Kebanyakan ibu kesal dan kecewa menghadapi balitanya ngompol. Sebagian lagi menanggapinya dengan tenang karena menganggapnya wajar. Bagaimana sebenarnya?
"Mama, kan, sudah bilang, kalau mau bobok, Dodi harus pipis dulu. Lihat, nih, kamu mengompol lagi," kata Miana pada balitanya, Dodi. Si kecil yang ditegur cuma manggut-manggut tanpa rasa bersalah. "Dasar anak-anak," gerutu Miana dalam hati.
Padahal, seperti diutarakan psikolog anak, Hanny Savitri Wreksono, "Anak-anak seharusnya sudah mampu mengontrol kandung kemihnya sejak usia 2 tahunan. Kecuali jika ada masalah biologis, seperti otot-otot pengontrolan kandung kemih kurang baik atau mungkin kapasitas kandung kemihnya relatif kecil dibanding anak-anak lain seusianya. Biasanya kalau faktor biologis tak ada waktu kering, karena itu sudah terjadi dari awal."
Para ahli lain pun mengatakan, anak-anak bisa dilatih untuk tak mengompol pada usia 2-3 tahun. Bahkan, ada yang mengatakan, sejak usia 18 bulan pun sudah bisa dilatih. Menurut buku The Disney Encyclopedia of Baby and Child Care, kebanyakan anak berhasil melakukan toilet training antara usia 2-4 tahun.
"Latihan ke kamar mandi atau toilet training itu penting. Kadang orangtua berpikir, ah, nanti, kan, anak juga bisa sendiri. Padahal tidak begitu, karena memang harus ada latihan sejak ia masih kecil. Toilet training bertujuan mengatur anak agar ia bilang jika ingin buang air kecil atau besar atau pergi sendiri ke kamar mandi sebelum pipis." jelas lulusan Fakultas Psikologi UI ini.
Jika anak belum bisa bicara, ia sudah harus bisa memberi isyarat atau mengatakan dengan istilah tertentu (misalnya, "Saya mau io") atau dengan gerak tertentu yang menggambarkan ia mau ke kamar mandi atau ke tempat yang sudah ditentukan seperti pispot. "Ajarkan cara itu berulang-ulang sehingga lama-kelamaan anak mengerti," kata Hanny yang sedang mendalami Cognitive Psychology di The University of Auckland, New Zealand ini.
SOAL EMOSIONAL
Anak-anak dengan toilet training kurang baik sehingga pengontrolan kandung kemihnya juga belum baik, memungkinkan ia untuk mengompol di kemudian hari. Tapi, jika selama ini ia tak pernah mengompol (karena Anda sudah melatihnya dengan baik), lalu tiba-tiba ia mengompol, Anda perlu curiga. Jangan-jangan ia punya masalah emosional.
Coba Anda selidiki. Misal, apakah ia punya masalah di sekolahnya? Apakah ia baru saja dimarahi gurunya? Apakah ia bertengkar dengan temannya? Atau, Anda baru saja memberinya seorang adik? Atau mungkin ia cemas karena akan menghadapi perpisahan dengan Anda yang tak lama lagi akan bersalin?
Masih banyak lagi masalah emosional yang bisa menyertai perilaku mengompol. Antara lain, situasi stres seperti keadaan sakit, ayah-ibu bercerai, dan lainnya. Yang justru jarang terjadi ialah mengompol yang disebabkan kondisi medis seperti infeksi saluran air seni atau penyakit kencing manis.
Hanny malah menemukan, sekitar 75 persen kasus mengompol disebabkan faktor emosional. "Anak-anak, kan, belum bisa menyalurkan kecemasannya. Mereka hanya mengerti bahwa mereka merasa tak enak, tapi tak tahu bagaimana cara melampiaskannya dengan tepat," terang Hanny.
Akhirnya, yang muncul ialah perilaku-perilaku yang tak biasanya, yang pada setiap anak berbeda bentuknya. Ada yang kemudian menjadi over acting, lebih aktif dari biasanya, atau malah jadi murung, cengeng, atau pendiam. "Pada anak yang lain, mungkin mengompol yang muncul," jelas staf pengajar di Fakultas Psikologi UI ini.
Karena begitu banyak masalah emosional yang bisa menyebabkan anak mengompol, maka tindak mengatasinya pun berbeda-beda, tergantung masalah yang dihadapi anak. Jika Anda menemui kesulitan atau mungkin Anda tak dapat menemukan masalah emosional apa yang dihadapi anak, ada baiknya Anda konsultasi ke psikolog anak.
Tapi jika faktor biologis yang jadi penyebab, Anda perlu memeriksakan si kecil pada dokter spesialis anak. Jika masalahnya karena toilet training kurang baik, berarti Anda harus melatihnya kembali.
Bersambung
Julie Erikania/nakita