Nah, jika orangtua telah memahami situasi yang terjadi dan si anak pun menerima konsekuensi yang terjadi, maka yang terpikir selanjutnya adalah bagaimana langkah ke depan. "Pemulihan pasti perlu proses. Terkadang bisa berdasarkan waktu, misalkan sekian tahun. Tapi ada cara yang bisa mempercepat atau dioptimalkan. Bentuk setiap respons, kan, bisa mempercepat, memperlambat, atau memperburuk pemulihan."
Respons yang dimaksud adalah terkait dengan aspek psikososial. Sebab peristiwa tersebut tidak bersifat tunggal. Ada lingkungan sosial yang berperan. Seperti keluarga besar, pemberitaan media, lingkup pertemanan, dan sebagainya.
Menghadapi hal ini, diperlukan social support secepatnya. "Paling tidak, bisa mempercepat proses pemulihan dan meminimalisasi tingkat keparahan. Terkadang, respons keluarga atau masyarakat bisa berujung kepada dampak memperparah kondisi, sehingga pemulihan jadi semakin lama."
Idealnya memang selain oleh keluarga, korban juga didampingi oleh konselor dari lembaga yang kompeten. Namun kehadiran orang terdekat seperti sahabat juga punya efek untuk memulihkan. "Itulah sebabnya, jangan menutupi akses."
Bagaimana jika korban atau keluarganya tak mampu mengakses bantuan dari lembaga? Cara sederhana yang bisa dilakukan siapa saja yaitu dengan menjadi pendengar yang baik. Tepatnya, hanya mendengarkan semua keluh kesah cerita si korban.
"Segala emosi yang berkecamuk, ingatan yang muncul secara intens, mesti dikeluarkan. Orang yang mendengarkan tak usah bilang sabar atau harus kuat, yang sifatnya menyarankan atau justru menyalahkan. Sebaiknya, jangan begitu. Lebih baik mendengarkan dan menemani. Paling tidak korban merasa aman dan nyaman dulu," papar Yohana.
Pasalnya, kerapkali korban kekerasan seksual bisa merasa jijik dan menyalahkan diri sendiri. Semakin dipikirkan, dirasakan, dan dipendam akan mengarah pada perilaku destruktif. "Meskipun peristiwa tersebut bukan sepenuhnya salah si perempuan. Maksudnya, ada unsur-unsur yang melemahkan seperti kenaifan yang dimanfaatkan pelaku."
Yohana juga menambahkan dalam masyarakat, hubungan pria dan wanita memang terjadi ketimpangan relasi yang tak bisa dihindari. Bukan cuma secara fisik, tapi juga usia dan status. Dan secara psikologis hal ini akan sangat berpengaruh. "Terutama ungkapan suka sama suka yang kurang berempati terhadap situasi atau dinamika yang terjadi dalam relasi seperti itu."
Mengubah Paradigma
Menghadapi setiap fase traumatik yang dialami seseorang, beragam pendapat hadir. Misalnya jika lebih dari enam bulan terjadi, akan timbul gangguan stres pascatrauma. Bentuknya berupa kecemasan yang parah akibat trauma psikologis. Kejadian ini dapat memicu ancaman kematian diri sendiri maupun orang lain, bahkan merusak potensi integritas fisik, seksual, atau psikologis individu.
"Kalau di negara-negara Timur, religious coping itu cukup berperan untuk membuat seseorang tahan banting terhadap peristiwa pahit. Istilah lainnya, berdamai dengan kondisi yang terjadi."
Hal ini akan termanifestasi dalam bentuk berdoa. "Kalau isi doanya masih ada penolakan, itu adalah curhat. Tapi pemulihan yang terbaik adalah ketika berserah diri, tawakal. Sebab, manusia tak bisa menanggung beban hidup sendiri, Tuhan bisa membantu memulihkan. Seringkali pemahaman ini membuat korban menjadi lebih tenang."
Upaya pemulihan lainnya yakni coping active, di mana korban disibukkan dengan banyak kegiatan sehingga pemulihan bisa berlangsung lebih cepat. "Sibuk di sini bukan sekadar pelarian, tapi sibuk yang sehat yakni korban menyadari persoalannya, tapi tidak menghindar. Ia memecah pikirannya lewat aktivitas yang disukai, seperti hobi, berkumpul dengan sahabat, olahraga, atau membantu orang lain," ujar Yohana.
Untuk aktivitas yang disebut terakhir, Yohana meyakini, membuat orang merasa terbantu dan senang adalah terapi pemulihan yang bagus agar bisa mengeluarkan energi negatif. "Yang pasti, jangan mengurung diri dan berlarut-larut dalam situasi yang membuat dirinya merasa tak berdaya. Harus lihat ke depan atau move on. Positif dan optimis. Mengubah paradigma dia bisa melakukan banyak hal ke depannya."
Input Positif
Di samping religious coping dan support dari keluarga, tentu saja hal-hal tadi juga bermanfaat ketika korban menerima kehadiran bayi tak berdosa yang dilahirkan. "Menerima kondisi yang terjadi padanya adalah tanda pulih. Tapi jika kondisi korban masih bergejolak, belum menerima, ditambah (jika) ada proses hukum, itu jadi membuat lelah. Untuk bisa bangkit, tergantung seberapa besar kemauan si korban."
Sebab, sumber yang menggerakkan perilaku seseorang adalah pikiran dan hati. "Kalau pikirannya masih belum menerima, dia bisa merefleksikan kepada anaknya. Begitu pula hatinya. Disadari atau tidak, tentu akan menjadi beban. Bisa saja si anak jadi sasaran atau korban menyalahkan anak itu."
Jika si ibu "lumpuh" dan memang tak memungkinkan kondisinya untuk merawat anak, maka ia harus dipisahkan dari si anak, ketimbang terjadi hal buruk menimpa si anak atau kedua-duanya. Perlu ada orang lain yang mengasuh anaknya, yakni orang terdekat yang dipercaya. Pemisahan ini sifatnya sementara. Menyoal ini, cara merawat si anak akan bergantung pada seberapa besar tahap insiden. Jika masih melekat traumanya, akan terlihat dalam proses pengasuhan. Begitu pun sebaliknya.
"Tapi bila secara fungsi masih bisa, harus dikejar ke arah pemulihan dengan input positif. Sebab bonding antara ibu dan anak penting untuk perkembangan anak."
Dalam kasus ini, seringkali jika korban melihat anak tak berdosa yang masih innocence, mengamati tumbuh-kembangnya, ia bisa terhibur. "Makanya, harus sebanyak mungkin di-input hal positif seperti mensyukuri kehadiran bayi yang lucu. Tentu ia tak akan meninggalkan anaknya atau tidak mengurus. Tapi jika selalu negatif, ya, akan menyalahkan keberadaan si anak dan destruktif."
Berkaca dari kasus-kasus kekerasan seksual yang pernah ada, Yohana mengatakan, tak bisa memukul rata waktu dan fase trauma yang dialami satu korban dengan korban lainnya. "Ujung-ujungnya, bila sudah dewasa semua keputusan itu ada pada diri sendiri, mau maju atau positif, atau negatif. Tinggal kita membolehkan diri mau sembuh dari sebuah trauma atau tidak. Sebab, terkadang ada juga orang yang senang berada dalam kondisi mengeluh, meratapi, dan mengasihani diri sendiri," pungkasnya.
Ade Ryani