untuk konsumsi orang dewasa," papar Lindarsih.

Masih menurut Lindarsih, makanan yang sehat bagi batita ibarat segitiga piramida. "Semakin ke atas semakin mengecil. Lapisan paling bawah atau yang paling besar adalah berisi sereal atau karbohidrat. Entah itu roti, jagung, beras atau gandum. Lapis kedua di atasnya adalah buah-buahan dan sayuran atau kacang-kacangan. Di atasnya lagi atau lapis ketiga adalah golongan protein dan susu. Bisa daging, telur, atau ikan. Sedangkan lapisan paling atas atau yang paling kecil adalah minyak, gula, dan garam."

Berikut contoh menu sehari bagi batita :

Anak di atas usia 2 tahun, menurut Surastuti, sudah bisa diajak ke restoran. "Pada usia itu, biasanya anak sudah bisa duduk diam dalam waktu lama. Juga sudah bisa diberitahu bagaimana ia harus bersikap." Tekankan padanya, yang makan di restoran bukan hanya dia, tapi ada orang lain sehingga ia tidak boleh berlarian atau berteriak-teriak."

Rencanakan pula sejak sebelum berangkat, menu apa yang diinginkannya. "Jangan sampai sesudah tiba di sana, si kecil protes tidak suka atas menu yang sudah dipilih dan malah rewel minta pulang."

Untuk mengantisipasi agar si kecil tidak mengganggu kenyamanan orang lain, pilih tempat duduk yang posisinya menutupi si anak. Misalnya, di dekat jendela kaca yang menghadap pemandangan luar dan orangtua duduk menutupi si anak. Selama makan, konsentrasikan ia ke makanannya. Misalnya, ceritakan padanya tentang makanan yang disantapnya sehingga ia tak punya kesempatan ingin berlarian ke sana-sini.