Dahlan Iskan, Menjadi Tegar Ditempa Kemiskinan

By nova.id, Kamis, 17 April 2014 | 06:10 WIB
Dahlan Iskan Menjadi Tegar Ditempa Kemiskinan (nova.id)

TabloidNova.com - Sejak sepekan ini, film Sepatu Dahlan yang diangkat dari novel best seller karya Khriana Pabichara serentak diputar di seluruh bioskop XXI. Film yang mengisahkan  tentang anak manusia yang hidup dalam kemiskinan ini menjadi inspirasi, ketika sosok tersebut menjadi salah satu tokoh penting di negeri ini. Dia lah Dahlan Iskan, Menteri BUMN dari Pemerintahan Indonesia Bersatu.

Kebon Dalem, sebuah desa kecil di Magetan, menjadi saksi hidup -dimana setiap  orangtua dan masyarakat umumnya yang tinggal di sana tak terlepas dari jerat kemiskinan, termasuk keluarga Iskan. Potret suguhan hidup inilah yang akhirnya diaplikasikan dalam bahasa visual, diangkat ke layar lebar dengan durasi 90 menit.

Dahlan sewaktu kecil (Aji Santosa) digambarkan hidup begitu sengsara, mirip adegandalam kebanyakan sinetron masa kini yang banyak ditayangkan di stasiun televisi. Orangtua Dahlan, yaitu Iskan (Donny Damara)  hanya pekerja serabutan, dan sang istri, Lisnah (Kinaryosih) hanya seorang pembatik setia yang turut menopang  perekonomian keluarga.

Keempat anak Iskan hidup penuh keprihatinnan. Dua dari kakak Dahlan beruntung bisa kuliah. Sementara  Dahlan dan sang adik harus hidup dengan bekerja "memecahkan  batu karang" di kampung halamanya.

Tak jarang keluarga papa ini hanya sarapan berupa minum teh manis saja. Makan mewahnya di siang hari, bisa dikatakan,  ketika keluarga Iskan mampu menyajikan nasi tiwul di meja kayu rumahnya. Nasi putih, dan lauk ikan asin, belum tentu bisa didapat sebulan sekali atau dua kali. Untuk menahan lapar seharian, Dahlan dan adiknya seringkali harus mengikat kencang perutnya dengan ikatan kain sarung.

Namun niat Dahlan kecil untuk tetap bisa bersekolah tak surut meski hidup di desa kecil dan berkutat dengan persoalan isi perut. Apalagi Iskan, yang digambarkan sebagai sosok keras, tegas, terkadang beda-beda tipis untuk bisa dibilang galak, sangat membenci orang yang suka minta-minta, mengemis, atau mencuri. Menurut Iskan, kemiskinan tak boleh menghilangkan harga diri.

Tak heran Iskan sempat murka ketika mendapati Dahlan mencuri tebu bersama beberapa teman-temannya. Ganjaran yang diterima Dahlan dari sang ayah tak ubahnya utang emas dibayar emas. Tangan yang diperuntukkan untuk mencuri diganjar dengan pemukulan berkali-kali. Namun Lisnah tak tega melihatnya, dan berusaha mencegah pemukulan tersebut.

Alhasil ada sedikit ketersinggungan antara Iskan dan sang istri. Sosok Iskan yang nampak begitu egois sebagai kepala keluarga, bertentangan dengan Lisnah yang terkesan lembut dan nerimo. Termasuk menerima sang suami yang hanya mampu memberikan empat anak tanpa dibekali secuil harta yang bisa dibanggakan, kecuali kata-kata petuah saja.

Yang menyedihkan bagi Dahlan kecil adalah ketika sang ibu terjatuh dari tempat duduk saat  lembur bekerja di rumah membatik. Padahal niat dari kerja kerasnya tersebut adalah untuk menabung demi membeli sepatu sekolah Dahlan.

Lisnah memang amat prihatin dengan kondisi anaknya. Setiap hari Dahlan harus menempuh jarak 6 kilometer menuju sekolah dengan bertelanjang kaki. Sepulang sekolah, kakinya sering lecet atau berdarah akibat kondisi jalan yang rusak dan berliku. Terkadang ia bahkan harus turun ke sungai jika tak sedang banjir untuk mempersingkat jarak. 

Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diterima. Lisnah justru harus menjalani rawat inap akibat kecelakaan kerjanya. Uang untuk biaya perawatan terpaksa didapat dari menjual kambing terakhir milik keluarga ini.

Sang ibu pun meninggal dunia sebelum sempat melihat Dahlan memiliki sepatu pemberian sang ayah. Dahlan kecil begitu terpukul dengan peristiwa itu. Orang yang dicintai dan dihormatinya harus menghadap Sang Khalik, meninggalkan suami dan anak-anaknya yang tetap harus menjalani kehidupan yang miskin.

M. Nizar