Pencinta kuliner di Jakarta dan sekitarnya kerap berwisata menyusuri Jalan Pintu Besar Selatan II yang lebih dikenal sebagai Gang Gloria. Disebut Gloria karena dulu terdapat Toserba Gloria, salah satu mal tertua di Jakarta yang beberapa tahun lalu terbakar.
"Sejak dulu, kawasan ini memang jadi pusatnya kuliner. Sekarang, juga masih ramai dikunjungi," ujar Saiful Alam (66) yang membuka gerai makan Kari Lam.
Di sepanjang jalan sempit itu, terdapat sangat beragam makanan legendaris yang berusia sangat panjang, termasuk Kari Lam. Saiful mengisahkan, ia "baru" 20 tahun melakoni usahanya. "Saya meneruskan usaha Papa. Setelah beliau meninggal, saya meneruskan usahanya. Dulu di tahun 70-an, Papa mulai berjualan di area Gloria. Ketika saya masih kecil, Papa sudah jualan kari di Medan. Waktu itu, banyak warga Medan yang merantau ke Jakarta termasuk Papa," kenang Saiful.
Semasa masih remaja Saiful sudah kerap membantu usaha orangtua. Ia pun paham bagaimana meracik menu kari yang rasanya istimewa. "Bumbu kari medan berbeda dengan kari Jakarta. Di Jakarta pakai bumbu basah, kari Medan pakai bumbu kering dan masih ditambah rempah-rempah. Tentu saja, cita rasanya jadi berbeda."
Usaha yang dikembangkan ayahnya, menurut Saiful berhasil dengan baik. Banyak pelanggan datang. Apalagi lokasi berjualan dekat dengan kawasan dagang dan perkantoran. Saiful pun tak mengubah racikan bumbu warisan leluhurnya. "Soalnya Kari Lam kreasi Papa, sudah punya banyak pelanggan. Rasanya sudah pas," ujar Saiful yang beberapa kali menghentikan wawancara karena pengunjung keluar masuk. "Iya, saya memang masih turun tangan sendiri meracik kari untuk tamu."
Pelanggan SetiaSaiful memberi dua pilihan kepada pelanggannya, yaitu kari ayam dengan harga Rp34.000 seporsi dan kari daging sapi seharga Rp35.000. Pelanggan juga bisa pilih nasi atau bihun. Semua bahan tadi sudah disiapkan Saiful di rumahnya yang tak begitu jauh dari kawasan Glodok sejak pagi. Dibantu tiga karyawan, Saiful mulai berjualan pukul 09.00-16.00. Di hari kerja, "Yang datang biasanya karyawan yang berkantor di sekitar Glodok. Tapi, hari Sabtu dan Minggu, banyak yang datang dari jauh."
Menurut Saiful, Kari Lam makin dikenal masyarakat tak lepas dari jasa para pembeli, terutama anak-anak muda. "Banyak, lo, yang sebelum makan memotret kari dulu, lalu menampilkannya di media sosial. Masih ditambah lagi komentar karinya enak. Dari situ, teman-temannya penasaran, kemudian nyoba langsung," kata Saiful yang beberapa tahun ini membuka cabang di kawasan Muara Karang.
Selain itu, banyak juga pelanggannya yang berasal dari Medan. Rupanya, mereka kangen dengan menu khas daerah asalnya. Bahkan, "Ada pelanggan yang sudah makan di sini sejak umur 10 tahun. Awalnya dia makan di warung yang masih dikelola Papa saya. Kebetulan, kami sama-sama pindah ke Jakarta. Sejak itu sampai sekarang masih terus menjadi langganan setia," tutur bapak satu anak ini.
Joni (66) pelanggan Kari Lam mengaku, soal kari Medan ia tak bisa pindah ke lain hati. Siang itu, ia baru saja menyantap kari ayam plus bihun. "Saya datang ke sini khusus untuk makan. Kadang saya juga mengajak keluarga," ujar Joni yang tinggal di kawasan Sunter. "Lumayan jauh, sih. Buat saya kalau makanan sudah cocok, ke mana pun akan diburu. Rasa karinya sangat cocok di lidah."
