Kisah Sukses Peni Zulandari Suroto: Bisnis Tanpa Kantor dan Pabrik (1)

By nova.id, Jumat, 18 Januari 2013 | 01:15 WIB
Kisah Sukses Peni Zulandari Suroto Bisnis Tanpa Kantor dan Pabrik 1 (nova.id)

Kisah Sukses Peni Zulandari Suroto Bisnis Tanpa Kantor dan Pabrik 1 (nova.id)

"Meski tak punya toko atau pabrik, ide dan desain produk suvenir Nalini tak kalah dibanding buatan luar negeri. (Foto: Adrianus Adrianto/NOVA) "

Wanita kelahiran 23 November 1978 ini sudah memiliki tiga bisnis sukses, salah satunya suvenir khas Indonesia. Suvenir produksi finalis regional Wirausaha Muda Mandiri 2009 dan 2010 ini memiliki ciri khas yang tak dimiliki produsen suvenir lain. Bagaimana Peni memulai usaha, simak kisahnya mulai nomor ini.

Tak pernah terpikir sebelumnya akan punya beragam bisnis, sebab jika melihat latar belakang keluargaku tak ada yang memilih berbisnis. Saat lulus kuliah tahun 2001 aku sempat kerja di radio, jadi produser. Lalu banting setir kerja kantoran di sebuah perusahaan besar. Saat bekerja itulah aku melihat atasanku, kok, pintar-pintar ya. Ternyata mereka hampir semua lulusan S2.

Aku jadi tertarik ingin mengambil S2. susah payah aku melakukan serangkaian tes untuk bisa masuk ke Univeristas Prasetiya Mulya Jakarta. Aku pun berhasil. Mahasiswa lain, begitu lulus S1 langsung melanjutkan S2, sementara aku baru ambil S2 setelah bekerja dulu 3 tahun. Sampai-sampai ada dosen yang memintaku membuktikan diri dengan meraih IPK tinggi. Jika IPK-ku rendah, aku hanya bisa ikut kelas malam. Untunglah, aku bisa membuktikannya.

Nah, karena kuliah pakai biaya sendiri, aku tentu harus bekerja. Aku bekerja di sebuah event organizer (EO), yang pulang kerjanya selalu malam. Untung saja pemiliknya baik, tak soal ketika aku harus kerja sambil kuliah. Kadang di saat sedang sibuk kerja sementara ada kuliah pagi, aku sering minta izin ke toilet. Di sana aku mengirim email untuk urusan kantor. Ha ha ha.

Oleh karena keluargaku di Bandung, selama kuliah aku indekos di Jakarta. Setelah lulus aku masih melanjutkan kerja di EO itu. Aku senang kerja di sana karena pemiliknya sangat banyak memberi toleransi. Aku dedikasikan diri selama 2 tahun selanjutnya. Sayang, di tengah perjalanan ada ketakcocokan dengan perusahaan dan aku memilih mundur.

Aku lalu memutuskan membuat EO sendiri pada 2007 berdasarkan pengalaman, termasuk mulai menerapkan ilmu yang kuperoleh selama kuliah. Meski sempat tak pede, EO yang aku dirikan bersama dua teman harus tetap jalan. EO ini kami namai Sinkronize, yang berada di bawah PT Muda Mudi Jiwa Selaras. EO kami mengerjakan seputar promo marketing, music roadshow, atau membuat acara sesuai kebutuhan klien. Kliennya pun beragam, dari produsen merek internasional, perusahaan multicompany, telekomunikasi, dan perusahaan food and beverages.

Di setiap pekerjaan aku selalu mendidik anak buah. Yang kuutamakan adalah attitude dan kekeluargaan. Jujur, rendah hati, sopan, baik ke sesama karyawan maupun pihak vendor atau klien. Yang penting, harus bertanggung jawab agar menimbulkan kepercayaan, serta mampu mengatasi segala macam kemungkinan yang bakal terjadi di lapangan.

Secara umum, tak ada duka dalam menangani klien. Namun saat ini aku sedang me-nonaktif-kan diri dari EO, dan hanya sebagai consultant creative karena aku sedang ingin konsentrasi di bisnis suvenir yang kini kutekuni. Lantas, bagaimana aku memulai bisnis suvenir?

Tertarik Suvenir

Ketika kuliah S2 aku berteman dengan Feta Prafidya Soewondo. Sebelumnya kami pernah bertemu beberapa kali, namun tak sering karena Feta mengambil jurusan finance sementara aku marketing. Setelah lulus kami lalu bertemu di sebuah acara pada 2009. Kami mengobrol ngalor ngidul sampai akhirnya membahas soal suvenir.

Kami lalu saling cerita tentang koleksi suvenir yang dimiliki orangtua kami. Ibuku koleksi piring yang diperolehnya saat bertugas ke luar negeri atau mendapat oleh-oleh. Ibu memang hobi mengumpulkan suvenir dan disimpan dalam lemari khusus. Ada piring, sendok, gantungan kunci, pokoknya yang beridentitas suatu negara. Sementara ayahnya Feta hobi mengumpulkan asbak dari berbagai negara.

Akhirnya terlontarlah pertanyaan dari kami, "Indonesia punya atau tidak, ya, suvenir khas yang bisa dibawa wisatawan ke negara mereka?" Setelah kami cari tahu, ternyata jawabannya tak ada. Andai ada dan disandingkan dengan suvenir dari negara luar, agak di bawah kualitasnya. Nah, sejak itulah kami mulai terpikir untuk membuat sendiri suvenir khas Indonesia.