Begitulah, Selasa malam itu anak-beranak itu menuju Malang, sementara Ab berdiam di rumah sambil melancarkan aksinya. Ia menghubungi ponsel Aan. "Saya mengaku sebagai Abah, yang seolah-olah tahu rencana Aan ke Malang," kata Ab yang saat di telepon mengubah karakter suaranya. "Saya sempat kaget ketika tahu ternyata Tania juga ikut. Padahal, yang saya incar cuma Aan dan istrinya."
Lewat telepon, Abah palsu meminta Aan dan istrinya minum air itu. Beberapa saat kemudian, berganti Aan menelepon Abah. "Abah, bagaimana ini, kok, istri saya pingsan dan mulutnya keluar darah. Saya juga muntah-muntah. Airnya pahit."
Abah palsu mencoba menenangkan Aan. "Nanti ada anak buah Abah yang jemput." Aan sempat lama tak kontak. Abah pun berpikir Aan sudah minum ramuan mautnya. "Ternyata, Aan telepon lagi. Dia mengeluh wajah istrinya sudah membiru."
Kembali Abah berkilah, mencoba menyelesaikan masalah. "Ya sudah, kamu balik saja, nanti ketemu anak buah saya di alun-alun Jombang," ujar Ab seraya mengingat saat itu jam menunjuk pukul 03.00 dini hari. Ab putar otak, dialah seolah-olah utusan Abah. Dari rumahnya, ia memacu sepeda motornya menuju alun-alun Jombang.
Sekitar 1,5 jam kemudian Ab bertemu Aan. "Aan kembali mengeluhkan kondisi Retno. Saya bilang, soal itu biar diurus Abah. Yang penting tetap melakukan ritual seperti saran Abah, biar berhasil."
Ab lalu mengubah rencana dan mengajak rombongan kembali ke Madiun, beriringan. Di sepanjang jalan, Ab khawatir Aan akan melaporkan keadaan istrinya ke polisi. Ia kembali putar otak dan meminta taksi berhenti di Nganjuk. Ab sempat minta Aan salat sunah di masjid. "Sebenarnya saya kalut lihat kondisi Retno."
Akhirnya, Ab minta sopir taksi mengantarkan Retno yang sudah tak berdaya kembali ke Madiun. "Saya juga minta Tania ikut naik taksi. Tapi dia nangis terus ingin bersama ayahnya. Jadi kami berboncengan bertiga menuju hutan Kare," ujar Ab yang sudah menyiapkan botol air beracun lain.
"Saya bilang, pesan Abah untuk cari tempat sunyi. Lalu saya minta Aan minum air beracun itu, yang saya bilang sudah "diisi" Abah. Karena pahit, saya minta Aan mencampurnya dengan air jeruk kemasan yang sudah saya siapkan. Aan juga meminumkan air itu ke Tania," jelas Ab.
Ab mengaku melihat Aan saat sekarat. Ia pun kabur. Sampai di rumah, ia mengaku tak tenang. Apalagi, keesokan harinya ia mendengar kabar Retno tewas dalam taksi di depan rumahnya. Akhirnya, perbuatan Ab tercium polisi. "Saya menyesal. Saya ingin bertanggung jawab dan rela diganjar hukuman," sesal bapak dua anak yang didakwa melanggar pasal 340 KUHP tentang pembunuhan yang direncanakan.
Habis Ditumpas
Kepergian keluarga kecil ini tentu membuat keluarganya sangat terpukul. Apalagi, Aan adalah anak tunggal pasangan Suyati dan Senen (66). Suyati bahkan masih berduka. "Saya memang sudah ikhlas. Ini takdir Allah. Tapi cobaan ini rasanya amat berat. Bayangkan, dalam waktu singkat saya kehilangan tiga orang yang saya kasihi. Aan, mantu, dan cucu. Apalagi, Retno sedang hamil 5 bulan," ratap Suyati dalam Bahasa Jawa halus.
Duka pertama datang ketika Suyati mendengar kabar meninggalnya Retno. Yang membuatnya heran, justru saat itu pula Aan dan Tania menghilang. "Saya coba kontak Aan lewat HP-nya, tak dijawab. Bersama suami, saya ke rumah kontrakannya tapi kosong dan terkunci. Semua keluarga yang melayat Retno juga tak tahu keberadaan Aan," papar Suyati yang begitu syok dan sempat pingsan.
Suyati dan Senen lalu melapor ke polisi. "Saya sedih karena terrdengar suara sumbang, kenapa Aan menghilang saat istrinya meninggal." Akhirnya hari Minggu Suyati mendengar kabar ditemukannya mayat lelaki dan perempuan di hutan Kare. "Saya langsung punya pikirn jelek, jangan-jangan itu Aan dan cucu saya." Merasa tak bakal kuat menghadapi kenyataan, akhirnya hanya Senen yang ke RS untuk mengenali jenazah. "Saya langsung tahu itu anak dan cucu saya dari pakaian mereka," kisah Senen.
Kehilangan orang-orang tercinta ini menyisakan banyak duka bagi Suyati dan Senen. "Buat kami seperti misteri karena Aan termasuk tertutup soal keluarga. Saat mau ke Malang juga tak pamit," ujar Suyati yang terakhir kali bertemu Aan dan Tania, Senin (7/1), hari pertama Tania masuk sekolah setelah libur panjang.
Pasangan ini juga sangat kehilangan sang cucu, Tania. Tiap pulang sekolah, Tania selalu diantar ke rumah Suyati. "Sore sepulang ibu dan bapaknya kerja, Tania dijemput. Aan jadi tukang cukur, Tania kerja di bagian dapur sebuah hotel. Saat bertemu terakhir, Aan juga tak cerita apa pun," tutur Suyati sambil menambahkan, Aan punya dua anak. Si bungsu Albin (3) dirawat keluarga Retno.
Tania memang istimewa di mata sang nenek. "Dia suka sekali menggambar dan nyanyi. Dia sangat dekat dengan saya. Apalagi, selama ini kami jarang sekali berpisah," katanya sambil terus memandangi foto sang cucu.
Senen pun tak henti mempertanyakan nasib anak semata wayangnya. "Pelakunya benar-benar keji. Apa salah Aan dan keluarganya? Mungkin saya bisa terima kalau anak saya nakal, kerjanya berkelahi, dan menyusahkan orang. Tapi dia tak pernah menyakiti siapa pun, dan tak punya musuh. Jadi, saya minta, utang nyawa harus dibayar nyawa."
Suyati menimpali, "Bayangkan, keluarga anak saya benar-benar ditumpas. Apalagi Aan anak satu-satunya tempat kami bergantung. Saya dan suami, kan, tak punya pekerjaan tetap. Bila kami tak kerja, ya, tak bisa makan. Tubuh makin ringkih, pasti enggak bisa kerja seperti dulu," katanya di sela isak tangis.
Henry Ismono