Tatyana Sentani Sutara Gemar Berinvestasi Sejak Usia Muda (1)

By nova.id, Sabtu, 1 Februari 2014 | 01:31 WIB
Tatyana Sentani Sutara Gemar Berinvestasi Sejak Usia Muda 1 (nova.id)

Tatyana Sentani Sutara Gemar Berinvestasi Sejak Usia Muda 1 (nova.id)

"Foto: Dok Pri "

Mengawali karier sebagai sales kartu kredit, siapa nyana Tatyana Sentani Sutara (50) berhasil melakoni bisnis terkait perkeretaapian. Awalnya, banyak orang sangsi soal bisnis yang identik dengan maskulinitas ini. Tapi keyakinan dan hasrat untuk terus belajar tak membuatnya gentar.

Saya seringkali mendengar orang berkomentar, kereta api identik dengan kesan jantan. Padahal sebenarnya semua bidang itu sama. Hanya disiplin ilmunya yang membedakan. Meski sekolah itu penting, tapi saya percaya, pengalaman di lapangan disertai kemauan untuk belajar jauh lebih penting.

Saya, Tatyana Sentani Sutara, terlahir dari pasangan Sutara Martadisastra dan Aida Sutara pada 17 Mei 1963 di daerah Sukamandi, Subang, Jawa Barat. Masa kecil saya berpindah-pindah kota, mengikuti pekerjaan ayah di bidang perkayuan. Saya pun sempat tinggal di Riau. Zaman dulu, bisnis perkayuan memang sangat termasyhur.

Ayah merintis usaha ini dari bawah. Sedangkan ibu saya bekerja sebagai guru. Menjelang masuk SD barulah kami semua hijrah ke Jakarta. Saya lalu menamatkan bangku sekolah di St. Theresia, Jakarta. Sejak kecil, orangtua saya tak pernah memanjakan anak-anaknya dengan materi. Justru kami dididik untuk selalu berhati-hati mengelola uang.

Saya memegang teguh ajaran untuk tidak boros dan harus suka menabung dalam bentuk investasi. Makanya, sejak kecil saya sudah terbiasa mengelola uang jajan sendiri. Kendati diberi fasilitas tambahan berupa kartu kredit, saya tetap bertanggung jawab untuk membayar tagihannya sendiri.

Sebagai sulung dari dua bersaudara, saya juga mengamati kebiasaan Ayah yang selalu berbagi cerita soal pekerjaannya saat kami makan malam bersama, misalnya. Dari situ saya jadi terinspirasi sekaligus belajar soal bisnis dan seluk-beluknya.  

Tawarkan Kartu Kredit

Setamat SMA, saya lalu melanjutkan kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, Jakarta. Alasannya, agar saat lulus nanti mudah mendapat pekerjaan. Padahal sebenarnya sejak dulu saya senang sekali menggambar, terutama mendesain interior rumah. Saat ada waktu luang menunggu jadwal sidang skripsi, saya penasaran seperti apa rasanya bekerja. Bersama teman-teman kuliah, di tahun 1986 saya lalu melamar kerja ke American Express (Amex) sebagai tim sales kartu kredit.

Awalnya saya tak tahu bahwa pimpinannya adalah teman Ayah. Saya melamar tanpa jalur koneksi. Sang bos lalu mendatangi saya dan menawarkan bagian lain yang menurutnya lebih nyaman. Saya menolak, sebab saya ingin memulai karier dari bawah. Lagi pula banyak hal menantang yang bisa saya pelajari. Saya pun jadi percaya diri dengan prestasi kerja yang ada. Sebagai tim sales saya berhasil melampaui target. Buah apresiasi perusahaan, saya dikirim ke luar negeri untuk acara perusahaan dengan skala se-Asia Pacific.

Di masa itu, untuk punya kartu kredit belum semudah sekarang. Amex bisa dibilang merajai pasar. Konsumenlah yang lebih membutuhkan kartu kredit, dibanding sebaliknya. Saya pun belajar soal kehati-hatian dalam menelisik calon nasabah kartu kredit. Jangan sampai ada penipuan, pemalsuan, atau lari dari tanggung jawab membayar.

Perempuan muda dengan karier yang tengah menanjak, tentu memiliki segudang keinginan dalam hidupnya. Mungkin bedanya saya dengan perempuan lain, saya lebih baik tidak bergaya hidup mewah daripada berfoya-foya dengan uang atau kartu kredit yang saya punya. Saya tak ingin punya rapor merah di perbankan, Bank Indonesia.

Kali pertama mendapat gaji yang lumayan besar, saya kepengin juga, sih, punya baju yang bagus-bagus. Tapi saya tak mau mencicil, meski teman kantor banyak yang berjualan dengan 2-3 kali pembayaran. Dalam membeli barang, saya sering berpikir seribu kali tentang kegunaan dan nilainya ke depan.