Komnas Perempuan Desak Pemerintah Akui Perkosaan Mei 1998

By nova.id, Kamis, 22 Mei 2014 | 11:11 WIB
Komnas Perempuan Desak Pemerintah Akui Perkosaan Mei 1998 (nova.id)

TabloidNova.com - Tepat pada hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2014, sejumlah perempuan yang mewakili komunitasnya seperti Institut Ungu, Perempuan Mahardika, YLBHI, Yayasan Jurnal Perempuan, serta Komisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), berkumpul untuk kembali mengingat Tragedi Mei 1998. Momen ketika tumbangnya rezim Orde Baru yang ternyata juga telah banyak mengorbankan msyarakat di masa itu, serta tumbuhnya reformasi.

Reformasi adalah mandat yang diberikan oleh rakyat kepada siapa pun rezim yang ada setelahnya, termasuk siapa pun presiden yang akan terpilih pada Pemilu Capres 2014 nanti. Para perempuan ini, tanpa reformasi rakyat Indonesia tak dapat menikmati demokrasi, pembangunan, dan kemajuan ekonomi.

"Namun janganlah lupa, telah terjadi rentetan tragedi dalam proses terjadinya reformasi yang telah banyak mengorbankan masyarakat akibat kekuatan represi rezim Orde Baru di masa itu," tutur Faiza Mardzoeki dari Institut Ungu.

Sementara itu, "Dalam Tragedi Mei 1998 telah terjadi penyangkalan oleh negara yang berlangsung hingga saat ini, dengan tidak adanya investigasi bahwa perkosaan dan serangan seksual benar-benar terjadi. Reformasi juga sebenarnya untuk mengingat kembali bagaimana perempuan Indonesia mengalami tragedi kekerasan seksual yang adalah termasuk kejahatan kemanusiaan," papar Mariana Amiruddin, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, seraya membacakan salah satu testimoni seorang mahasiswi korban kekerasan seksual pada Mei 1998 silam.

Lantas bagaimana agar kita selalu mengingat kembali Tragedi Mei 1998? Tak lama setelah Tragedi 1998 pecah, kemudian dibentuklah Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) oleh Presiden BJ Habibie beserta menteri-menteri terkait. TGPF yang dipimpin oleh Marzuki Darusman, pada 23 Juli 1998 itu melakukan penyelidikan atas Kerusuhan Mei 1998.

"TGPF menemukan dan menyimpulkan bahwa kasus-kasus kekerasan seksual benar terjadi dalam peristiwa Kerusuhan Mei 1998, yang dialami minimal oleh 85 perempuan. TGPF juga menyatakan, korban jiwa terbesar diderita oleh rakyat kebanyakan yang sebagian besar meninggal dunia akibat terbakar," imbuh Andy Yentriany, Komisioner Komnas Perempuan.

Sayangnya, lanjut Andy, "Pemerintah hanya melihat kasus Tragedi Mei 1998 hanya sekadar persoalan politik saja. Sementara itu, hingga saat ini belum ada tindak lanjut yang berarti dari pihak negara atau pemerintah untuk merealisasikan keadilan bagi para korban, keluarga korban, dan masyarakat umum. Dan yang perlu digarisbawahi, korban perkosaan adalah mereka yang paling tidak ingin terlihat. Sehingga kami mendesak kepada Jaksa Agung, korban perkosaan ini tidak perlu muncul ke hadapan publik di persidangan. Akan tetapi bukan berarti kasus perkosaan itu menjadi tidak ada."

Oleh karena itu, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, para perempuan ini juga mengajak seluruh masyarakat dan khususnya kaum perempuan Indonesia dalam solidaritasnya untuk bersama-sama memperingati Tragedi Kekerasan Seksual Mei 1998 dengan tagline "Kita Tidak Lupa Perkosaan Mei 98", dan membuka seluas-luasnya bagi masyarakat sipil lainnya untuk membuat pernyataan sekaligus bukti-bukti seputar peristiwa Mei 1998 ini.

Pada Aksi Peringatan Tragedi Mei 1998 ini mereka pun menyampaikan 6 buah tuntutan, yakni:* Menuntut negara untuk Tidak Menyangkal melainkan mengakui terjadinya perkosaan dan peristiwa kerusuhan Mei 1998, dengan mendorong dilanjutkannya pengusutan terhadap pelaku dan mendorong perlindungan terhadap korban, yang kemudian diumumkan kepada publik seluas-luasnya.* Menuntut negara untuk mengadili pelaku dan diumumkan seluas-luasnya kepada masyarakat.* Menuntut negara untuk membuat monumen Tragedi Mei 1998 sebagai sejarah yang pernah terjadi di Indonesia, termasuk tragedi kekerasan seksual di dalamnya.* Menuntut negara untuk menjadikan peristiwa ini bagian dari pelajaran sejarah di seluruh institusi pendidikan, dengan informasi yang lengkap.* Menuntut negara untuk meminta maaf kepada korban, keluarga korban, dan seluruh masyarakat Indonesia.* Menuntut negara agar tegas menjunjung tinggi keadilan atas peristiwa-peristiwa kekerasan yang sama dalam peristiwa Mei 1998.

Intan Y. Septiani