Tiga Firasat
Meski terpukul, saya merasa lega karena tak sampai 24 jam polisi sudah bisa menangkap tersangka pelaku. DK mengakui perbuatannya dan kabarnya ia mengaku puas sudah membantai kami. Duh, kenapa keponakan sendiri tega berbuat demikian dan tak menyesalinya?
Perbuatan DK, menurut saya, sungguh tak masuk akal. Bagaimana tidak? Ia adalah anak dari adik kandung saya, Sudadi, yang kini tinggal di Sumatera. Sayalah yang merawat Sudadi sejak kecil sampai lulus SMA. Ketika adik saya hijrah ke Sumatera dan ingin DK bersekolah di Jawa, saya jugalah yang menjemputnya ke Sumatera, sejak ia berusia 5 tahun.
Sejak itu, DK tinggal bersama kami, tidur sekamar dengan Dimas. Namun karena DK punya penyakit congek di telinganya, Dimas menjauhi DK. Dimas tak tahan bau cairan yang keluar dari telinga DK. Saya dan istri lalu mengobatinya hingga sembuh.
Berhubung kami punya tiga anak, setelah beranjak besar DK saya titipkan ke adik saya yang lain, yang tingal di rumah ayah kami yang sudah sepuh. Jaraknya sekitar 150 meter dari rumah kami. Maksud saya, agar perkembangan DK bisa tetap dipantau dengan mudah. Untuk kebutuhan hidup dan sekolahnya, tetap saya yang membiayai.
Selama ini hubungan saya, istri, dan anak-anak dengan DK baik-baik saja. Tapi memang, ada beberapa kejadian aneh beberapa hari sebelumnya. Tanggal 1 Desembar 2012 lalu, Dimas kehilangan laptop di kamarnya. Kami tak berani menduga-duga siapa pencurinya. Lalu, tanggal 20 Desember, motor Dimas dibakar entah oleh siapa.
Ketiga, pintu rumah bagian belakang terbuka tanpa ada bekas congkelan. Namun tak ada barang yang hilang. Anehnya, sebatang rokok lintingan saya yang diletakkan di meja tengah, berpindah ke meja belakang. Dugaan saya, rumah ini pasti hendak dibakar oleh seseorang tapi dia tak menemukan korek. Jadi, puntung rokok hanya dipindahkan saja ke meja belakang.
Semua kejadian itu membuat istri saya tak tenang. Entah apa sebabnya, ia memutuskan mengumpulkan surat-surat penting keluarga kemudian dimasukkn ke kantong plastik, lalu disimpannya di rumah anak sulung kami. Ia juga berpesan, "Andai Gusti Allah menghendaki saya dibunuh orang, diikhlaskan saja."
Sejak itu, saya terus minta perlindungan Allah. Saya tak menanggapi omongan istri melainkan menambah kewaspadaan. Nahasnya, musibah tetap menimpa keluarga kami. Tapi bagi saya, ini sudah kehendak Allah.
Saya dan Dimas sudah keluar dari RS meski masih perlu rawat jalan. Ada urat di tangan kiri saya yang putus. Bola mata saya yang terkena bacokan pun masih terasa sakit luar biasa. Kepala juga masih sering pusing akibat luka dan darah yang banyak keluar. Dimas yang terluka parah juga masih trauma setiap kali ada orang bercerita tentang peristiwa malam itu. Kasihan dia. Dua jari tangannya putus, kepala, dan telinganya dibacok beberapa kali.
Kejadian ini sesungguhnya tak termaafkan, namun saya sudah memaafkan DK. Ini kehendak Allah semata. Saya juga tak dendam. Tapi soal hukum, tetap harus ditegakkan. Seberapa berat hukumannya nanti, saya tak mau tahu. Saya juga sudah mengabari orangtuanya yang tinggal di Sumatera. Tentu saja mereka sedih dan menyesali perbuatan anaknya. Tapi, toh, nasi sudah menjadi bubur...
Rini Sulistyati / bersambung