Sebab, bagaimana pun apabila si anak melakukan suatu kesalahan akibat teledor atau ketidakberdayaannya sehingga menghasilkan aib, maka ia sebenarnya adalah korban.
Sesegera mungkin keluarga sebagai pihak terdekat bisa mengenali kondisi korban dan memberikan kenyamanan. Bagaimana pun keluarga setidaknya tulus mencintai dan akan mencari jalan keluar. "Bentuknya bisa privasi dan rasa aman untuk menjadi tempat bercerita. Sehingga korban merasa nyaman. Tindakan ini bisa menjadi titik terang ke arah pemulihan."
Kemudian, ketika orangtua menyadari bahwa kejadian pahit itu akan memengaruhi hidup si anak, maka selayaknya tetap diberikan support. Sebab, seringkali pandangan anak akan merasa bersalah pada kedua orangtuanya dan bersedia dihukum sebagai konsekuensinya.
Nah, jika orangtua telah memahami situasi yang terjadi dan si anak pun menerima konsekuensi yang terjadi, maka yang terpikir selanjutnya adalah bagaimana langkah ke depan. "Pemulihan pasti perlu proses. Terkadang bisa berdasarkan waktu, misalkan sekian tahun. Tapi ada cara yang bisa mempercepat atau dioptimalkan. Bentuk setiap respons, kan, bisa mempercepat, memperlambat, atau memperburuk pemulihan."
Respons yang dimaksud adalah terkait dengan aspek psikososial. Sebab peristiwa tersebut tidak bersifat tunggal. Ada lingkungan sosial yang berperan. Seperti keluarga besar, pemberitaan media, lingkup pertemanan, dan sebagainya.
Menghadapi hal ini, diperlukan social support secepatnya. "Paling tidak, bisa mempercepat proses pemulihan dan meminimalisasi tingkat keparahan. Terkadang, respons keluarga atau masyarakat bisa berujung kepada dampak memperparah kondisi, sehingga pemulihan jadi semakin lama."
Idealnya memang selain oleh keluarga, korban juga didampingi oleh konselor dari lembaga yang kompeten. Namun kehadiran orang terdekat seperti sahabat juga punya efek untuk memulihkan. "Itulah sebabnya, jangan menutupi akses."
Bagaimana jika korban atau keluarganya tak mampu mengakses bantuan dari lembaga? Cara sederhana yang bisa dilakukan siapa saja yaitu dengan menjadi pendengar yang baik. Tepatnya, hanya mendengarkan semua keluh kesah cerita si korban.
"Segala emosi yang berkecamuk, ingatan yang muncul secara intens, mesti dikeluarkan. Orang yang mendengarkan tak usah bilang sabar atau harus kuat, yang sifatnya menyarankan atau justru menyalahkan. Sebaiknya, jangan begitu. Lebih baik mendengarkan dan menemani. Paling tidak korban merasa aman dan nyaman dulu," papar Yohana.
Pasalnya, kerapkali korban kekerasan seksual bisa merasa jijik dan menyalahkan diri sendiri. Semakin dipikirkan, dirasakan, dan dipendam akan mengarah pada perilaku destruktif. "Meskipun peristiwa tersebut bukan sepenuhnya salah si perempuan. Maksudnya, ada unsur-unsur yang melemahkan seperti kenaifan yang dimanfaatkan pelaku."
Yohana juga menambahkan dalam masyarakat, hubungan pria dan wanita memang terjadi ketimpangan relasi yang tak bisa dihindari. Bukan cuma secara fisik, tapi juga usia dan status. Dan secara psikologis hal ini akan sangat berpengaruh. "Terutama ungkapan suka sama suka yang kurang berempati terhadap situasi atau dinamika yang terjadi dalam relasi seperti itu."