"Namun itu tidak akan mendefinisikan siapa dirimu. Tetaplah pergi ke sekolah, angkat kepalamu, tersenyum, dan teruskan jadi dirimu sendiri. Maka orang akan melihatmu apa adanya," nasihat orangtua Lizzie bijak.
Lizzie menurut. Apalagi, orangtuanya juga tak pernah mengatakan hal-hal negatif atau mematahkan semangatnya. Lama-kelamaan, teman-temannya mulai melihat ia memang sama seperti yang lain. Beberapa dari mereka mulai menjadi temannya. Bahkan, mereka siap membelanya ketika ia dihina teman-teman lainnya.
Saat SD, seingat Lizzie, ia punya stok makanan sangat banyak di meja sekolah, karena ia memang harus sering makan. Donat, kue, makanan cepat saji, dan bermacam makanan lainnya. Teman-temannya, bahkan yang membencinya pun boleh ikut menyantap makanan itu bersamanya. "Jadi, baik-baiklah kepada saya kalau ingin ikut makan," kenangnya lalu tertawa. Seiring usianya bertambah, saat SMP, Lizzie mulai menyadari sindrom yang diidapnya.
Lizzie mulai membenci wajahnya saat bercermin tiap bangun tidur pagi. Lizzie selalu berharap bisa menghapus sindrom ini dari wajahnya, sehingga hidupnya akan jadi lebih mudah. Ia jadi pendiam. Kalau ada yang mengajaknya bicara, ia akan terus berjalan atau tak menunjukkan reaksi. Ia tak mau orang tahu ia sangat sedih atas kondisinya.
Di malam hari, ia menangisi nasib dan berdoa agar saat bangun tidur pagi dan bercermin, wajahnya berubah cantik. Sehingga, ia tak perlu menghadapi tatapan orang dari rambut hingga kaki dan hinaan. Selama bertahun-tahun, ia memanjatkan doa ini dan tak tahu harus menyalahkan siapa.
Masuk ke sekolah baru saat SMP sangat melegakannya, karena terlepas dari hinaan teman-teman lamanya, tapi sekaligus membuatnya takut akan hinaan dari teman-teman barunya. Beruntung, Lizzie lalu punya teman-teman dekat yang menerimanya apa adanya. Namun dalam hati ia tetap tak bisa menerima wajahnya. Ia sangat ingin jadi remaja keren seperti gadis lainnya. Sampai suatu hari, ia mengutarakan niatnya untuk jadi cheerleader.
Meski kaget, ibunya mendukung. Lizzie pun jadi cheerleader. "Sebetulnya, saya hanya ngin mengenakan seragamnya. Ketika akhirnya memakainya, saya merasa jadi gadis yang keren. Ini membuat saya percaya diri," tuturnya. Setiap kali Lizzie beraksi, ibunya selalu siap merekam dengan kamera.
Sejak ikut tim cheerleader dan mulai berteman, Lizzie merasa nyaman berkomunikasi dengan orang lain. Ia juga suka mencoba hal-hal baru, termasuk teater. Namun bukan berarti orang berhenti menghina dan menatapnya. Saat SMA, ia juga ikut cheerleader.
Perlahan, ia mulai mencoba untuk menyukai dirinya sendiri, walaupun tetap mempertanyakan Tuhan mengapa memberinya sindrom itu. Semakin tak mendapat jawaban, Lizzie semakin tenggelam dalam pikirannya. Ia jadi penyendiri. Keluarga dan teman-temannya berusaha menghiburnya, tapi tak berhasil.
Sampai akhirnya, ketika tengah mengerjakan PR, Lizzie membuka Youtube dan melihat foto yang sangat familiar baginya. Itulah video berisi rekaman sebuah acara teve di mana Lizzie diminta tampil dan menceritakan sindromnya, saat ia berusia 11 tahun.
Lizzie tersentak membaca judul videonya, yaitu The world's ugliest woman. Ia sangat sedih, apalagi ternyata video itu ditonton 4 juta orang. Ketika ia tonton, video berdurasi delapan detik itu ternyata tidak bersuara. Ia merasa seperti ditinju berkali-kali. Dilihatnya, ada ribuan komentar di video itu. Tak satu pun yang positif.