Dihapusnya status RSBI yang merupakan cikal bakal SBI, rupanya sudah lama diprediksi oleh kalangan pakar dan pemerhati pendidikan. Weilin Han (47), pendiri lembaga pelatihan guru dan konsultasi sekolah I-Teach Education Training Center, adalah salah satunya. Sejak didirikan tahun 2006, menurut Weilin, "Desainnya saja sudah keliru."
Dalam dokumen Kemendiknas mengenai Penjaminan Mutu SBI, misalnya, Weilin mengungkapkan standar SBI harus mengacu pada standar negara anggota OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) dan atau negara maju lain. Sementara, anggota OECD saja hingga kini tercatat ada 30 negara. "Nah, standar yang mana dan seperti apa? Tidak jelas!" ujar Weilin.
Selain soal desain, Weilin juga menyebutkan masalah konstruksi RSBI. Tuntutan agar sekolah setingkat SD memiliki guru lulusan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A, "Betul-betul lelucon yang sayangnya tidak lucu. Anggap saja di satu SD ada 30 guru, maka harus ada tiga guru lulusan S2 dari jurusan PGSD (Pendidikan Guru SD) yang akreditasinya A. Itu baru tingkat SD, lho. Di tingkat SMP proporsinya lebih besar."
Penggunaan Bahasa Inggris sebagai pengantar pelajaran Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, lanjutnya, juga jadi batu sandungan. Guru yang bisa berbahasa Inggris belum tentu bisa menggunakan istilah-istilah khusus, terminologi, dan jargon dengan tepat. "Misalnya, dalam Matematika ada istilah 'bilangan loncat'. Guru bisa saja menerjemahkan jadi 'jumping numbers', padahal istilah yang tepat adalah 'skipping'," terangnya.
Jika merujuk pada proses otak bertumbuh dan bekerja, lanjut Weilin lagi, bahasa seharusnya tak dilihat sebagai alat komunikasi belaka. "Bahasa adalah pembentukan pola pikir. Dengan demikian, penguasaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar jadi lebih penting," katanya seraya menambahkan, di beberapa daerah Indonesia, guru masih mengajar menggunakan bahasa daerah. "Bagaimana mau menggunakan Bahasa Inggris dan menempatkan bahasa daerah sebagai anak tiri di tempatnya sendiri?"
Jika memang serius mau menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, sebut Weilin, buku yang digunakan juga mesti berbahasa Inggris semua. "Sudah siapkah itu?" ujarnya balik bertanya.
Karena itulah Weilin menekankan, tak masalah apa pun nama sistem pendidikannya sepanjang Indonesia sudah mampu memenuhi kriteria sistem pendidikan yang memiliki desain dan konstruksi baik. Untuk itu, "Yang menyusunnya, ya, harus orang-orang yang mumpuni." Selain itu, fasilitas pendukung juga harus memadai. Bukan berarti harus serba modern, "Namun bagaimana murid bisa belajar jika jalan ke sekolahnya saja begitu berbahaya?"
Selanjutnya, kualitas guru sebagai ujung tombak dalam pendidikan juga harus mendukung. Merekalah yang berinteraksi secara intensif pada prime time usia anak. "Bila mereka saja tidak menguasai konsep dan metode, sukar sekali mengharapkan kualitas pendidikan yang baik."
Setelah itu, barulah peran orangtua dan masyarakat dibutuhkan. "Orangtua harus kritis terhadap Pemerintah dan sekolah. Mereka berhak mendapatkan pendidikan dasar gratis dan berkualitas," papar Weilin. Maka, jika sistem baru hendak diberlakukan, "Tanyakan dengan jelas apa maksudnya. Minta dokumen pendukungnya dan minta penjelasan dari dokumen pendukung tadi. Ini sangat penting agar tak terjadi pembodohan dan kita tidak jadi korban kegagalan Pemerintah karena ketidaktahuan kita."
Ajeng