Sapta Dwikardana Kuasai Ilmu Sekaligus ''Ngelmu" (1)

By nova.id, Minggu, 27 Januari 2013 | 01:09 WIB
Sapta Dwikardana Kuasai Ilmu Sekaligus Ngelmu 1 (nova.id)

Salah satunya saya belajar kepada Calvin Banyan, yang dinobatkan sebagai guru hipnoterapis terbaik selama tiga tahun berturut-turut di di Amerika Serikat. Pelajaran di The Banyan Hypnosis Center, Minnesota, AS itu benar-benar ilmiah. Dengan belajar hipnoterapi ini saya mampu melakukan perubahan terhadap seseorang secara cepat, tak tergantung pada obat, alat-alat medis, atau obat, tapi mengantungkan pada pikiran dan kemauan orang.

Setelah selesai belajar dan pulang ke Indonesia, ternyata belum banyak yang menekuni profesi ini. Kala itu baru beberapa orang terapis seperti Romi Rafael, Reza Gunawan, Yanu Rindra, dan Pak Rizal. Padahal menurut saya banyak orang di Indonesia yang perlu diterapi. Makanya saya putuskan untuk membuka kelas, mengajar orang menjadi terapis. Selain belajar pada Banyan, kebetulan saya juga alumni master hypnotist dari National Guild of Hypnotists, AS.

Akhirnya, selain menjadi terapis saya juga jadi guru terapis. Di satu sisi banyak orang yang pengin disembuhkan lewat hipnoterapi, tapi di sisi lain belum banyak terapis yang mumpuni. Makanya, tak ada pilihan lain kecuali membuka kelas agar semakin banyak terapis muncul.

Ya, itulah sifat saya. Begitu kelar mempelajari sesuatu, ingin menambah ilmu yang lain. Sepertinya ada yang kurang dan akan terus berkurang begitu selesai mempelajari satu bidang ilmu. Makanya saya mengibaratkan diri seperti tokoh di film Highlander yang makin ketagihan ketika habis memenggal leher lawannya. Ha ha ha...

Kondisi ini saya ini juga pernah disampaikan oleh Prof. Dr. John Nimpuno, psikolog yang juga seorang grafolog. Ketika menulis tesis S2, saya dibimbing beliau. Suatu hari saya pernah di tes tulisan tangan saya. Beliau bilang, dalam belajar saya tak pernah puas. Setelah S2 selesai, katanya, saya akan melanjutkan S3. Padahal saat itu S2 aja belum kelar. Ha ha ha...

Beliau juga memberi pedoman-pedoman perilaku dan personality saya cocoknya di bidang apa saja. Ternyata sangat cocok. Ini bukan ilmu meramal, tapi memberi pandangan. Membaca kondisi sekarang dan jika tak ada aral melintang ke depannya akan demikian. Itu bisa dibaca lewat tulisan tangan. Karena merasa cocok, akhirnya saya belajar grafologi ke AS. Sebenernya saya lebih dulu belajar grafologi sebelum hipnoterapi. Saya lalu belajar kepada ahli grafologi terbaik di AS, Dr. Erika Karohs, yang sudah banyak menulis belasan buku.

Ribuan Murid

Jadi, sebenarnya ilmu yang saya dapat sudah lengkap. Saya bisa mengamati masalah orang lewat tulisan tangan. Apalagi kebanyakan orang Indonesia enggak tahu atau paham masalah yang dihadapi. Kadang begitu datang masalah, ia tak bisa menceritakannya. Masalah muncul bisa karena masa lalu dengan orangtuanya yang kasar atau miskin, misalnya. Atau sekarang bergaul dengan teman kerja yang ruwet dan penuh intrik, sehingga ia tak bisa mengurai masalahnya. Nah, tanpa ia cerita, saya sudah tahu masalahnya, cukup lewat tulisan tangannya. Saya tinggal menjelaskan problemnya.

Menjadi grafologis di Indonesia itu seperti jalan sendiri. Pak Nimpuno tak mengajarkan secara formal, karena beliau belajar grafologi dari Jerman. Teknik grafologi Jerman untuk melihat sample tulisan, seperti melihat lukisan, lalu diterjemahkan. Itu, kan, butuh intusisi sehingga susah diajarkan. Sementara aliran AS dan Prancis, tulisan itu dipretetli satu-satu. Bagian-bagian itu diartikan lalu dirangkai lagi menjadi sebuah analisa yang utuh.

Tapi saya tak peduli dengan aliran-aliran itu. Saya belajar dua-duanya, karena orang tak perlu menjadi psikolog untuk tahu soal grafologi. Di seluruh dunia, banyak yang berasal dari beragam profesi yang belajar grafologi untuk mendukung pekerjaannya, termasuk dokter. Itu yang membuat saya yakin, orang perlu belajar grafologi, apa pun profisinya.

Saya akhirnya membuat modul pelatihan grafologi, agar orang lain bisa belajar. Kini, sudah lebih dari 1.000 orang yang belajar kepada saya. Saya bantu mereka menganalisa orang lain atau minimal keluarganya lewat tulisan tangannya. Misalnya, anak kita akan menyimpang atau tidak di masa depan, dilihat dari mana, coba? Paling tidak dari pengamatan gurunya. Sementara guru bekerja berdasarkan kurikulum yang ketuntasannya sudah diukur dengan nilai yang didapat siswa. Guru tak sempat lagi memerhatikan perkembangan anak. Lalu apa yang terjadi? Anak itu berkembang sendiri.

Nah, tiap Sabtu dan Minggu  saya menerapi anak-anak. Hasilnya, perkembangan anak-anak mereka tak karu-karuan. Siapa yang memerhatikan? Paling bapaknya mengandalkan pengalaman masa lalu, dengan mengajarkan boleh ini, boleh itu. Padahal dunia terus berkembang.