Yang membanggakan Saiful, Kari Lam sudah beberapa kali disambangi pemerhati kuliner Bondan Winarno. Bahkan, "Kari Lam masuk dalam buku yang ditulis Pak Bondan. Oh iya, saya sampai hafal kesukaan Pak Bondan. Dia suka kari ayam dengan favorit bagian paha ditambah dengan bihun," ujar Saiful yang merahasiakan omzet usahanya.
Klangenan PresidenMasih di kawasan ini juga ada warung legendaris, namanya Gado Gado Direksi. Menurut Giok Lie si empunya warung, yang memberi nama Direksi adalah karyawan bank di sekitar warung. Tahun 70-an ketika warung gado-gado masih dikelola ibunya, "Tiap hari banyak karyawan bank yang makan di sini, termasuk pejabatnya. Mungkin dari situ mereka memberi nama Direksi," kisah Giok Lie.
Bumbu kacang Tuban yang langsung diulek itu rupanya membuat pelanggan ketagihan. Bumbu ini disiramkan ke aneka sayuran seperti, kangkung, kol, tauge, ditambah emping dan kerupuk. Bahkan, semasa Gus Dur jadi presiden, "Beberapa kali ajudannya langsung datang ke mari pesan gado-gado. Bahkan, pernah bungkus sampai 20 porsi," ujar anak ke-2 dari 5 bersaudara yang sejak remaja suka membantu ibunya.
Seiring usia ibunya yang kian sepuh, sejak 20 tahun lalu, anak satu-satunya perempuan ini langsung terjun melanjutkan usaha. Karena sudah terbiasa membantu orangtua, Giok Lie tak kesulitan mengambil alih usaha. Dibantu dua orang, Giok Lie melayani pembeli. Ia sendiri masih ngulek bumbu. Menurut Giok Lie, "Sebagian besar beli untuk dibungkus. Kalau dihitung bisa sekitar 80 persen. Mungkin karena warung kami sempit, ya."
Meski begitu, masih ada yang menikmati gado-gadonya di tempat, terutama komunitas yang ingin mencari sensasi makan di gang Gloria. "Belakangan memang banyak tumbuh komunitas, ya. Banyak yang ke mari, bisa bertiga atau berempat. Jadi, pelanggan saya datang dari segala usia. Dari generasi sepuh sampai anak-anak muda," papar Giok Lie yang membuka warung pukul 09.30 dan 16.30.
Soal harga, Giok Lie mematok gado-gado dengan harga Rp25.000 per porsi. Gado-gado lontong Rp28.000, dan gado-gado nasi Rp30.000. Bahkan, banyak pelanggan yang khusus pesan bumbu gado-gado. "Banyak pelanggan yang tugas di luar negeri. Nah, ketika mereka libur di Jakarta, sering mampir ke mari, membeli bumbu untuk dibawa ke luar negeri. Saya membuatnya menjadi bumbu padat. Ada yang membawanya ke AS, Belanda, Hongkong. Saya sampaikan, bumbunya tidak pakai bahan pengawet. Jadi, jangan terlalu lama menyimpannya.
Sebenarnya banyak yang mengajak Giok Lie bekerja sama membuka cabang. Namun, sampai sekarang Giok Lie belum mau menerima. Alasannya, "Saya menjaga kualitas dengan memegang sendiri usaha ini. Kalau ditangani orang lain, saya khawatir kualitasnya menurun. Selain itu juga susah ngontrol."
Pesanan PestaSepelemparan batu dari gado-gado Direksi, Endin (38) sibuk di gerobak rujak juhi. Juhi adalah sejenis cumi-cumi yang posturnya lebih besar. Tangan Endin terampil menyiapkan pesanan. Ia mengambil mi dan menaruhnya di piring, lalu melengkapinya dengan selada, kol, kentang, juhi, kemudian mengguyurnya dengan sambal kacang. "Lebih nikmat ditambah emping dan kerupuk. Saya jualan rujak juhi sejak harga per porsi Rp500 sampai sekarang Rp25.000. Sudah 20-an tahun saya jualan."
Bapak lima anak yang tinggal di kawasan Jembatan Lima ini mengaku sudah sejak remaja berjualan makanan khas Betawi ini. Semula ia ikut orang sampai kemudian mandiri. "Saya belajar membuat bumbu kacang yang enak, juga bagaimana membuat juhi yang empuk. Caranya, juhi dipanggang sampai matang, kemudian digepuk biar empuk."
