Kekerasan seksual masih marak terjadi di Indonesia. Ditambah lagi, penanganan di jalur hukum belum sepenuhnya berpihak kepada perempuan. Misalnya, dari segi hukuman hanya berupa sanksi pidana maksimal 12 tahun bagi laki-laki pelaku perkosaan, tapi dengan ketentuan adanya saksi dan sejumlah bukti yang menunjukkan perlawanan dari korban. Hal ini belum tentu dapat terpenuhi, mengingat banyaknya kasus perkosaan yang disertai ancaman, pembiusan, hingga dilakukan secara massal.
Desember 2013 silam, publik Indonesia dibuat terkejut dengan berita kekerasan seksual yang menimpa RW, seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri. Kasus ini terus bergulir dengan pengaduan perbuatan tak menyenangkan yang melibatkan sastrawan ternama, SS. Berjalan dengan perkembangan proses pemeriksaan, kondisi RW yang ketika itu tengah hamil besar kemudian kini telah melahirkan anaknya, pada akhir Januari lalu.
Sementara itu, sebelum RW dan bahkan hingga saat ini, masih ditemukan banyaknya kekerasan seksual yang menimpa usia anak maupun perempuan dewasa. Mirisnya, para pelaku adalah orang terdekat di lingkungan keluarga seperti ayah, paman, atau kakek.
Yohana Ratrin Hestyanti, psikolog dari UNIKA Atmajaya sekaligus pendamping psikososial untuk kasus-kasus kekerasan seksual atau pengalaman trauma, menjelaskan, para survivor (korban) tentu mengalami masa kritis dan terpuruk yang wajar dialami setiap perempuan yang mengalami tindak kekerasan seksual.
Apalagi sampai terlahir seorang anak dari peristiwa tersebut. Ibaratnya, meninggalkan jejak yakni seorang bayi tak berdosa. Meski si bayi tak mungkin dibebankan atas trauma yang ada, tapi secara psikologis efek kejadian ini akan menjadi panjang. "Yang mana hampir setiap waktu si survivor akan struggle dengan pengalaman yang ia alami," ujar salah satu staf pengajar di Fakultas Psikologi UNIKA Atmajaya, Jakarta, ini.
Kenali Kondisi Korban
Yohana berujar, pemulihan melalui pendekatan resiliensi bisa menjadi pilihan. Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Namun sejauh mana tingkat trauma itu bisa dikenali, dari sejak korban menyadari dirinya hamil dan (jika) mendapat penolakan oleh orang yang seharusnya bertanggung jawab.
Dari luka ini, maka timbul kesedihan mendalam. Itu satu fase yang normal dalam kondisi yang tidak normal. Pendekatan resiliensi lantas menekankan bagaimana seseorang beradaptasi terhadap pengalaman-pengalaman pahit atau traumatik dalam hidupnya. "Sehingga, dia bisa bangkit dan pulih untuk beraktivitas kembali secara fungsinya berjalan normal."
Akan lebih baik lagi jika ia bisa berfungsi secara sosial, baik individu, keluarga, maupun masyarakat. "Itu salah satu indikatornya bahwa seseorang sudah pulih dari pengalaman trauma." Tentu saja hal ini tak semudah membalikkan telapak tangan. Diperlukan dukungan yang intens, baik secara internal dari dalam diri korban maupun secara eksternal dari keluarga, sahabat, dan pihak yang mendampingi (psikolog, lembaga hukum).
Korban dalam hal ini memiliki pilihan untuk menyiasati situasi tersebut. Bisa saja ia menarik diri dan menutup akses untuk berbicara terhadap siapa pun, termasuk keluarga. Namun pilihan itu malah akan menenggelamkannya dalam kondisi destruktif. "Kalau dalam kondisi panik, bisa jadi melakukan tindakan yang berbahaya, seperti aborsi, bunuh diri."
Di sisi lain, keluarga juga pasti akan mengalami syok, marah, sedih, malu, kecewa, dan tertampar ketika si anak bercerita kepada orangtuanya. Hal itu sangat wajar asalkan emosi negatif ini tidak dijadikan alat untuk memperburuk atau menyalahkan kondisi.