Selendang mayang dibuat dari sagu aren. "Cara membuatnya gampang saja, kayak membuat hunkwe. Tapi, yang sulit adalah bagaimana membuatnya menjadi tanak. Ini butuh pengalaman. Kalau salah bikin, jadinya terlalu encer. Nah, selendang mayang ini dikasih santan, gula putih, dan campur es. Segar diminum saat cuaca panas," kisah Herman (44).
Semula, bapak tiga anak ini berjualan di kawasan Pesing. Sekian tahun lalu, ia sesekali lewat kawasan Kota Tua. "Tapi, waktu itu masih sepi sekali. Kayak gudang yang enggak ditempati. Sekitar 4 tahun lalu, Kota Tua makin ramai. Makanya, saya mangkal di sini," ujar Herman yang dengan pikulannya mangkal tak jauh dari Museum Wayang.
Buka sejak pukul 09.00, rata-rata sehari Hernan bisa menjual 100 gelas atau mangkuk dengan harga Rp5.000 per porsi. Tapi, khusus Sabtu-Minggu, "Saya seperti mengalami masa panen. Biasanya satu tampah selendang mayang, bisa nambah dua tampah."
Saat libur Lebaran beberapa waktu lalu, menurut Herman kawasan Kota Tua ramai wisatawan. "Banyak juga pelancong dari luar kota. Awalnya mereka merasa aneh dengan selendang mayang, eh, setelah mencicipi, banyak yang memuji kesegarannya," kata Herman yang menyiapkan sendiri barang dagangannya.
Seperti Herman, Budi Hartono (50) juga berjualan es, hanya saja ia menjual es potong. "Ini juga khas Betawi. Saya mengambil es dari juragan. Dia memasok ke para pedagang keliling seperti saya," ujar Budi yang menjual Rp3.000 per potong.
Pria asal Klaten ini mengaku banyak yang suka dengan es potong. "Zaman sekarang sudah susah cari es potong. Jadi, banyak yang menikmati es potong sambil bernostalgia masa kecil," lanjut Budi seraya mengatakan ada beberapa macam rasa, seperti kacang ijo, cokelat, durian. "Lumayanlah jualan di sini. Kalau pas liburan, sudah pasti ramai."
Henry Ismono, Foto: Daniel Supriyono / NOVA