Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara memproduksinya? Kami tak punya toko apalagi pabrik. Bagaimana pula memasarkannya agar para wisatawan asing mau beli produk suvenir kami nantinya? Sebelum semua terajwab, kami survei ke sejumlah mal yang menjual beragam suvenir khas Indonesia. Kami lihat jarang sekali suvenir khas Indonesia yang oke. Kalaupun ada, tak ada deskripsi yang mewakili budaya dari daerah di Indonesia. Malah, ada pula yang buatan luar negeri.
Sehingga makin bulat tekad kami untuk membuat suvenir ini. Dengan semangat menggebu, kami buat formatnya. Kendati tak punya toko ataupun pabrik, minimal kami memiliki ide dan desain. Selanjutnya, kami bekerja sama dengan perajin yang bisa mewujudkan ide kami. Di awal bekerja kami tentu ingin punya kantor, lalu kami sewa gedung selama setahun. Ternyata biaya sewanya mahal.
Akhirnya kami coba bekerja dari rumah dengan mengandalkan komunikasi lewat email atau telepon. Apalagi kondisi Jakarta yang sangat macet, dengan bekerja di rumah kami bisa mengeliminir waktu dan ruang. Ketika mendadak harus meeting kami bisa melakukannya di suatu tempat atau kafe yang nyaman. Tak repot, tapi usaha tetap bisa jalan.
Sesuai kesepakatan, rumah Feta dijadikan alamat usaha dan semua produk disimpan di garasinya. Karyawan kami tak ada yang tetap, diutamakan orang-orang terdekat seperti sopir, tukang kebun, atau asisten rumah tangga kami. Mereka tak keberatan, karena bisa mendapatkan penghasilan lebih. Intinya, kami memberdayakan yang ada. Tiap kali ada pameran merekalah yang kami ajak untuk menunggui booth.
Nalini Intercraft menjadi merek suvenir kami, yang artinya cantik dari bahasa Sansekerta. Kami pilih nama ini karena desainnya harus cantik, mewakili nama kami berdua. Harapan kami pula, tiap kali orang melihat produk Nalini akan langsung tahu dari ciri khasnya. Sementara kata Intercraft, kami ambil dari harapan Nalini harus memiliki kualitas berstandar internasional. Lalu kami bagi tugas, aku bagian desain dan produksi, Feta di finance dan stok barang. Sementara pemasaran dan penjualan dilakukan bersama.
Ide desain bisa dari mana saja, meski kebanyakan menyesuaikan permintaan pasar. Dalam setahun minimal kami buat dua desain baru. Saat ini desain piring sudah ada 10 model, magnet dari clay, tempat surat, gantungan kunci. Kadang ide muncul karena kebutuhan. Misalnya, saat dibutuhkan para siswa yang ikut pertukaran pelajar. Kalau bawa suvenir piring, khawatir pecah. Sehingga mereka butuh suvenir kecil tapi banyak. Suvenir magnet lah yang paling pas.
Desainnya beragam, dari yang bercorak Sabang sampai Merauke. Dari pakaian adat, olahraga tradisional, fauna, alat musik tradisional, gedung bersejarah, bangunan, dan monumen terkenal. Kualitas suvenir kami juga dapat disandingkan dengan buatan luar negeri yang sejenis. Suvenir Nalini sudah pasti diproduksi di dalam negeri, dipasarkan di dalam negeri, agar wisatawan asing dapat menikmati dulu budaya asli Indonesia.
Namun karena kualitas suvenirnya juga bagus, kami tak bisa menjual dengan harga terlalu murah. Apalagi perajin Nalini tersebar di beberapa daerah, ada yang di Surabaya, Jogja, Solo, Bandung, Tangerang, juga Jakarta.
Untuk pemasaran, produk Nalini pernah tersebar di beberapa toko atau hotel. Sayang, masih banyak manajemen hotel yang tak bagus. Barangnya habis, tapi uangnya tak disetorkan ke kami karena manajemennya sering berganti. Akhirnya, kami putuskan fokus saja di beberapa toko yang punya ratusan outlet di seluruh Indonesia. Sementara ini produk Nalini ada di 15 outlet Batik Keris.
Nalini juga sudah bisa diperoleh di Pasaraya Blok M, UKM Galeri Smesco, Galeria Indonesia, souvenir shop di Bandara Husein Sastranegara Bandung dan Bandara Soekarno Hatta. Alhamdulillah, Nalini sudah mendapatkan keuntungan di tahun kedua usaha berjalan. Omzet yang kami perolah per tahun sekitar Rp 300-400 juta dengan modal awal Rp 75 juta. (BERSAMBUNG)
Noverita K. Waldan / bersambung