Duka pertama datang ketika Suyati mendengar kabar meninggalnya Retno. Yang membuatnya heran, justru saat itu pula Aan dan Tania menghilang. "Saya coba kontak Aan lewat HP-nya, tak dijawab. Bersama suami, saya ke rumah kontrakannya tapi kosong dan terkunci. Semua keluarga yang melayat Retno juga tak tahu keberadaan Aan," papar Suyati yang begitu syok dan sempat pingsan.
Suyati dan Senen lalu melapor ke polisi. "Saya sedih karena terrdengar suara sumbang, kenapa Aan menghilang saat istrinya meninggal." Akhirnya hari Minggu Suyati mendengar kabar ditemukannya mayat lelaki dan perempuan di hutan Kare. "Saya langsung punya pikirn jelek, jangan-jangan itu Aan dan cucu saya." Merasa tak bakal kuat menghadapi kenyataan, akhirnya hanya Senen yang ke RS untuk mengenali jenazah. "Saya langsung tahu itu anak dan cucu saya dari pakaian mereka," kisah Senen.
Kehilangan orang-orang tercinta ini menyisakan banyak duka bagi Suyati dan Senen. "Buat kami seperti misteri karena Aan termasuk tertutup soal keluarga. Saat mau ke Malang juga tak pamit," ujar Suyati yang terakhir kali bertemu Aan dan Tania, Senin (7/1), hari pertama Tania masuk sekolah setelah libur panjang.
Pasangan ini juga sangat kehilangan sang cucu, Tania. Tiap pulang sekolah, Tania selalu diantar ke rumah Suyati. "Sore sepulang ibu dan bapaknya kerja, Tania dijemput. Aan jadi tukang cukur, Tania kerja di bagian dapur sebuah hotel. Saat bertemu terakhir, Aan juga tak cerita apa pun," tutur Suyati sambil menambahkan, Aan punya dua anak. Si bungsu Albin (3) dirawat keluarga Retno.
Tania memang istimewa di mata sang nenek. "Dia suka sekali menggambar dan nyanyi. Dia sangat dekat dengan saya. Apalagi, selama ini kami jarang sekali berpisah," katanya sambil terus memandangi foto sang cucu.
Senen pun tak henti mempertanyakan nasib anak semata wayangnya. "Pelakunya benar-benar keji. Apa salah Aan dan keluarganya? Mungkin saya bisa terima kalau anak saya nakal, kerjanya berkelahi, dan menyusahkan orang. Tapi dia tak pernah menyakiti siapa pun, dan tak punya musuh. Jadi, saya minta, utang nyawa harus dibayar nyawa."
Suyati menimpali, "Bayangkan, keluarga anak saya benar-benar ditumpas. Apalagi Aan anak satu-satunya tempat kami bergantung. Saya dan suami, kan, tak punya pekerjaan tetap. Bila kami tak kerja, ya, tak bisa makan. Tubuh makin ringkih, pasti enggak bisa kerja seperti dulu," katanya di sela isak tangis.
Henry Ismono