Sapta Dwikardana Kuasai Ilmu Sekaligus ''Ngelmu" (1)

By nova.id, Minggu, 27 Januari 2013 | 01:09 WIB
Sapta Dwikardana Kuasai Ilmu Sekaligus Ngelmu 1 (nova.id)

Sapta Dwikardana Kuasai Ilmu Sekaligus Ngelmu 1 (nova.id)
Sapta Dwikardana Kuasai Ilmu Sekaligus Ngelmu 1 (nova.id)
Sapta Dwikardana Kuasai Ilmu Sekaligus Ngelmu 1 (nova.id)

"Untuk waktu-waktu tertentu, saya juga membuka kelas khusus untuk anak-anak lulusan SMU yang ingin memilih jurusan yang tepat di universitas kelak. (Foto: Ahmad Fadilah/NOVA) "

Makin "Tersesat"

Ketika sudah bisa menguasai hipnoterapi dan grafologi, saya kira sudah cukup. Ternyata belum. Suatu hari ketika saya akan menerapi seseorang, tiba-tiba maag dia kambuh. Enggak mungkin, kan, saya melanjutkan terapinya. Pernah juga ia datang dnegan kondisi badan sakit semua. Saya jadi terpikir perlu belajar akupunktur. Bila ada yang sakit, bisa langsung tusuk jarum dan moksa. Akhirnya tempat saya jadi one stop shopping. Orang yang datang bisa dilihat dari tulisan tangannya sekaligus diterapi, dan yang sakitnya pun bisa saya sembuhkan lewat tusuk jarum. Saya juga bekerja sama dengan perusahaan herbal. Jadi akupunktur ini tak pakai obat.

Saya belajar micro acupuncture yang fokus pada titik-titik di kuping, kepala, dan muka. Itu jauh lebih cepat menyembuhkan, karena langsung ke titik-titik intinya. Tekniknya berasal dari Prancis. Belajar akupunktur itu ternyata sangat mengasyikkan. Sama serunya seperti saat belajar grafologi maupun hipnoterapi.

Hidup saya seperti makin "tersesat". Ilmu-ilmu yang saya pelajari itu bagi saya sangat eksotik. Karenanya profesi yang saya tekuni sangat beragam, sehingga saya jadi sangat sibuk. Ya, mengajar, jadi konsultan, dan buka klinik di mana-mana. Padahal saya punya keluarga dan anak-anak juga butuh perhatian. Tapi karena memang semua mengasyikkan, jadi enak saja menjalaninya, walaupun sebenarnya tak baik juga terlalu sibuk dan waktu istirahat jadi amat terbatas.

Namun saya menjalani multiprofesi ini bukan untuk mengejar materi. Sebagai konsultan saya digaji dolar AS. Belum lagi sebagai dosen, peneliti, dan lainnya. Sangat cukup lah untuk hidup. Tapi saya selalu penasaran dan ingin terus belajar. Nah, setelah ilmu didapat, sayang dong kalau hanya dibiarkan, tanpa membantu orang.

Tapi Tuhan juga rupanya mengingatkan saya. Suatu ketika saya mendapat "peringatan" gejala serangan jantung. Sejak itu saya sadar, manusia ada batasnya. Makanya, perlahan-lahan saya mentransfer ilmu ke istri, Luana Marpanda (50), dan memutuskan untuk tak lagi menerapi door to door ke beberapa kota, tapi cukup membuka klinik di Bandung saja, di kompleks Dosen ITB. Ini adalah rumah keluarga, tempat saya lahir dan besar.

 Sukrisna / bersambung