Menurut Endin, sejak dulu kawasan ini ramai pedagang kuliner. Begitu lamanya jualan, Endi mengaku masing-masing pedagang sudah punya pelanggan setia, termasuk pelanggan rujak juhinya. Sehari ia mampu meraih omzet Rp1,5 juta. Khusus untuk Sabtu-Minggu, dagangannya makin laris. "Weekend selalu ramai. Saya dengar, pembeli makan di warung tak sekadar karena lapar, tapi ada nilai wisatanya. Makanya, banyak yang jajan sambil motret-motret," ujarnya sambil tersenyum
Hari biasa, Endin mulai berjualan pukul 10.00. Khusus hari Sabtu, ia mulai buka jam 08.00. "Hari Sabtu pengunjungung sudah ramai sejak pagi. Tak jauh dari sini, kan, ada pasar pagi. Biasanya banyak orang datang dari jauh. Bisa dipastikan, hari Sabtu dan Minggu enggak bakalan bisa ngobrol. Terasa banget capeknya karena enggak bisa istirahat."
Endi mengaku sering dapat pesanan untuk keperluan pesta. "Satu gerobak senilai Rp6 juta. Ada yang minta porsi lebih atau kurang. Tergantung keinginan pemesan. "Saya merasa usaha ini bisa menghidupi keluarga. Asal dilakukan dengan telaten, bisa juga, kok, membuahkan hasil yang baik," tutupnya.
Masa Panen Saat LiburBergeser ke kawasan Kota Tua, banyak pedagang yang menjajakan aneka kuliner. Untuk kelas kaki lima ada nasi pecel, soto, lontong sayur. Di kawasan ini juga ada beberapa kafe. Salah satu pedagang yang sibuk melayani pembeli adalah Herman yang menjual es selendang mayang, ini minuman khas Betawi. Selendang mayang serupa kue lapis dengan paduan tiga warna: merah, putih, hijau.
Selendang mayang dibuat dari sagu aren. "Cara membuatnya gampang saja, kayak membuat hunkwe. Tapi, yang sulit adalah bagaimana membuatnya menjadi tanak. Ini butuh pengalaman. Kalau salah bikin, jadinya terlalu encer. Nah, selendang mayang ini dikasih santan, gula putih, dan campur es. Segar diminum saat cuaca panas," kisah Herman (44).
Semula, bapak tiga anak ini berjualan di kawasan Pesing. Sekian tahun lalu, ia sesekali lewat kawasan Kota Tua. "Tapi, waktu itu masih sepi sekali. Kayak gudang yang enggak ditempati. Sekitar 4 tahun lalu, Kota Tua makin ramai. Makanya, saya mangkal di sini," ujar Herman yang dengan pikulannya mangkal tak jauh dari Museum Wayang.
Buka sejak pukul 09.00, rata-rata sehari Hernan bisa menjual 100 gelas atau mangkuk dengan harga Rp5.000 per porsi. Tapi, khusus Sabtu-Minggu, "Saya seperti mengalami masa panen. Biasanya satu tampah selendang mayang, bisa nambah dua tampah."
Saat libur Lebaran beberapa waktu lalu, menurut Herman kawasan Kota Tua ramai wisatawan. "Banyak juga pelancong dari luar kota. Awalnya mereka merasa aneh dengan selendang mayang, eh, setelah mencicipi, banyak yang memuji kesegarannya," kata Herman yang menyiapkan sendiri barang dagangannya.
Seperti Herman, Budi Hartono (50) juga berjualan es, hanya saja ia menjual es potong. "Ini juga khas Betawi. Saya mengambil es dari juragan. Dia memasok ke para pedagang keliling seperti saya," ujar Budi yang menjual Rp3.000 per potong.
Pria asal Klaten ini mengaku banyak yang suka dengan es potong. "Zaman sekarang sudah susah cari es potong. Jadi, banyak yang menikmati es potong sambil bernostalgia masa kecil," lanjut Budi seraya mengatakan ada beberapa macam rasa, seperti kacang ijo, cokelat, durian. "Lumayanlah jualan di sini. Kalau pas liburan, sudah pasti ramai."
Henry Ismono, Foto: Daniel Supriyono / NOVA